Friday, August 23, 2013

Haru-Haru - BIGBANG.



Tteonaga
Yeah, I finally realise, that I’m nothing without you
I was so wrong, forgive me

Ah ah ah ah~

Padocheoreom buswojin nae mam
Baramcheoreom heundeullineun nae mam
Yeongicheoreom sarajin nae sarang
Munsincheoreom jiwojiji ghana
Hansumman ttangi kkeojira swijyo
Nae gaseumsoge meonjiman ssahijyo (say goodbye)

Yeah
Nega eobsineun dan harudo mot sal geotman gatatdeon na
Saenggakgwaneun dareugedo geureokjeoreok honja jal sara
Bogo sipdago bulleo bwado neon amu daedab eobjanha
Heotdoen gidae georeo bwado ijen soyongeobjanha
Ne yeope inneun geu sarami mwonji hoksi neol ullijin anhneunji
Geudae naega boigin haneunji beolsseo ssak da ijeonneunji
Geokjeongdwae dagagagijocha mareul geol sujocha eobseo aetaeugo
Na hollo bameul jisaeujyo subaek beon jiwonaejyo

Doraboji malgo tteonagara
Tto nareul chatji malgo saragara
Neoreul saranghaetgie huhoe eopgie
Johatdeon gieongman gajyeogara
Geureokjeoreok chama bolman hae
Geureokjeoreok gyeondyeo naelman hae
Neon geureolsurok haengbokhaeya dwae
Haruharu mudyeojyeo ga eh eh eh eh

Oh my girl, I cry, cry
You’re my all, say goodbye

Gireul geotda neowa na uri majuchinda haedo
Mot bon cheok hagoseo geudaero gadeon gil gajwo
Jakkuman yet saenggagi tteooreumyeon amado
Nado mollae geudael chajagaljido molla

Neon neul geu saramgwa haengbokhage neon neul naega dareun maeum an meokge
Neon neul jageun miryeondo an namgekkeum jal jinaejwo na boran deusi

Neon neul jeo haneulgachi hayahke tteun gureumgwado gachi saeparahke
Neon neul geurae geureohke useojwo amu il eopdeusi

Nareul tteonaseo mam pyeonhaejigil (nareul itgoseo saragajwo)
Geu nunmureun da mareul teni, yeah (haruharu jinamyeon)
Charari mannaji anhatdeoramyeon deol apeul tende mm
Yeongwonhi hamkke hajadeon geu yaksok ijen
Chueoge mudeo dugil barae baby neol wihae gidohae…

Oh my girl, I cry, cry
You’re my all, say goodbye, bye
Oh, my love, don’t lie, lie
You’re my heart, say goodbye…


...I had completely moved on.

Saturday, August 17, 2013

Hiatus.

...for some upcoming project(s)...

Tuesday, August 13, 2013

Lelaki Elusif.

Selamat malam, Lelaki Elusif.
Terlalu egoiskah jika kutambahkan '-ku'?
Sementara tiada yang saling kita miliki, kita samakan.
Di seberang samudera angan.

Selamat malam, Lelaki Elusif.
Fasihmu merapal kata berbalut irama.
Beserta berat dalam suara.
Hingga fajarku terbalik menjadi senja.

Selamat malam, Lelaki Elusif.
Jangan dulu menatap kamera.
Karena tajamnya mata bisa menyulut rasa.
Menyambutnya, serentak terjaga.

Selamat malam, Lelaki Elusif.
Tak perlu ragu menggenapi bilik abu-abu.
Menaungi pelukan basah, merdu.
Menjungkirbalikkan kata malu.

Selamat malam, Lelaki Elusif.
Temani malamku, lelapku.
Sampai seluruh waktu melumpuh.
Mendesakkan realita kembali penuh ke tubuh-tubuh.

Selamat malam, Lelaki Elusifku...

Untuk seorang Lelaki Elusif di ujung benua, menanti bersama masa untuk hari keempat bulan sebelas, enam warsa lebih awal.

Mantingan, 130813.

Monday, August 12, 2013

Maaf...

Masih dalam suasana Idul Fitri yang makin lama terasa hanya formalitas, sebatas seremonial biasa dengan kata maaf yang ditebar-umbar, entah tersisip makna dan ketulusan di baliknya atau nihil.

Beberapa hari yang lalu aku menulis kata-kata ini untuk kukirimkan sebagai ucapan. Sedikit terinspirasi keberadaan empat 'kamar' di 'kotak besar', tempat yang menampungku sepuluh bulanan ini:

"Setelah kita mendaki ujian kesabaran, mengarungi aliran keberkahan, menyusuri dalamnya memaafkan, menggapai puncak kemenangan...
Selamat lebaran! Mohon maafkan salah-salah Lala yaaa. Never give up!"

Bahkan di akhir aku menuliskan semboyannya. Hm...

Yah, bulan-bulan belakangan memang rumit. Dengan orang-orang yang menjadi keseharian, bukankah kesalahan akan lebih sering kita lakukan?

Pada akhirnya aku memutuskan untuk memohon keikhlasan hatimu untuk memaafkanku. Aku tahu, ada waktu-waktu di mana aku terlalu lugu, terlalu naif untuk tanpa sengaja membeberkan apa yang dipendam rasa. Ada masa-masa di mana aku bersikeras menipu dan menutupi diri pada apa yang sebenarnya terjadi. Ada momen-momen di mana tingkah laku, kata-kata yang kuucap maupun kutulis membuatmu... risih, mungkin. Ada detik-detik diam di mana aku ingin memecah kesunyian, tetapi suasana justru berubah semakin dingin. Ada hal-hal yang mati-matian kutekan, namun justru muncul ke permukaan.

Kesalahan yang baik adalah kesalahan yang tidak lagi diulangi. Maka, aku sendiri akan berusaha, sekeras yang aku mampu, untuk tidak lagi menghadirkan diriku di ruangmu. Kalaupun ada, anggap saja tuntutan kerja dan angin lalu. Tenang saja, aku tidak akan pernah menjadi rekan setimmu kok.

Terima kasih telah menginspirasi sebagian besar tulisanku. Terima kasih telah menjadi satu dari dua manusia yang berhasil mengubahku secara drastis tanpa sengaja (dalam kasus ini, menjadi aku yang jauh lebih baik). Tetaplah menulis. Tetaplah menjadi teladan. Tetaplah tidak peduli. Tetaplah menjadi kamu.

Semoga kamu menemukan kebahagiaan versimu dengan caramu sendiri.


I'm so sorry, but I love you.
I just can't lie.
I'm so sorry, but I love you.
(I love you more more...)


Selamat dua puluh sembilan yang ke sepuluh, Juli.
Mantingan, 11 Agustus 2013.
Aldila Winzariski Rahmawati.

Sunday, August 4, 2013

Terjebak dalam Lirik.


"Susip beon subaek beoneul sseudaga tto jjijeobeorin pyeonji
Sarangeun wae ireoke naegeman mugeopji
Unda haru jongil ulda dongi teunda 
Jeo haega darinji bami najinjido molla na nan."

'Give It to Me'.

"Cham bbeon hadi bbeonhan neoye geureon binbeon han
Geojitmare tto sogasseo
Aju gabssan ni miso e hollin nal gatgo
Neo jaemi itge norasseo

Ijewa seo mwol eojjeo gesseo
Geuri ume gadhyeo na honjaseo
Niga beorin naemam gong heohae
Kkok beoryeo jyeo teongbin geori gata."

'Alone'.

Sistar.

Saturday, August 3, 2013

Fiksionari #6 : Radama.



Bruk.
Ia jatuh. Tersungkur dengan luka di kepala dan simbahan darah di mana-mana.

Satu.
Do you have any memorable place?
Sepenggal lokasi spesifik yang dipenuhi ingatan-ingatan masa lalu. Kenangan yang terus menancap kuat di otakmu tahun demi tahun. Yang walaupun tempat itu kelak tak lagi eksis di dunia, tetap saja kamu tidak bisa menghapusnya begitu saja.

I do have one.
Kalau kamu pergi ke alun-alun kota ini, mampirlah ke sayap barat, bagian yang persis menghadap stadion di seberangnya. Di sana, kamu akan menemukan tiang-tiang lampu jalanan. Pilihlah tiang lampu ke dua dari selatan. Benar, yang menyediakan bangku besi bercat cokelat di sisi kirinya. Bangku itu biasa diduduki orang-orang yang menunggu bus ke kota sebelah.

Tempat hatiku tertambat tiga tahun lampau.


Dua.
Jarum-jarum mungil dalam arlojiku menunjukkan pukul lima sore. Kusandarkan punggungku di bangku cokelat, sembari menerawang jauh ke cakrawala. Sepenggal jingga akan segera menutup senja, menggantinya dengan malam, entah berbintang atau tidak. Di jam-jam seperti ini, biasanya lampu di seluruh tiang akan mulai menyala. Otomatis. Mungkin mereka telah menggunakan sensor cahaya atau apalah, yang akan membuat lampu berpijar saat matahari tak lagi berjaya, juga mati ketika sang Surya beranjak dari peraduan. Teknologi. Paling tidak aku tak perlu mendapati nyala lampu di siang hari lagi seperti beberapa tahun lalu.

Sebuah rangkulan dari belakang leher membuyarkan lamunanku.
“Hai,” sapaku.

Di sebelahku,kini duduk sesosok lelaki dengan senyum termanis di dunia.
“Aku tak akan membuatmu menunggu,” katamu, mengiringi pelukan erat yang terlalu hangat.
“Ah, Dam…”


Tiga.
Radama dan aku bertemu beberapa tahun lalu di tiang lampu itu. Aku tengah menjalani rutinitasku mengitari alun-alun setiap sore, sementara ia sedang menanti datangnya bus antar kota terakhir yang biasanya tiba pukul enam. Dan, seperti biasanya alam semesta berkonspirasi mewujudkan apa yang sering kita sebut sebagai ‘kebetulan’, mata kami bertemu. Senja itu kami lewatkan denganberbagi cerita. Ia kuliah di sini, di sebuah kampus elit agak di pinggir kota. Menekuni ilmu tentang pikiran dan perilaku. Karena jarak kampus dan kotanya tanggung, ia memutuskan untuk pulang hanya sekali seminggu.

Hal pertama yang mengusikku adalah namanya. “Mengapa harus Radama?”
“Ada yang salah dengan itu?” ia mengerutkan kening.
“Tidak. Hanya tak lazim saja. Mengapa bukan Ramadan? Bukan Damar? Untuk orang-orang seperti aku, risiko salah menyebut namamu cukup besar.”
Radama tertawa. “Itu berarti namaku unik, bukan? Dan untuk orang-orang sepertimu, risiko melupakan namaku akan menjadi kecil.”tuturnya percaya diri.

Aku tersipu.
Begitulah. Setiap Jumat kami berjanji bertemu di tempat yang sama, sebelum bus benar-benar datang dan membawanya pulang ke kota sebelah. Semakin hari, hadirnya Radama membuat perasaanku semakin tak terdefinisi.


Gadis itu tak pernah menyadari pandangan prihatin orang-orang yang lalu-lalang di alun-alun sebelah barat, di seberang stadion, yang tanpa sengaja melewatinya, mengamatinya, membicarakannya ketika ia duduk di bangku cokelat di sebelah tiang lampu kedua dari selatan.

“Kasihan sekali gadis itu. Tiga tahun lalu kekasihnya mati di sana. Ya, di tiang lampu itu. Terjebak kerusuhan supporter dua kesebelasan yang sedang bertanding selagi menunggu bus yang biasa membawanya pulang ke kota sebelah…”



Ditulis selepas sahur untuk manusia pertama yang membuatku mati-matian bersembunyi di balik rindu.
‘Radama ‘ diambil dari nama seorang kakak kelas sewaktu SMA, yang selalu jadi sangar setiap aku salah melafalkan namanya.

Terima kasih untuk Adam Maulana atas ilustrasinya :)
Mantingan, 180713.

Thursday, August 1, 2013

Analisis.

"You often put 'someone' inside your story, I guess, hehe."
"Yeah. You just might be the next."
"Wew, haha."

Analisis dari sahabat lama yg ternyata setia membaca tulisan-tulisan di blog ini.

Mantingan, 310713.

Menunggu.

Kamu menunggu aku mengakui aku peduli.
Kamu menunggu aku berkata tanpa kiasan.
Kamu menunggu aku mengungkap diri.
Kamu menunggu aku berhenti melempar proyeksi.

Kamu menunggu...

Aku menunggu kamu berhenti menyindir.
Aku menunggu kamu membongkar cerita.
Aku menunggu kamu mengendalikan emosi.
Aku menunggu kamu menyadari semuanya.
Aku menunggu...


Mantingan, 010813.