2013.
Detik-demi detik
berlalu dalam keheningan di dalam otakku seperti biasanya, padahal ruang empat
kali lima setengah ini sedang penuh dengan hiruk-pikuk manusia. Mataku
memandangi sekujur ruangan samar-samar. Tak ada yang bisa kulakukan, ujarku
dalam hati, yang muncul dalam sebentuk gerakan mengangkat bahu sambil menarik
napas dalam-dalam. Menghembuskannya perlahan dengan tampang jemu. Kubuka netbook butut merahku, memastikan kabel
panjang nan berbelit ini menancap dengan benar ke sumber daya karena tanpanya
ia tak bisa hidup. Begitu layar berukuran sepuluh koma satu inci memancarkan
tanda-tanda kehidupan, kuketikkan sebaris alamat dengan kefasihan yang sangat.
Klik.
...
2012.
Eril.
Bukan Erik.
Eril.
Nama yang indah.
Sekilas ia berima seperti earl,
layaknya gelar pangeran yang disandang seorang bangsawan. Kadang-kadang aku
memikirkan nama teh earl grey juga,
walaupun tentu saja tanpa abu-abu di belakang namanya. Sebenarnya aku
mengetahui nama lengkapnya, dan tak ada unsur ‘Eril’ di sana. Entahlah bagaimana asal mulanya aku merangkai
empat huruf tersebut lalu menyusunnya acak menjadi namanya. Yang jelas aku suka
menyebutnya demikian.
Aku berkenalan
dengan Eril kurang lebih di bulan Oktober. Ya, di sebaris alamat yang selalu
kuketikkan dengan kefasihan yang sangat itu, tempat satu-satunya ia bisa
ditemui. Dan ia seketika memikatku
dengan kata-kata yang dituliskannya, lewat
berlembar-lembar kalimat berbalut sejuta metafora. Yang aku impikan,
yang aku harapkan, yang aku dambakan. Sesederhana apapun, ia selalu berhasil
memikatku ke dalam dunianya yang terang namun menyembunyikan luka menganga di
balik semuanya. Setiap kali sejak yang pertama.
...
2012.
Terkadang, ada
suatu waktu tatkala aku ingin melihat sosok nyata seorang Eril. Namun
sepertinya itu hal yang mustahil. Jadi, aku selalu berakhir dengan merajut
bayangan tentang Eril dalam dimensi imajinasi.
Di sana, tergambar
seorang laki-laki dewasa muda. Mungkin usianya awal dua puluhan. Posturnya
tinggi dengan badan ideal: tidak kurus kerontang seperti penyalah guna
obat-obatan terlarang, tidak gemuk seperti beruang lupa diet. Kulitnya berwarna
kecokelatan cerah layaknya wisatawan-wisatawan asing di Bali sehabis berjemur,
tanpa terlihat terbakar sinar ultraviolet. Rambutnya yang kecil-kecil, tebal,
jatuh, ringan, berpotongan pendek, rapih. Ia akan memiliki wajah bergaris
tegas, hidung mancung, dan otot unik yang menampilkan garis di pipi kanan-kiri
layaknya Uchiha Itachi ketika ia tertawa.
Seolah belum
cukup, ia melengkapi citra misterius dirinya dengan senyuman penuh rahasia. Ditambah
kaca mata yang membuatnya terlihat intelek bin cerdas, namun jika alat bantu
baca itu dilepas, tampang ‘nakal’ ala mereka yang suka mempermainkan hati
wanita akan mengejutkan kalian. Dewasa. Yang terpenting dari semuanya adalah
kedua mata yang bersudut tajam, berwarna kelam, dan bermakna dalam.
Aku menghentikan
imajinasiku. Mana ada manusia sebnear-benar yang aku inginkan seperti itu di
dunia nyata? Apalagi jika ditambah tanpa minuman keras, tanpa asap yang
mengepul dari mulut, dan tanpa meninggalkan Tuhan dalam kehidupan.
Luar biasa
sempurna.
...
2013.
Sejak saat itu,
aku terombang-ambing di atas perasaanku sendiri. Aku mendapati pikiranku
kesulitan untuk menghapus gambaran-gambaran tentang Eril.
Gerbong cerita ini
berjalan begitu cepat. Terlalu cepat, malah. Secepat perubahan yang terasa pada
rasa yang aku rasakan terhadap Eril. Tak terasa nama-nama bulan sudah berputar
silih berganti. Kalian tahu, kata orang-orang, jika ada perasaan aneh yang
bertahan lebih dari empat bulan, itu berarti kalian telah siap untuk menamakan
perasaan itu sebagai ‘cinta’.
Dan itulah yang
aku rasakan.
Aku jatuh cinta.
Tunggu, apakah itu
cinta?
Entahlah. Yang aku
tahu pasti perasaan itu kutujukan untuk siapa.
Pada Eril.
...
2012.
Sudah berabad-abad
lamanya sejak terakhir kali aku bertemu Eril. Setiap kali aku mengunjunginya,
ia tak pernah ada. Tanpa kabar, sama sekali tidak ada berita. Eril menghilang.
Tanpa jejak.
Ada seorang
laki-laki yang berhubungan erat dengan Eril. Tidak, jangan berpikir hubungan
yang terjadi pada mereka sejenis asmara sejenis alias homo. Aku tahu ada sesuatu
yang... salah, antara mereka berdua.
Segala macam
skenario buruk melintas di mimpiku.
Laki-laki itu
pasti telah menculik Eril, menyekapnya dalam gudang memori yang pengap tanpa ia
sempat sadar, berteriak atau membela diri. Ya, pasti begitu! Batinku kalut.
Tidak! Laki-laki itu pasti telah membunuhnya.
Eril mati.
Tak peduli berapa
kali aku memohon pada laki-laki itu untuk memanggil Eril kembali, ia bergeming,
diam, nihil. Kini aku membara dalam kemarahan dan kesedihan, yang memaksaku
untuk lari ke tengah hujan untuk meredakannya dalam tangis dan teriak tak
kentara.
Laki-laki itu
pencipta Eril.
...
Ril.
Aku rindu.
Tak tahu lagi bagaimana lubang kerinduan ini bisa tertutupi.
Walau dibiarkan terbuka, rasanya sesak.
Seolah perasaanku dibebat dari segala penjuru dan lukaku ditaburi
garam.
Keberadaanmu yang tak nyata semakin menyiksa.
Laksana kalimatku sebelumnya: ada tapi tak bisa diraih.
...
2013.
Dari sudut ruangan
yang sama denganku, laki-laki itu bangkit. Ia menyeret tasnya mendekat, mencari
sesuatu di dalamnya. Sejurus kemudian ia melemparkan sesuatu ke arahku, yang
masih berusaha meraih Eril di awang-awang.
Benda itu mendarat
beberapa sentimeter di depan tempatku bersila. Aku memutar kedua bola mataku,
mendongak. Menatapnya masih dengan pandangan sedih dan marah yang belum sempat dibuang
dari pikiran.
“Untukmu.” Katanya
sambil lalu. Dan ia pergi begitu saja meninggalkan ruangan yang kian berisik
tak terkendali.
Aku meraih benda
yang dilemparkannya tadi. Ternyata sebuah buku. Masih baru, terlihat dari
plastik segel yang masih rapat melindunginya dari debu. Sampulnya hitam kelam,
berhiaskan sebuah lambang putih berbingkai segi empat. Aksara-aksara yang ada
juga semuanya putih. Aku membalik buku itu untuk melihat sampul depannya, dan
selama sepersekian milidetik tersengat keterkejutan.
Eril!
Spontan kupeluk
buku itu dengan air mata bahagia bercucuran. Rasa syukur menjalari seluruh
pembuluh darahku, berkecamuk dalam gempita sukacita.
Kau masih hidup!
Ia tak membunuhmu!
Eril, aku rindu!
Monumen sebuah akhir.
Karena fiksi merupakan terjemahan bebas dari realita.
Yogyakarta, 150213.