Bruk.
Ia jatuh.
Tersungkur dengan luka di kepala dan simbahan darah di mana-mana.
…
Satu.
Do you have any memorable place?
Sepenggal lokasi
spesifik yang dipenuhi ingatan-ingatan masa lalu. Kenangan yang terus menancap
kuat di otakmu tahun demi tahun. Yang walaupun tempat itu kelak tak lagi eksis
di dunia, tetap saja kamu tidak bisa menghapusnya begitu saja.
I do have one.
Kalau kamu pergi
ke alun-alun kota ini, mampirlah ke sayap barat, bagian yang persis menghadap
stadion di seberangnya. Di sana, kamu akan menemukan tiang-tiang lampu jalanan.
Pilihlah tiang lampu ke dua dari selatan. Benar, yang menyediakan bangku besi
bercat cokelat di sisi kirinya. Bangku itu biasa diduduki orang-orang yang
menunggu bus ke kota sebelah.
Tempat hatiku tertambat
tiga tahun lampau.
Dua.
Jarum-jarum
mungil dalam arlojiku menunjukkan pukul lima sore. Kusandarkan punggungku di
bangku cokelat, sembari menerawang jauh ke cakrawala. Sepenggal jingga akan
segera menutup senja, menggantinya dengan malam, entah berbintang atau tidak.
Di jam-jam seperti ini, biasanya lampu di seluruh tiang akan mulai menyala.
Otomatis. Mungkin mereka telah menggunakan sensor cahaya atau apalah, yang akan
membuat lampu berpijar saat matahari tak lagi berjaya, juga mati ketika sang
Surya beranjak dari peraduan. Teknologi. Paling tidak aku tak perlu mendapati
nyala lampu di siang hari lagi seperti beberapa tahun lalu.
Sebuah rangkulan
dari belakang leher membuyarkan lamunanku.
“Hai,” sapaku.
Di
sebelahku,kini duduk sesosok lelaki dengan senyum termanis di dunia.
“Aku tak akan
membuatmu menunggu,” katamu, mengiringi pelukan erat yang terlalu hangat.
“Ah, Dam…”
…
Tiga.
Radama dan aku
bertemu beberapa tahun lalu di tiang lampu itu. Aku tengah menjalani
rutinitasku mengitari alun-alun setiap sore, sementara ia sedang menanti
datangnya bus antar kota terakhir yang biasanya tiba pukul enam. Dan, seperti
biasanya alam semesta berkonspirasi mewujudkan apa yang sering kita sebut
sebagai ‘kebetulan’, mata kami bertemu. Senja itu kami lewatkan denganberbagi
cerita. Ia kuliah di sini, di sebuah kampus elit agak di pinggir kota. Menekuni
ilmu tentang pikiran dan perilaku. Karena jarak kampus dan kotanya tanggung, ia
memutuskan untuk pulang hanya sekali seminggu.
Hal pertama yang
mengusikku adalah namanya. “Mengapa harus Radama?”
“Ada yang salah
dengan itu?” ia mengerutkan kening.
“Tidak. Hanya
tak lazim saja. Mengapa bukan Ramadan? Bukan Damar? Untuk orang-orang seperti aku,
risiko salah menyebut namamu cukup besar.”
Radama tertawa.
“Itu berarti namaku unik, bukan? Dan untuk orang-orang sepertimu, risiko
melupakan namaku akan menjadi kecil.”tuturnya percaya diri.
Aku tersipu.
Begitulah.
Setiap Jumat kami berjanji bertemu di tempat yang sama, sebelum bus benar-benar
datang dan membawanya pulang ke kota sebelah. Semakin hari, hadirnya Radama
membuat perasaanku semakin tak terdefinisi.
…
Gadis itu tak
pernah menyadari pandangan prihatin orang-orang yang lalu-lalang di alun-alun
sebelah barat, di seberang stadion, yang tanpa sengaja melewatinya,
mengamatinya, membicarakannya ketika ia duduk di bangku cokelat di sebelah
tiang lampu kedua dari selatan.
“Kasihan sekali
gadis itu. Tiga tahun lalu kekasihnya mati di sana. Ya, di tiang lampu itu.
Terjebak kerusuhan supporter dua kesebelasan yang sedang bertanding selagi
menunggu bus yang biasa membawanya pulang ke kota sebelah…”
Ditulis selepas sahur untuk manusia pertama
yang membuatku mati-matian bersembunyi di balik rindu.
‘Radama ‘
diambil dari nama seorang kakak kelas sewaktu SMA, yang selalu jadi sangar
setiap aku salah melafalkan namanya.
Terima kasih untuk Adam Maulana atas ilustrasinya :)
Mantingan, 180713.