Tuesday, December 8, 2015

God, She Loved Loves You.

Gerimis menderas di genangan kenangan,
tempat kami bersua dalam baris-baris keresahan.
Bercermin, melempar pertanyaan.

Katanya, “Mendaratkan kakimu di sana adalah kesalahan.”
Padahal aku hanya pejalan,
terus melangkah tanpa menjadikanmu tujuan.

Kami bertikai lewat goresan pena, lewat puisi.
Lewat metafora, lewat diksi.
Lewat  tanda kutip yang diputar balik.

Aku menahan diri, ketakutan.
Sadar aku pihak yang kalah waktu, jika ‘kini’ tak bisa jadi taruhan.

Kemudian, aku tak lagi peduli.
Kubiarkan ia memeluk, mengecup romansa samar hari-hari kemarin,
tak sanggup menghapus jejak hujannya sendiri.


Yogyakarta, 081215.

Monday, September 14, 2015

Dalam Pelarian.

Kamu adalah setiap pikiran-pikiran kotor dalam fantasi,
kenikmatan raga paling duniawi yang terlampau ingin kuserakahi
melalui bingar, sepi,
dan rahasia sendiri.

Mantingan, 140915.

Sunday, August 2, 2015

Menyelamatkan Peraduan.

Rinduku ingin mengakrabi temu, bukan menceritakan ulang dongeng layang-layang. Sayangnya, manis kadang memang hanya bisa dikecup semalam. Pada akhirnya, kita adalah manusia yang coba menjadi manusiawi barang sejenak: memahami tubuh, memaklumi butuh.

Bandungrejo, Magelang, 020815.

Thursday, July 30, 2015

Dadu Mati.

Dadu mati. Seumur hidup ia menyembah jari tengah, juga menenggak air seninya sendiri. Ia menyukai titik, membenci koma. Sebab, baru kali ini yang tumpul terasa lebih tajam. Lalu, malam tadi ia mengurasi jatah kasih sisa. Kisah lawas. Realita menampik mimpi, candu setahun tergenapi. Terangi, dan rapuhkan ia sekali lagi.

Bandungrejo, Magelang, 300715.

Monday, July 6, 2015

Menyambut Gelap.

Jadi aku melarikan diri untuk kedua kalinya.
Menyambut gelap.
Bedanya, saat itu,
aku menyuap sang saksi mata agar
tutup mulut
dan
membakar jembatan yang ada.

Bandungrejo, Magelang, 060715.

Sunday, July 5, 2015

Bermain Api.

Sepetik malu, sepetik merdu.
Sepetik larut, sepetik hanyut.
Sepetik redup, sepetik hidup.

Layaknya kemelut dalam rindu,
jarak yang justru menggema usai temu.

Menguji waktu.
Menerka, apa aku ini cacat dalam rencana
dan
kamu, tidak harus bernama 'Asmara'.


Bandungrejo, Magelang, 050715.

Saturday, July 4, 2015

Mendaki Udara Kosong.

Sedikit saja yang penuh.
Satu kali percobaan, pergi bersauh.
Belum lama lepas merengkuh, terjun bebas retih merapuh.

Beku menjauh.

Sedikit saja yang penuh, sebentar-sebentar terdengar gemuruh.

Bandungrejo, Magelang, 040715.

Wednesday, July 1, 2015

Matahari.

Percakapan yang tersisih,
jatuh menimpa harap-harap nihil,
menyangkal jebakan separuh hati,
menyangkal ingin di dalam dingin,
menyangkal senja yang memaku jingga di ufuk memori.

Yogyakarta, 010715.

Saturday, February 28, 2015

What happened?/ You got the game/ End/ What was over is over/ I tried not to cry/ I tried to numb the pain/ But, hey didn't that matter to you?



Pahit laksana racun yang tertelan mati, 
sakit serasa tato yang digores pasti.

*

Dihamparkan debur ombak dan biru langit, terpaan angin, sulit bagiku untuk tidak merasa hilang. Lepas. Kosong. Tanpa bisa mengendalikan diri, kujatuhkan diri. Aku benci pasir, namun kali ini kubenamkan diriku dalam butir-butir kecilnya. Berharap riak-riak air itu mencapaiku, melengkapi air mataku.

Senja itu tidak jingga. Ia dipenuhi semburat nelangsa.

*

Kakiku tersaruk paksa menuju rumah terdekat. Kuketuk pintu sambil berpikir, "Alangkah nyamannya bisa memiliki rumah tepi pantai." Penghuninya, seorang ibu berwajah ramah, mempersilakanku masuk setelah mendengarkan ceritaku. Barangkali ia iba melihatku seberantakan ini. Selagi beliau menawarkan diri membuatkan minuman hangat, kupandangi banyak foto yang terpajang di salah satu dinding.

Sadar aku mengamati saksama sosok-sosok yang terbingkai dalam pigura berbeda, sang ibu dengan bangga berkata bahwa itu adalah anak laki-lakinya.

Aku tahu itu. Hal yang tidak diketahui si ibu adalah luka yang ditinggalkan lelaki itu padaku.

*

Jalanan-jalanan tepi/
Langkah-langkah tanpa bunyi/
Bersembunyi/
Dari mereka yang mengingkari sepi/

*

"Namun di sana, bergerak senyum bahagiamu seperti kayuhan yang meroda. Kamu tidak sadar, ada tubuh terbaring segelap jalan raya yang kau lindas setiap malam, sengaja atau tidak sengaja."

*

Sayap-sayap ini siap terbang, tapi kau patahkan berulang-ulang.

*

Layarku berpendar selagi kalimat "I hope you're H-A-P-P-Y!" berteriak.

*

F1/
F2/
F3/
K... alian memenangkan permainan ini.


Yogyakarta, 280215.


Friday, February 6, 2015

Pembeda.

Malam ini bertudung gelap. 
Angin berhembus pelan, melengkapi diamnya batu pipih lebar tempatku berbaring. 
Berkhayal.

Aku melewatkannya dengan bayangmu di mataku yang terpejam.

Aku berharap bahwa raga kita adalah satu-satunya pembeda: 
bukan lautan setengah dunia, 
bukan cara kita menyembah Dia, 
bukan seseorang yang kini ada di antara, 
bukan jarak yang membentang atas kasta, 
bukan jurang pemisah tanah dan angkasa, 
bukan keasingan di sela nama, 
bukan dosa menikmati dunia...

Suatu hari nanti kita akan menyeberanginya, 
selangkah demi selangkah, 
separuh untuk masing-masing cinta. 
Bersama-sama menyingkirkan kerikil dan batu dan karang pembeda.

Sementara itu, suaramu selalu berhasil mengoyak jiwa...


“Loving him is like driving a new Maserati down a dead-end street.”

Mantingan, 05-060215.

Saturday, January 31, 2015

7217,2 kilometer.

Angin bersyarat
menggantung harapan
pada perahu-perahu kecil
dan samudera
dan angkasa.

Sepercik air
menghindar,
sembunyi dari
gejolak rahasia
menggempa,
runtuh di dada.

Mimpi-mimpi
masih saling membaur
membawa malam
mengelabui fajar
di ujung waktu.

Kenyataan
malang melintang
menelikung,
sementara jarak
kian berlipat!


Mantingan-Yogyakarta, 20-310115.

Tuesday, January 13, 2015

Memanggul Impian: Sebuah Tulisan yang Tertunda Tentang Atlet.




Salah satu pemandangan khas yang kerap saya jumpai dari teman-teman atlet adalah ketika mereka menyandang kayak di bahu. Entah sewaktu mereka menuju Lembah UGM untuk berlatih, di motor saat perjalanan operasional, atau ketika menyusuri pinggir sungai sebelum pengarungan. Meskipun belakangan mereka menggunakan gerobak untuk mengangkut kayak (seiring jumlah kayak yang terus bertambah), tak surut rasa penasaran saya dengan "prosesi" memanggul kayak tersebut. Bukankah kayak cukup berat dan merepotkan untuk dibawa dengan cara demikian?


Saya sempat menanyakan perihal memanggul kayak pada mereka. Apakah hal tersebut merupakan kewajiban? Keharusan? Jawaban pertama yang saya dapat adalah "tanggung jawab pribadi". Secara sederhana, "Yang main ya yang ngangkut, yang bawa, yang bersihin, dsb." Sementara itu, teman saya yang lain menjelaskan bahwa hal tersebut merupakan salah satu kemampuan yang harus dimiliki oleh kayaker, yaitu portaging. Bermain kayak tidak melulu soal bagaimana mendayung, nge-roll, tetapi juga bagaimana memindahkan kayak dari satu tempat ke tempat lain dengan baik agar kondisinya tetap prima.

Berbagai penjelasan di atas membuat kekaguman saya terhadap para atlet itu semakin besar. Berkat usaha mereka membawa kayak ke berbagai tempat untuk berlatih dan berlatih, kini impian PALAPSI melakukan ekspedisi ke luar benua terwujud. Ya, sebuah mimpi adalah tantangan yang tak jarang terasa berat di pundak, sesuatu yang secara harfiah mereka rasakan. Akan tetapi, proses tersebut telah mereka jalani dengan sukses. Sekarang, tibalah waktunya pembuktian kerja keras selama ini.

Selamat during, atlet kayak The 3rd International Expedition of PALAPSI: The Spirit of Kiwi Kayaking. Bawalah semangat kami di ranah baru. Berangkat selamat, ngarung selamat, pulang selamat.

Never give up!