Sunday, June 30, 2013

Kata-Kata Kapal #3.

“Hidup itu terkadang perlu pahit. Ya salah satu perasaan yang harus dirasakan selama hidup lah.”

-Adam Maulana



KM Lambelu.
Perjalanan Surabaya-Makassar, during Follow Up Diklat 2013 PALAPSI UGM 'Jelajah Sulawesi'.
Laut Jawa, 300613.

Menuju Pulau Sebentuk Huruf.

Adam.

Berkutat dengan buku mungil berbahan kertas cokelat daur ulang. Menggambarinya dengan hal-hal menarik. Mengarahkan kameranya ke mana saja, yang penting warna hasil fotonya monokrom. Handphone setia dipasang pada flight mode. “Aku nggak mau kembali ke peradaban.”



Aliya.

Sebentar-sebentar memejamkan mata sambil berbaring. Akhirnya tidur betulan. Galau antara gerah dan keanginan tertimpa angin laut. Carrier yang menurutnya “Setinggi Monas!” harus dipanggulnya selalu. Kerap dipotret dengan pose galak. Status ‘malaikat’-nya selama ini dipertanyakan.



Faris.

Sering kepergok memelototi handphone dan terus berkirim pesan entah pada siapa. Menolak berterus terang dan menyembunyikan benda itu sesigap mungkin sebelum dikepo orang. Sudah menulis dua-tiga halaman di buku bersampul batik bairunya yang baru. Berandai-andai, “Ada putri duyung nggak ya?”



Brain.

Juaranya menghilang. Naik kapal lalu raib begitu saja. Untung ia berhasil mencarikan lokasi yang lumayan. Sempat ditawari beli brem, padahal orang Madiun. Membawa-bawa buku berat tentang kebanggaan menjadi seorang muslim. Overdosis minuman cola.



Aji.

Pose-posenya bertebaran di segala penjuru. Gara-gara makan siang super minimalis, ia dan Awang bantingan beli ayam goreng. Tidak enak juga padahal. Juru bicara untuk acara building rapport dan tawar-menawar barang karena fasih bahasa Madura, jadi dapat banyak kemudahan selama di pelabuhan. Kegondrongan meningkat pesat.



Awang.

Tidak bisa lepas dari rokok. Sudah rahasia umum. Membaca buku ‘Madre’ punya Adam, sesuatu yang langka terjadi. Bingung mencari tempat mengisi baterai handphone karena yang sedang di Lombok menuntut kelancaran komunikasi. Sebagai pemanjat sejati, tetap memanjat pagar kapal walau jelas-jelas dilarang.



Arma.

Sulit dibedakan saat-saat dia sadar atau tengah bermimpi. Mengisi TTS dengan gaya Eat Bulaga, yang berakhir dengan munculnya sejumlah jawaban konyol. Dibilang punya ESQ tinggi gara-gara sering tidak nyambung. Bawa-bawa buku tentang backpacker.



Lala.

Tidak mau lepas dari tas selempang merah yang berisi segalanya. Mengerutkan kening setiap ada bercandaan tidak jelas. Menamatkan semua buku kecuali milik Brain. Sering membetulkan kerudung. Paling cerewet menyuruh Aji potong rambut. Belajar mengutak-atik kamera canggih Adam. Dan tentu saja, kedinginan sambil sibuk mencatat apapun untuk inspirasi tulisan berikutnya.



KM Lambelu.
Perjalanan Surabaya-Makassar, during Follow Up Diklat 2013 PALAPSI UGM 'Jelajah Sulawesi'.
Laut Jawa, 300613.

Kata-Kata Kapal #2.

“Cie Aliya jadi puitis.”
“Eh nggak, aku memahami puisi aja lama banget.”

“Jangan-jangan kamu lama dalam segala hal Al?”

“Dia cepet cuma kalau disuruh bikin proposal.”

“Kalau bikin proposal harus puitis nggak Al?”

“Lah proposal tuh harus jelas. Ntar puitis-puitis Wadek-nya roaming.”

“Mmm... jadi menuntut kejelasan ya Al?’

“Proposal kan lamaran, berarti lamarannya harus jelas dong?”

“Ah, mulai NN ini di kapal.”

“Tapi kok kamu nggak ngasih kejelasan Al sama yang pada ngantre?”

“Soalnya mereka nggak pada bikin proposal La, jadi nggak dapet acc...”



KM Lambelu.

Perjalanan Surabaya-Makassar, during Follow Up Diklat 2013 PALAPSI UGM 'Jelajah Sulawesi'.

Laut Jawa, 300613.

Kata-Kata Kapal #1.

"Langit itu nggak ada batasnya. Jadi, sebenarnya kita bisa dibilang bagian dari langit."

"Ya karena cuma kaki kita yang berpijak di bumi. Sisanya kita menjulang di udara, sedangkan udara jelas bagian dari langit."

"Kalau kita melompat, kita sudah menjadi bagian dari langit lho..."


Percakapan Aliya, Lala, Adam.
KM Lambelu.
Perjalanan Surabaya-Makassar, during Follow Up Diklat 2013 PALAPSI UGM 'Jelajah Sulawesi'.
Laut Jawa, 300613.

Lautan. Sepanjang Perjalanan.

Sepanjang perjalanan.
Biru berbuih.
Riak tak kunjung padam.
Mengangkuti kenangan.
Dari daratan jauh di seberang.

Sepanjang perjalanan.
Angin bernyanyi.
Semilir kencang tak mau henti.
Menyibak rahasia.
Dari belantara kemungkinan tak terhingga.

Sepanjang perjalanan.
Mentari berkilau.
Berpayung mega raksasa.
Membuka cerita.
Pada langit tanpa batas.

Sepanjang perjalanan.
Kami menanti dengan sabar.
Saat kapal hendak bersandar.
Setelah lelah berlayar berputar-putar.
Sebab kami tahu, akan selalu ada tempat di pelabuhan berikutnya.


KM Lambelu.
Perjalanan Surabaya-Makassar, during Follow Up Diklat 2013 PALAPSI UGM 'Jelajah Sulawesi'.
Laut Jawa, 300613.

Friday, June 28, 2013

Setua Waktu.

Andai kata, sekarang kita memilih mimpi-mimpi yang tersisa.
Lebih-lebih, bahkan.
Karena purnama tidak akan habis kau tiduri semalam saja.
Dan peta langit kali ini mengalahkan segalanya.
Lalu aku, kamu.
Mempertahankan tatapan setua waktu.
Demi harapan yang terus tumbuh.
Membekas tak terkendali.
Raut cinta merekah sejalan senyuman pasti.


Move on ya? Kalau memang tidak sanggup, apa never give up saja?
Sesuatu yang terpikir sepanjang Jalan Gejayan sesiangan ini.
Yogyakarta, 280613.

Selamat.

Selamat ulang tahun ke tiga puluh delapan, PALAPSI-ku.
Aku sayang kamu.

Hari ini aku akan berangkat ke Maros untuk menjalani during Follow Up Diklat 2013 "Jelajah Sulawesi".
Berkatmu juga, kan.

By the way, selamat sembilan bulan juga untuk kita, besok.
Bertepatan dengan ulang tahun Kadiv baruku si Muhammad 'Rock and Roll-Gondes-Dangduters' Sanhaji dengan angka bioskop.


Di sela packing ulang karena ganti carrier.
Yogyakarta, 280613.

Ia Tidak Jatuh Cinta.

Ia tidak jatuh cinta pada seseorang yang membuatkannya puisi.
Ia tidak jatuh cinta pada seseorang yang memainkannya melodi.
Ia tidak jatuh cinta pada seseorang yang melagukannya nada dalam nyanyi.
Ia tidak jatuh cinta pada seseorang yang dibuatnya berarti.
Ia tidak jatuh cinta pada seseorang yang diam-diam peduli.

Ia jatuh cinta pada seseorang yang tidak jatuh cinta kepadanya.

Yogyakarta, 25-280613.

Friday, June 21, 2013

“Aku akan tetap mencintaimu, dengan atau tanpa bantuan takdir.”

Untuk belajar mengaku jujur.
Untuk belajar menerima tidak.
Untuk belajar menikmati diam.
Untuk belajar mengabaikan logika.
Untuk belajar mengatasi rindu.
Untuk belajar menata emosi.
Untuk belajar menahan diri.
Untuk belajar melupakan cemburu.
Untuk belajar mengirimkan doa.
Untuk belajar mengikhlaskan bahagia.

Judul dikutip dari pernyataan salah seorang teman Mas Yoga dari Kalimantan, yang saat itu tengah mencurahkan hatinya.


Yogyakarta, 200613.

Desir.

Terperangkap pada sangkar ragamu yang terlalu sempurna.
Sampai lekuk-lekuk terdalamnya.
Aku hanyut dan tak lagi bisa menepi.
Semakin ku tahan semakin kau lepaskan.
Saling silang yang lain beradu pandang.
Menggengam peluk, mengecup jiwa.
Hidup mengangkasa...

Yogyakarta, 200613.

Teman Tapi Lebih.

"Dadi, koe pengene pie La?"
"Opo?"
"Koe karo _____."
"Konco lah."
"Sing pie?"
"Konco cedhak."
"Koyo pie? Aku karo Chung opo Mas Eka karo Chung?"
"Koyo Fendi karo Mardi, eh Firda."
"Oh."
"Iyolah, ra koyo koe karo Chung opo Mas Eka karo Chung."
"Hanya teman yo."
"Apane? Teman tapi... lebih?"

Hasil ngobrol sama Kaitot sepulang ujian Biopsi.

Yogyakarta, 210613.

Tidak Terpecahkan.

Sia-sialah.
Yang terlanjur pontang-panting.
Berusaha menyelamatkan logika.
Sebab cinta tidak pernah berpikir terlebih dahulu.
Atau merampungkan satupun diskusi.
Kalau sejak berabad lampau.
Sampailah akhir dunia.
Tetap tidak terpecahkan.


Yogyakarta, 200613.

Paceklik Rindu.

Mustahil.
Bagaimana bisa frasa itu tercipta?
Sedang dekat saja tak pernah cukup.
Jauh sendiri makin menikam.
Yang ingin dilupa malah menggurita.
Ke permukaan.
Kemarau hanyalah mitos.
Kering serupa ilusi.
Berpayungkan awan-awan penghujan.
Menggenangkan cerita, berceceran tak sudah-sudah.


Yogyakarta, 200613.

Meluruskan Tanya?

Kamu bukan alasanku menulis.
Kamu bukan sosok di balik setiap tulisanku.
Lebih dari itu.
Kamu adalah manusia yang membuat tulisanku ada.
Jadi, kalau benar sekarang aku dituntut untuk selalu berkutat dengan tulis-menulis.
Terlebih dahulu harus kupastikan kamu tetap di sana.
Ada secara nyata.
Di tempat yang bisa kujangkau dengan mataku.
Rasaku.
Imajinasiku.
Dan lain-lain.


“Aku belum bilang iya.”
“Kenapa?”
“Aku merasa nggak yakin sanggup kalau harus nulis terus.”
“Ya kan yang nulis bukan kamu semua, cukup jadi koordinator.”
“Tetep nggak yakin.”
“Ah, ayolah. Kami udah memberi kepercayaan lho sama kamu.”
“Iya sih, tapi... ada alasan lain.”


Yogyakarta, 200613.

Thursday, June 20, 2013

Flying Dutchman.

"Kamu tahu legenda Flying Dutchman kan?"
"Tahu."
"Itu kan dikutuk buat berlayar terus di lautan, tanpa pernah berlabuh."
"Iya. Terus?"
"Jangan-jangan aku nih kayak Flying Dutchman. Berlayar terus dari hati ke hati tapi nggak bisa-bisa berlabuh ke satu hati doang."
"Hahaha, asem. Aku juga nih, berarti?"
"Apaan, kamu baru jomblo berapa bulan?"
"Iya ya, kamu empat tahun jomblonya."
"Hem, dia juga dikutuk kali ya, udah empat tahun juga."
"Jangan lah. Pasti suatu saat dia akan melabuhkan hatinya."

Hasil obrolan sama Mas Yoga di Somayoga, Rabu, 200613.

Yogyakarta, 210613.

Bisa Jadi.


Aku tak lagi marah pada asap.
Sandang pakai empat kali lagi.
Masih berupa kata buruk.
Dan terpejam, selarut malam yang sanggup dikayuh.
Masih tertata, masih terlihat.
Melengkungkan senyum bicara pada semesta.

Dalam sekian-sekian itu, alasan asal yang dikemas apik, atau produk dari toleransi yang kelewatan, bukankah sesuatu yang jemari mana pun bisa tuliskan?

Yogyakarta, 200613.

Karena Cinta Tak Bisa Direncanakan.


Hari itu tengadah ke atas dinding.
Sembilan bulan telah lewat.
Titik-titik kenangan berebut ingatan.
Di puncak, tertinggi dari alasan sebelumnya.
Sementara aku mengukiri pasir di tanah yang dilupakan hujan.
Dengan kamu berubah-ubah.
Dari perasaan yang berkali-kali diingkari.
Adakah yang bukan dan lainnya?

Yogyakarta, 200613.

Dua Hari Lalu, Nyala Merahmu Setelah Sekian Waktu, Membangunkanku.


Ada satu kotak rahasia di sana.
Terletak di sudut kanan atas.
Dikunci empat angka sang abu-abu.
Hari ini kubuka lagi.
Isinya enam puluh baris.
Masih setia menunggu merahnya menyala.

Yogyakarta, 18-200613.

Wednesday, June 12, 2013

Pergi. Lagi.



Aku adalah tipe orang yang tidak sanggup diam di suatu tempat dalam waktu lama.

Setelah beberapa saat berkutat dengan lingkungan yang sama, biasanya akan timbul keinginan untuk pergi.

Dan aku selalu menuruti keinginan itu.

Aku menyukai tempat baru, suasana baru, hal-hal baru

Keterasingan bukan sebuah hal yang menyusahkan, justru aku bisa menikmati masa-masa di mana aku harus menyesuaikan diri.

Tapi ya… Tidak munafik aku juga ingin merasa nyaman di satu saja tempat.

Berlabuh, lalu meminimalisir kecenderungan kutu loncatku itu.

Paling tidak ada rumah untukku pulang.

Kembali.

Berdamai dengan diri sendiri.

Karena berada di berbagai tempat, seringkali malah akan membuatku merasa tidak berada di manapun.



Kandang Kuda, di sela kumpul tim.
Ruwet dengan bantingan transportasi dan konsumsi.

Yogyakarta, 120613.

Berusaha... Sepadan.


Dikirimi Kelana Bayu Aji.
Baru dicek hampir sebulan setelah dikirim, maaf ya :p

Tuesday, June 11, 2013

Hangat.

Gelap telah bersaksi sedingin malam.
Ketidaksengajaan mimpi berbuah tanya.
Tak ada waktu berpikir, sempat terlelap jua.
Percikan kejut saat terbangun nyata adanya.

"Kenikmatan daging memang sering bikin bimbang."
-Yunita Chung, 2013.

Yogyakarta, 100613.

Huruf Keenam dan Huruf Kedelapan.

Jerat tanya berkerumun.
Penuh sekat-sekat tanpa jawab.
Kalau harus gelap, gelaplah saja.
Dan aku bisa menelan kecewa dengan tenang.

Yogyakarta, 090613.

Friday, June 7, 2013

Jumat, Aku Jatuh Cinta.

Dan kamu yang meracuni hariku tanpa sengaja.
Aku terjebak dalam perdebatan benar-salah tak berkesudahan.
Sejenak menghindar dari kotak kecil dan takhta yang dihuni singgasananya.
Tapi sebentar lagi fase ini berakhir, bukan?

Yak, saya sangat lemah terhadap laki-laki yang rapih.

Yogyakarta, 070613.

Thursday, June 6, 2013

Setengah Marah pada Diri Sendiri, Aku Memilih Tulisan daripada Tangis. Sudah Diam Saja, Jangan Hakimi Tulisanku Lagi. Berhenti Mengira Seluruh Tulisanku Ada Hubungannya dengan Seseorang Itu. Lupakan.

Aku kenal seorang teman yang teramat suka menulis.
Ia sanggup menulis berpuluh-puluh karya dalam waktu singkat.
Walaupun hanya puisi pendek, atau cerita sepanjang hari.
Inspirasinya seperti selalu tersedia, tiada habis.
Katanya, itu karena ia memiliki sosok yang tepat sebagai sumber dayanya untuk menulis.
Sejak menemukan sosok itu, ide-idenya mengalir tegas.
Terlalu banyak bahkan, kadang-kadang hingga ia kewalahan.
Ia pun tak mengerti bagaimana bisa demikian.
Namun, sosok itu seperti orang-orang hebat biasanya.
Ada tapi tak bisa diraih, sekedar melirik saja tak sudi.
Lalu ia tersenyum pahit, berusaha pergi.
Bertahan dalam bayangan sosok itu selagi tetap menulis.
Sampai suatu ketika ia dekat dengan seseorang.
Dan sedikit demi sedikit melupakan sosok itu.
Tulisannya semakin jarang ditemukan.
Pembaca setianya mulai merasa kehilangan.
Ternyata, awan hitam menggenang di otaknya.
Gagasan-gagasan hanya mengendap dan berlalu sebelum sempat dituangkan.
Ia kecewa, frustrasi dengan dirinya sendiri.
Menghadapi dilema.
Ia ingin melaju menerabas luka.
Ia ingin menghapus sosok itu.
Ia ingin bahagia untuk dirinya sendiri.
Tapi jika harga yang dibayar adalah ketidakmampuannya untuk menulis lagi, masihkah semuanya berarti?



“Mungkin cintamu belum sebesar cintamu yang lalu... Kamu pasti kembali ke satu orang itu di tulisanmu...”

Yogyakarta, 040613.

Wednesday, June 5, 2013

Di Atap.

Tatkala tikaman sejuta tetes tinta di atas kertas tak jua membuat dirinya bernyawa di kedua mata itu.
Ketika  selaksa kedip aksara di layar tak mampu membuat dirinya berharga di semesta hati itu.
Saat seribu kata-kata terbias di udara tak juga sanggup membuat dirinya bermakna di angkasa pikiran itu.
Ia kehabisan cara untuk membuktikan dirinya masih bisa berdiri di tengah reruntuhan malam itu.

“Dia nggak mau kalau harus dia yang bilang... Bener-bener nggak mau...”
Sebuah cerita yang merusak hariku. Seketika.

Yogyakarta, 040613.

Sunday, June 2, 2013

Semua yang Tak Bisa Kumiliki.



Satu : Prasangka.

“Wah, udah wisuda ya?”
“Eh iya, pacarnya juga.”
“Banyak amat lulusan bulan ini.”
“Wah, kapan kau nyusul?”
“Cie... kok nggak beliin bunga?”
“Sini-sini, yang mau pesen bunga!”
“Asem, jangan gitu lah, tega banget kalian.”

Ditimpa riuhnya ruang kecil yang saling bersahut itu, aku termenung. Tak tahu harus menanggapi apa.

“Ehem. Nggak usah sok tahu.”

Kamu, memalingkan muka ke layar. Bersikap seolah tak peduli yang ternyata hanya pura-pura. Dan perasaanmu ternyata termuntahkan jua, meskipun mungkin hanya aku yang mendengarkan. 

Dalam hati aku mendengus. “Tahu tidak, aku sudah merasakan bagaimana orang yang pernah aku sayangi, menikah. Tak sama denganmu, memang. Tapi lebih parah.” 

...

Dua : Persembunyian.

“Hei.”
“Hei.”
“Sudah lama?”
“Belum. Aku baru sampai juga.”
“Nyasar?”
“Pasti lah. Mana bisa seseorang sepertiku sanggup ke pantai sendirian tanpa tersasar?”
“Maaf ya, rapatnya tadi lama.”
“Aku mengerti kok.”

Lalu, serempak kami merebahkan tubuh ke hamparan pasir. Tak seperti hari-hari sebelumnya, ombak hari ini tak bergulung terlalu kencang. Angin telah membawa kabar bahagia dari langit yang berhasil menenangkannya, barangkali. Namun, tanpa bisa dicegah, matahari membiaskan desah-desah gelisah menjelang terbenamnya. Hal yang membuatku berguling-guling tanpa kendali dan kamu, menggerak-gerakkan kaki membentuk bekas layaknya kipas raksasa.

“Apa kita akan baik-baik saja dengan terus seperti ini?”
“Aku yakin.”
“Aku sibuk, kamu santai...”
“Aku oke kok.”
“Kamu terlalu banyak berkorban. Ketika aku harus selalu mendahulukan kepentingan...”
“... tak apa. Seandainya aku menjadi bagian dari mereka, aku mungkin akan melakukan hal yang sama. Walaupun mungkin tidak sebaik dirimu. Dan kenyataannya mungkin aku benar-benar tidak mampu.”
“Omong kosong.”
“Kamu tahu betapa  sayangnya aku pada mereka. Sama seperti kamu apa yang kamu rasakan terhadap mereka.
“Lebih dari apapun.”
“Jaga saja apa yang menurut kita berharga.”
“Baiklah. Tetap seperti ini. Terima kasih...”
“Dengar. Kamu yang terbaik, oke? Dan demi apapun, aku tak akan pernah bisa merasa keberatan ”

Hening. Tiba-tiba, kami ingin mengecup waktu agar ia berbunga-bunga hingga lupa menamatkan senja.

...

Tiga : Perhentian.

“Mas, kan ning kampus ki enek cah-cah sing akademisi, kupu-kupu, aktivis... Menurutmu aku tipe sing opo?”
“Kowe cah sibuk.”

Pernyataan yang selalu membuatku merenung. Bukan menyesal. Kesibukan memang suatu pilihan. Sebuah keputusan yang terus terang menghidupkan. Aku merasa sanggup menjalani semuanya dengan semangat, berkat Tuhan dan benda mungil sangat berguna bernama agenda.

Sampai suatu ketika...

“Ngopo e?”
“Ra popo.”
“Ketok kesel e kowe.”
“Akeh gawean sih. Semangat!”
“Mbok pisan-pisan kowe selo...”
“Suk ya, nek iki wis rampung, ajari aku dadi wong selo.”
“Haha. Oke. Eh, kowe ajar deh nulis sepuluh syukur ben esuk karo bengi. Ben kegiatanmu kabeh lancar...”



Diselesaikan di sebuah rumah makan ber-WIFI dalam kondisi sakit dan lapar karena makan terakhir lebih dari dua puluh empat jam yang lalu.
Yogyakarta, 020613.