Satu : Prasangka.
“Wah, udah wisuda ya?”
“Eh iya, pacarnya juga.”
“Banyak amat lulusan bulan ini.”
“Wah, kapan kau nyusul?”
“Cie... kok nggak beliin bunga?”
“Sini-sini, yang mau pesen bunga!”
“Asem, jangan gitu lah, tega banget kalian.”
Ditimpa riuhnya ruang kecil yang saling bersahut itu, aku termenung.
Tak tahu harus menanggapi apa.
“Ehem. Nggak usah sok tahu.”
Kamu, memalingkan muka ke layar. Bersikap seolah tak peduli
yang ternyata hanya pura-pura. Dan perasaanmu ternyata termuntahkan jua,
meskipun mungkin hanya aku yang mendengarkan.
Dalam hati aku mendengus. “Tahu tidak, aku sudah merasakan bagaimana
orang yang pernah aku sayangi, menikah. Tak sama denganmu, memang. Tapi lebih parah.”
...
Dua : Persembunyian.
“Hei.”
“Hei.”
“Sudah lama?”
“Belum. Aku baru sampai juga.”
“Nyasar?”
“Pasti lah. Mana bisa seseorang sepertiku sanggup ke pantai
sendirian tanpa tersasar?”
“Maaf ya, rapatnya tadi lama.”
“Aku mengerti kok.”
Lalu, serempak kami merebahkan tubuh ke hamparan pasir. Tak
seperti hari-hari sebelumnya, ombak hari ini tak bergulung terlalu kencang.
Angin telah membawa kabar bahagia dari langit yang berhasil menenangkannya,
barangkali. Namun, tanpa bisa dicegah, matahari membiaskan desah-desah gelisah
menjelang terbenamnya. Hal yang membuatku berguling-guling tanpa kendali dan
kamu, menggerak-gerakkan kaki membentuk bekas layaknya kipas raksasa.
“Apa kita akan baik-baik saja dengan terus seperti ini?”
“Aku yakin.”
“Aku sibuk, kamu santai...”
“Aku oke kok.”
“Kamu terlalu banyak berkorban. Ketika aku harus selalu
mendahulukan kepentingan...”
“... tak apa. Seandainya aku menjadi bagian dari mereka, aku
mungkin akan melakukan hal yang sama. Walaupun mungkin tidak sebaik dirimu. Dan
kenyataannya mungkin aku benar-benar tidak mampu.”
“Omong kosong.”
“Kamu tahu betapa
sayangnya aku pada mereka. Sama seperti kamu apa yang kamu rasakan
terhadap mereka.
“Lebih dari apapun.”
“Jaga saja apa yang menurut kita berharga.”
“Baiklah. Tetap seperti ini. Terima kasih...”
“Dengar. Kamu yang terbaik, oke? Dan demi apapun, aku tak
akan pernah bisa merasa keberatan ”
Hening. Tiba-tiba, kami ingin mengecup waktu agar ia
berbunga-bunga hingga lupa menamatkan senja.
...
Tiga : Perhentian.
“Mas, kan ning kampus
ki enek cah-cah sing akademisi, kupu-kupu, aktivis... Menurutmu aku tipe sing
opo?”
“Kowe cah sibuk.”
Pernyataan yang selalu membuatku merenung. Bukan menyesal.
Kesibukan memang suatu pilihan. Sebuah keputusan yang terus terang
menghidupkan. Aku merasa sanggup menjalani semuanya dengan semangat, berkat
Tuhan dan benda mungil sangat berguna bernama agenda.
Sampai suatu ketika...
“Ngopo e?”
“Ra popo.”
“Ketok kesel e kowe.”
“Akeh gawean sih. Semangat!”
“Mbok pisan-pisan kowe
selo...”
“Suk ya, nek iki wis
rampung, ajari aku dadi wong selo.”
“Haha. Oke. Eh, kowe
ajar deh nulis sepuluh syukur ben esuk karo bengi. Ben kegiatanmu kabeh
lancar...”
Diselesaikan di sebuah rumah makan ber-WIFI dalam kondisi
sakit dan lapar karena makan terakhir lebih dari dua puluh empat jam yang lalu.
Yogyakarta, 020613.