Sunday, June 2, 2013

Semua yang Tak Bisa Kumiliki.



Satu : Prasangka.

“Wah, udah wisuda ya?”
“Eh iya, pacarnya juga.”
“Banyak amat lulusan bulan ini.”
“Wah, kapan kau nyusul?”
“Cie... kok nggak beliin bunga?”
“Sini-sini, yang mau pesen bunga!”
“Asem, jangan gitu lah, tega banget kalian.”

Ditimpa riuhnya ruang kecil yang saling bersahut itu, aku termenung. Tak tahu harus menanggapi apa.

“Ehem. Nggak usah sok tahu.”

Kamu, memalingkan muka ke layar. Bersikap seolah tak peduli yang ternyata hanya pura-pura. Dan perasaanmu ternyata termuntahkan jua, meskipun mungkin hanya aku yang mendengarkan. 

Dalam hati aku mendengus. “Tahu tidak, aku sudah merasakan bagaimana orang yang pernah aku sayangi, menikah. Tak sama denganmu, memang. Tapi lebih parah.” 

...

Dua : Persembunyian.

“Hei.”
“Hei.”
“Sudah lama?”
“Belum. Aku baru sampai juga.”
“Nyasar?”
“Pasti lah. Mana bisa seseorang sepertiku sanggup ke pantai sendirian tanpa tersasar?”
“Maaf ya, rapatnya tadi lama.”
“Aku mengerti kok.”

Lalu, serempak kami merebahkan tubuh ke hamparan pasir. Tak seperti hari-hari sebelumnya, ombak hari ini tak bergulung terlalu kencang. Angin telah membawa kabar bahagia dari langit yang berhasil menenangkannya, barangkali. Namun, tanpa bisa dicegah, matahari membiaskan desah-desah gelisah menjelang terbenamnya. Hal yang membuatku berguling-guling tanpa kendali dan kamu, menggerak-gerakkan kaki membentuk bekas layaknya kipas raksasa.

“Apa kita akan baik-baik saja dengan terus seperti ini?”
“Aku yakin.”
“Aku sibuk, kamu santai...”
“Aku oke kok.”
“Kamu terlalu banyak berkorban. Ketika aku harus selalu mendahulukan kepentingan...”
“... tak apa. Seandainya aku menjadi bagian dari mereka, aku mungkin akan melakukan hal yang sama. Walaupun mungkin tidak sebaik dirimu. Dan kenyataannya mungkin aku benar-benar tidak mampu.”
“Omong kosong.”
“Kamu tahu betapa  sayangnya aku pada mereka. Sama seperti kamu apa yang kamu rasakan terhadap mereka.
“Lebih dari apapun.”
“Jaga saja apa yang menurut kita berharga.”
“Baiklah. Tetap seperti ini. Terima kasih...”
“Dengar. Kamu yang terbaik, oke? Dan demi apapun, aku tak akan pernah bisa merasa keberatan ”

Hening. Tiba-tiba, kami ingin mengecup waktu agar ia berbunga-bunga hingga lupa menamatkan senja.

...

Tiga : Perhentian.

“Mas, kan ning kampus ki enek cah-cah sing akademisi, kupu-kupu, aktivis... Menurutmu aku tipe sing opo?”
“Kowe cah sibuk.”

Pernyataan yang selalu membuatku merenung. Bukan menyesal. Kesibukan memang suatu pilihan. Sebuah keputusan yang terus terang menghidupkan. Aku merasa sanggup menjalani semuanya dengan semangat, berkat Tuhan dan benda mungil sangat berguna bernama agenda.

Sampai suatu ketika...

“Ngopo e?”
“Ra popo.”
“Ketok kesel e kowe.”
“Akeh gawean sih. Semangat!”
“Mbok pisan-pisan kowe selo...”
“Suk ya, nek iki wis rampung, ajari aku dadi wong selo.”
“Haha. Oke. Eh, kowe ajar deh nulis sepuluh syukur ben esuk karo bengi. Ben kegiatanmu kabeh lancar...”



Diselesaikan di sebuah rumah makan ber-WIFI dalam kondisi sakit dan lapar karena makan terakhir lebih dari dua puluh empat jam yang lalu.
Yogyakarta, 020613.

2 comments:

  1. kesibukan bisa berari ajang aktualisasi diri
    tapi kalau salah, menjadi peladian diri..

    ReplyDelete
  2. Kalau memang pelarian pun, aku nggak keberatan.
    Ada seseuatu yang bisa dipikirkan bisa menjagaku tetap waras, paling tidak.

    ReplyDelete