Sunday, February 23, 2014

Remember This, You :)

"I do my thing and you do your thing. 
I am not in this world to live up to your expectations,
and you are not in this world to live up to mine.

You are you,
and I am I,
 and if by chance we find each other,
 it's beautiful. 
If not, 
it can't be helped."

(Fritz Perls).

Sekilas Tentang Kelud #2.


(lanjutan)

Jangan lupakan fakta bahwa Fluxus alias Ucus, motor kesayanganku, aku tinggalkan di kampus selama liburan. Yap, dua minggu. Terbayang tidak kemungkinan starter-nya ngadat, atau ban kempes, atau mungkin hilang. Sejujurnya kemungkinan terakhir kucoret. Sudah sejak lama aku sering menitipkan motor di kampus. Menurutku aman. Selain jalan keluar-masuk hanya satu dan dijaga 24/7, ada teman-teman Palapsi yang setiap hari pergi ke sekret dan bisa dimintai tolong untuk mengecek keberadaan si merah nan ramping ini.

Nah, starter ngadat adalah salah satu masalah yang  sangat mungkin muncul. Pertama, Ucus memang sering ngadat. Umurnya baru setahun saja sudah pernah mengalami ganti aki. Pernah suatu ketika, selesai diservis, tiga hari kemudian dia macet di tengah jalan dan tidak hidup juga ketika di-starter belakang. Setelahnya baru ketahuan kalau bensinnya habis, dan justru bensin meter-nya yang ngawur. Kedua, aku meninggalkan Ucus cukup lama. seminggu FUD ke Bali, sehari kemudian aku langsung pulang kampung ke rumah untuk liburan selama dua minggu. Praktis, ia hanya sempat terpakai sehari.

Kemudiaaan, semua berubah ketika negara abu menyerang. Abu kelud men! Sungguh tak terbayangkan seperti apa rupa Ucus yang berselimut abu. Dekil. Kotor. Tambahan ada bocoran dari Lina bahwa bentuknya memang sudah tak karuan, duh. hal inilah yang membuatku menunda-nunda acara mengambil Ucus dari parkiran. Malu kalau ketahuan, hehehe.

Ternyata memang benar, Ucus nyaris tak bisa dikenali karena warnanya berubah drastis menjadi kelabu. Abu dan debu yang melekat cukup tebal sampai membuatku cukup merasa bersalah telah meninggalkannya di situ dan (bisa jadi) menjadi obyek cercaan orang-orang yang melihatnya selama ini. Kuputuskan, Selasa malam itu, Ucus harus pulang!

Untuk berjaga-jaga kalau starter-nya ngadat, aku meminta Ophil membantuku mengurus Ucus malam itu. Ternyata starter Ucus tidak masalah, hanya saja ban depan-belakang kempes plus spion kiri hampir lepas karena longgar. Dengan sedikit usaha mengelap permukaan Ucus, ia menjadi sedikit lebih layak dinaiki. Untung malam sih ya, tidak akan ada banyak orang yang sadar. Masalahnya, aku dan Ophil sudah jadi ikut berdebu di segala titik plus bersin-bersin gegara misi penyelamatan (dan pembersihan) Ucus itu.

Keesokan harinya Ucus masuk salon cuci motor, dengan pandangan heran mas yang nyuci. Mungkin ia berpikir kok sudah beberapa hari berlalu masih ada motor yang sekotor ini gitu ya. Entahlah. Pokoknya, hari itu Ucus sudah kembali cling seperti semula!

Sesuatu.

"Even 
the smallest possibility 
of 
losing you 
frighten him. 
Somehow
 I understand 
his fear 
of 
losing a best friend."

(Zia Ayu Lintang Andhini, 2014).

Sekilas Tentang Kelud #1.



Meletusnya Gunung Kelud di beberapa hari sebelum liburan sedikit banyak menimbulkan kehebohan. Yah, tidak parah sih sebenarnya. Hanya membuat Ibuku bertanya dengan heran keesokan harinya, “Ini kapan paginya sih?” karena langit masih gelap walaupun jam hampir menunjukkan pukul setengah tujuh. Pemahaman salah tentang ‘masih pagi’ tersebut menimbulkan ke-mager-an yang lumayan, dan hampir-hampir membuat Bapakku telat berangkat ke kantor, hehehe. Setelah menyalakan televisi (Ibuku langsung menguasai remote, soalnya kalau tidak pasti SpongeBob yang akan tampil di layar kaca), barulah ketahuan kalau Gunung Kelud jadi meletus.

Fakta bahwa gunung itu meletus tadi malam, membuatku di-ece habis-habisan oleh Ibuku. Maklum, jam-jam ketika Gunung Kelud meletus, aku masih ada dalam kondisi terjaga penuh. Membaca ulang seluruh koleksi komik One Piece, hal yang selalu kulakukan ketika liburan. Masalahnya, karena terlalu berkonsentrasi terhadap apa yang kubaca, aku bahkan tidak mendengar suara letusannya. Padahal menurut berita, suara itu terdengar sampai Solo dan Yogyakarta lho. Ibuku langsung berkomentar, “Kok iso ra krungu i lho, jan ra main tenan.”, seolah memunculkan kembali fakta yang sudah menjadi rahasia umum di keluargaku bahwa aku kelewat cuek. Apatis. Terlalu tidak peduli dan kurang peka terhadap lingkungan sekitar.

Hari itu berlanjut dengan kebingungan harus melakukan apa di tengah hujan abu. Hal ini terutama disebabkan keraguan Ibuku untuk membuka toko atau tidak. Akan tetapi, mengingat masker (salah satu benda yang dijual di toko) sedang amat sangat terlalu benar-benar dibutuhkan sekali dalam situasi ini, akhirnya Ibuku berangkat ke toko. Tinggallah aku sendirian bersama tayangan drama Korea favorit Ibuku, beliau lupa mematikan televisi. Aku sih sama sekali tidak berniat ke luar rumah, lha wong kena  debu sedikit saja asmaku bisa kumat. Nah ini abu vulkanik men, yang katanya butirannya lancip-lancip itu. Bahaya kalau terhirup.

Serangan hujan abu di Mantingan (yang notabene masih masuk wilayah Jawa Timur) tidak parah. Hanya langit dan matahari tidak terlihat, tertutup buram yang menggantung di udara. Memang mereka berhasil mengubah lantai teras yang hijau kelereng menjadi abu-abu, tapi tidak masalah. Sekali semprot pakai air langsung bersih, apalagi hujan turun dua kali. Malah katanya Yogyakarta yang parah, gegara angin yang membawa abu mengarah ke barat.

Peristiwa ini membuat kepulanganku ke kota rantau jadi galau. Rencana awalnya, aku ingin pulang hari Minggu, dalam rangka merayakan ulang tahun Febri. Tapi ya kenyataan berkata lain gitu lho. Ibuku bolak-balik bertanya, “Yakin meh mulih saiki?” sambil meyakinkan bahwa untuk kondisi seperti ini, mending di rumah saja. “Kowe kan lagi prei sediluk” adalah salah satu rayuannya. Bahkan beliau punya ide bagus yang tanpa pikir panjang langsung kusetujui, yaitu “Mbolos wae tambah seminggu, hahaha.” Dengan alibi lain “Lha Jogja we kaya ngono. Kampusmu ki kurang pengertian, kudune preine ditambah seminggu.” Sayangnya, ide brilian ini sudah pasti tidak disetujui Bapakku. Untungnya, tiba-tiba masuklah sms dari akademik yang bilang kalau Senin acaranya bersih-bersih kampus. Ya sudah, mending pulang Senin saja.

Masalah selanjutnya adalah transportasi. Selama beberapa hari setelah letusan itu, banyak bus Surabaya-Yogyakarta langgananku hanya beroperasi sampai Solo. Mungkin, jalanan yang tertutup abu membuat mereka tidak bisa ngebut seperti biasanya, hehehe. Jarak pandang juga tidak terlalu bagus untuk berkendara. Kalau untuk penerbangan jelas stop lah ya. Terus, aku pulang naik apa dong? Nah, Bapak memutuskan untuk memeriksa jadwal kereta Madiun Jaya dari Stasiun Kedungbanteng, Gondang. Soalnya, kereta api adalah pilihan yang paling masuk akal. Jadi, Minggu sore, aku dan Bapak ke Gondang naik motor. Parahnya, di tengah jalan mendadak ada angin kencang dari segala arah, yang membuat debu-debu menyerbu udara seketika. Ditambah gerimis pula. Langit mendung, sementara kami belum sampai. Kanan-kiri jalan adalah sawah. Pikiran buruk muncul, terus kalau kena badai bagaimana? Ah, bayanganku tidak terjadi. Sampai stasiun kami malah disambut truk TNI-AD. Nah lho apa coba ini, stasiun kecil sampai dijagain TNI segala. Oh ternyata presiden sedang dalam perjalanan meninjau daerah yang kena efek letusan Gunung Kelud via kereta. Anyway, tidak ada jadwal pemberangkatan dari stasiun itu, adanya dari Sragen jam 7 pagi.

Keesokan harinya aku diantar Ibuku naik motor ke Stasiun Sragen. Tidak sempat sarapan, Ibuk menyuruhku beli sesuatu di toko roti. Sepanjang jalan terdapat tumpukan penumpang bus, entah belum atau tidak terangkut. Sampai di stasiun, aku sudah was-was tidak kebagian tiket, untungnya dapat. Empat puluh ribu men. Bandingkan dengan naik bus yang hanya lima belas ribu, bisa nyegat depan rumah pula. Haaah, tapi aku lumayan bersyukur tidak jadi naik bus, soalnya pasti berdesakan. Kereta datang. Wah Madiun Jaya lebih bagus daripada Sri Tanjung yang kemarin kunaiki selama FUD. Cepat pula, Sragen-Yogyakarta hanya dua jam, setengah dari waktu naik bus. Waktuku di kereta habis untuk melihat-lihat ke luar jendela (gila, mantingan mah tidak ada apa-apanya dibanding Yogyakarta, lihat saja tumpukan abu di pinggir jalan-jalan sekitar bandara) sekaligus menggalaukan naik apa nanti dari stasiun ke kosan. Ada yang janjinya mau jemput sih, tapi... entahlah. Becak yang jadi andalan Ibuku ke mana-mana, jarang. TransJogja belum tentu beroperasi. Ojek, takut soalnya ada pengalaman yang cukup menakutkan sehubungan dengan itu. Ending-nya, aku naik ojek juga.

Sampai di depan kosan, aku langsung disambut mata penghuni kosan yang berbinar-binar. “Ganti baju La, cepet!” seru mereka, gembira ketambahan pasukan. Lepas ganti baju, aku langsung dikasih cangkul dan sekop dan karung sebagai senjata. Foto di atas adalah bukti perjuangan kami mengeruk lumpur yang mulai mengeras di parkiran, hasil perpaduan antara abu vulkanik dan hujan yang membasahi malam hari sebelumnya. Oh ya, kami dibantu dua mas-mas kosan sebelah yang ganteng lho, hahaha. Sayangnya, mereka keburu dipanggil ibu kos mereka sendiri untuk kerja bakti bersih-bersih kampung sebelum urusan mereka dengan kami selesai.

Setelahnya aku masih harus membersihkan balkon sendirian. Singkat cerita aku berburu pel sodok yang mendadak susah dicari (bahkan stok di Mirota habis). Balkon baru bersih dua hari sesudah aku datang, sesudah beli pel sodok itu. Akhirnya semuanya bersih, sampai... aku ingat ada masalah lain.

(bersambung)


Saturday, February 22, 2014

Indeed.

"Men categorize women in one of four ways: mothers, virgins, sluts, and bitches. 

Of course, none of the above is suitable for modern bussinesswoman, but you can create your own image by selecting pieces of each archetype that work for you.

For example.
The sexual attractiveness of the slut. 
The wisdom of the mother. 
The integrity of the virgin. 
The independence of the bitch. 

This leaves men confused and unable to pigeon-hole you. What they'd forced to do instead is take you seriously."

(Syrup, based on the novel by Max Barry)






Thursday, February 20, 2014

Sisa Persoalan.

Bukan masalah benar atau salah.
Tapi berhentilah berlagak sok tahu.
Tidak perlu menggurui lewat ceramah.
Banyak sampah dalam kalimatmu.

Yogyakarta, 200214.

Tuesday, February 18, 2014

Ia Luluh karena Ketulusan Sampai Cairannya Meluber Melalui Celah-Celah Hati.

Kamu masih ingat pembicaraan kita tentang ego kemarin dulu? Nah, sudah beberapa hari ini aku tak melihatnya. Dimana gerangan si kokoh itu? Si batu karang di tengah lautan? Si tebing nan menjulang? Tak berbekas. Bagaimana bisa justru ini akhir yang terjadi? Sungguh tidak disangka-sangka sebelumnya. Dan kalau boleh aku menambahkan, mengapa? Aku benar-benar tidak mengerti. Akan tetapi, bagaimana aku bisa menuntut diriku untuk mengerti padahal aku sama sekali belum mengetahui. Jadi, sekarang juga, tolong penuhi dahaga penasaranku ini. Jawablah, apakah ia runtuh? Apakah ia roboh sekali gempur? Tidak? Lalu apa yang menyebabkan ia kalah? Sebentar, apa maksudmu ia tidak kalah? Jika demikian... apakah ia mengalah? Apa? Tidak juga? Ah,kau memang pandai memutar-mutar pembicaraan, aku lupa sampai mana tadinya permainan ini berlangsung. Tahu tidak, sebenarnya kita hampir tidak membuat kemajuan. Aku sudah cukup pening dengan alur kisahmu. Misteri... misteri...  Bagaimana jika kita mencoba mereka-reka? Kau bilang mengira-ngira bukan metode yang tepat. Menebak? Sama saja. Ah, tapi ternyata kita sama-sama tidak tahu. Ya sudahlah, bagaimana kalau kita menebak saja melalui kata hati. Atau, ada ide lainkah yang terlintas di kepalamu? Wah, katamu kau hanya bisa memikirkan satu kemungkinan? Baiklah, apapun itu, beritahukan padaku. Ah...  demikian rupanya. Sepertinya aku bisa memahami sudut pandangmu. Aku tahu hal-hal seperti itu terjadi. Dan kali ini tak lain adalah juga sebuah bukti, bahwa tak ada yang tak mungkin di dunia ini.

Yogyakarta, 180214.

Menggunung.

Timbunan kelabu, kamu tahu.
Telah berubah debu di mataku.
Sehingga dari jaraknya hati pun tak bisa mau.
Mengukur lamunan lalu.
Tentang kalbu.
Tentang rindu.
Tentang seteru.
Tentang sendu.
Tentang waktu.
Tentang syahdu.
Berapa lama ia termangu, tergugu.
Bagaimana ia merayu, mengadu.
Dan dianggap mengabu.

Warna keraguan yang tak mampu memutih dan takut menghitam.
Abu-abu!
Yogyakarta, 180214.

Sunday, February 9, 2014

Cuplikan Satu.

Biru.

Dedaunan yang berguguran bertebaran memenuhi badan jalan seiring condongnya matahari ke ufuk barat. Tentu saja di negara dengan dua musim tidak pernah benar-benar ada musim gugur, hanya kemarau yang kering menyengat. Matahari bisa meranggaskan pepohonan, menggantung nyawanya, merapuhkan pucuk-pucuk dahan yang bergelayut lemah. Menanti angin yang akan mencabut dedaunan terlepas dari induknya.

Pada masa-masa seperti ini, entah mengapa orang mudah sekali terpancing untuk marah. Mungkin panas berkonspirasi dengan amarah, seperti eksistensi ‘temper’ dalam ‘temperature’. Sama halnya kita tidak bisa menahan diri untuk saling melempar kesalahan dengan argumen dan tambahan kata-kata yang tak perlu, kemarau silam. Dan seketika saja tak ada bedanya antara kita dan pepohonan itu, dedaunan itu. Meranggas, lalu kandas.

Penghujan pun tidak membantu. Apa yang dapat kau harapkan dari semusim ketika titik-titik air yang awalnya merintik lalu menderas tanpa ampun di luar jendela? Sulit dipungkiri, hujan memang menawarkan sendu yang datang tiba-tiba, seolah kau bisa merasakannya tanpa harus berusaha. Bukannya awan-awan gelap di langit itu sengaja. Mereka hanya melaksanakan tugas, ingatlah selalu untuk tidak menembak sang pembawa pesan.

Lalu muncul genangan-genangan di lubang-lubang jalanan, yang bisa setiap saat disumpahi pengendara yang terjerembab. Atau, lebih parah lagi, meluapnya sungai yang segera membanjiri apapun di hadapannya. Mungkin mereka sejenis dengan perasaan putus asa yang memerangkap kita rapat-rapat. Berbalut kerinduan yang terus-menerus mengusik kenangan. Jangan lupakan fakta bahwa kita terlalu pandai berdusta, demi menyembunyikan harapan di balik topeng keegoisan. Satu sama lain.

Belum semuanya,  di tengah masih ada pancaroba yang serba tak menentu. Masa yang memaksa tubuh-tubuh untuk beradaptasi dengan perubahan cuaca, bersamaan dengan munculnya berbagai penyakit. Semacam kita yang tetap saja penuh tanya dan meragu, meski mencoba bertahan meyakinkan logika masing-masing. Sayangnya, ada kalanya keyakinan itu tak cukup tegar berdiri di atas kakinya sendiri.

Perlukah kuingatkan, bahwa ‘kita’ hanyalah sebuah kata kambuhan? Bagaikan alergi dingin berwujud bersin tanpa jeda yang kuderita setiap kali penghujan tiba, atau memerahnya kulitmu ketika terkena debu-debu kemarau. Tak pasti namun selalu berlangsung. Entah apa yang salah dengan aku. Kamu. Sampai kita menjelma siklus yang berulang dan membosankan. Terjebak, seolah tanpa jalan keluar.

Fajar ini, kedua kita saling menemukan diri di tengah-tengah jembatan kayu yang telah usang. Tidak kebahagiaan. Tidak jua kesedihan. Tidak pernah ada musim salju nan dingin kelabu yang akan segera berlalu, berganti mekarnya bunga dengan bahagia pada musim semi yang ditunggu-tunggu.

Tidak ada.


Dengan iringan Blue-BIGBANG.
Yogyakarta, 170813.

What A Quote!

"Kalau
nggak
cocok,
digantung
aja!"

(Yunita Sakinatur Rohmah, 2014).

Utopia Talks.

“Seandainya ada jin yang akan mengabulkan satu permintaan saja untuk mengubah apa yang ada pada dirimu sekarang, hal apa yang kamu minta?”

Aku ingin dia memutus satu aliran di otakku, entah bagian apa namanya, yang berhubungan dengan kedekatan fisik. Soalnya aku punya kebutuhan kedekatan fisik yang kelewat tinggi. Dan itu butuh, bukan sekadar ingin. Jangan tanya aku udah ngapain aja dan jangan hakimi aku karena itu.


“Apa utopiamu? Impian yang sebenarnya bisa kamu raih tetapi ada hal yang membuatmu tidak bisa meraihnya?”

Penari. Aku belajar menari sejak SD. Awalnya belajar tradisional, tapi lama-lama aku lebih nyaman melakukan modern dance karena aku sadar kurang bisa bergerak dengan halus dan pelan. Modern dance juga baru aku pelajari waktu SMA kelas dua, waktu aku masuk tim sekolah. Tim dance sekolahku per angkatan alirannya beda, pas aku karena potensinya di hip hop jadi diarahin sama pelatihnya ke situ. Aku senang bisa pecicilan dan menggunakan power-ku yang nggak bisa kupakai di tari tradisional. Pernah juga mencoba kontemporer, tapi ternyata nggak terlalu cocok. Tapi sebenarnya aku belajar gaya yang lain juga di modern dance, sexy misalnya.

Mengapa menjadi penari adalah impian yang nggak bisa kuraih, ada banyak alasan. Pertama, karena menjadi penari profesional itu sama sekali nggak mudah. Waktu latihannya nggak main-main, harus rutin tiap hari dan fokus gitu. Menari itu nggak sekadar menggerakkan badan, kamu juga harus belajar mengelola power, menghafal koreografi, teknik, ritme, ekspresi. Katakanlah untuk jadi penari latarnya penyanyi siapa gitu. Satu, kamu harus lebih menguasai gerakan daripada si penyanyinya, seberapapun jago si penyanyi itu. Kamu bekerja lebih keras walapun those spotlights are clearly not for you. Dua, kamu harus punya badan yang bagus dan muka yang fotogenik, supaya bisa dikasih kostum dan didandani seperti tuntutan konsep panggung yang dimaui. Dan seorang penari harus mau menjalankannya, itu salah satu bentuk profesionalisme. Tiga, ekspresi kamu harus keluar. Ketika kamu melakukan sexy dance ya pandangan mata kamu harus menggoda, ketika kamu melakukan krumping kamu harus menunjukkan kemarahan dan agresivitas. Percayalah, itu nggak gampang. Paling nggak kalau aku betul-betul niat kan aku kuliahnya nggak di psikologi lah pasti.

Kedua, banyak orang yang masih memandang sebelah mata, termasuk orangtuaku juga, yang bilang aku nggak akan bisa hidup dari menari. Bahkan salah seorang dosen pernah bertanya, “Coba, adakah di sini yang mau dilamar, katakanlah, seorang penari? Penari profesional atau koreografer begitu?” yang menunjukkan pikiran yang sama seperti orangtuaku. Dan ya terkadang image penari di masyarakat agak kurang bagus, contohnya, apa sih yang kamu pikir kalau dengar kata pole dancing? Pasti tarian seksi lah, porno lah. Padahal kalau kamu tahu belajar pole dancing itu sangat susah, dan kamu juga harus sangat kuat. Terus terang aku pengen banget belajar itu lho. Belajar yang lain juga, makanya aku sebenarnya pengen kuliah di Amerika Serikat, belajar nari hip hop, popping locking breaking and everything langsung dari roots-nya di sana.

Ketiga, aku sekarang pakai kerudung. Men, menurutmu apa kata orang kalau sekarang aku nari di depan umum, di panggung gitu? Ya, jujur dulu aku pakai kerudung karena ketidaksengajaan yang keterusan, aku nggak sempat mikir tentang dance-ku gimana nantinya, dan aku sedih banget gegara itu. Awal-awal di sini aku masih sering latihan di luar sama anak-anak, sembari nyari tempat kursus. Tapi sekarang yang bisa kulakukan cuma latihan setiap hari di kamar. Entah pagi entah malam, sesempatku kapan. Aku download banyak video koreo untik dipelajari, aku punya target dalam seminggu harus menguasai satu di antaranya. Apa ya, sepemikiranku sih, aku mungkin nggak akan bisa mencapai lebih dari apa yang sudah kudapat sekarang, tapi paling nggak aku nggak kehilangan apa yang sudah kukuasai sebelum ini.


“Deskripsikan suasana yang menggambarkan keadaan dan perasaan kamu saat ini.”

Aku berlari di dunia yang gelap tanpa ada cahaya sedikitpun. Aku nggak tahu apa yang membuatku berlari, apa yang membuatku begitu ketakutan, bahkan aku nggak berani menengok ke belakang untuk melihat apa yang mungkin mengejarku. Yang aku tahu aku hanya harus terus berlari. Ketika aku mulai kehabisan nafas, tiba-tiba muncul tangga spiral dari tanah, pelan-pelan menjulang ke langit. Tangga itu terbuat dari perak dan bercahaya. Aku menaikinya sambil terengah-engah. Semakin lama, semakin mendekati puncak tangga, semakin banyak bintang menghiasi langit yang tadinya sama sekali gelap. Dan akhirnya di puncak, ada sebuah pintu yang mengeluarkan cahaya putih sangat terang, entah menuju ke mana pintu itu.


“Bayangkan lagi, setelah situasi yang kamu alami tadi, datanglah seseorang yang sangat kamu inginkan, seseorang yang kamu rasa bisa menolongmu. Ia bertanya, ‘Apa yang kamu inginkan?’ lalu hal apa yang kamu minta?”

Peluk. Cukup itu saja.


“Nah, seandainya kamu menggambarkan dirimu dalam wujud hewan, apakah itu? Dan apa yang sedang kamu lakukan?”

Phoenix yang sedang bangkit dari abunya.



Zul membuat kami bertujuh membuka sisi gelap kami satu sama lain, menegaskan bahwa masing-masing kepribadian, prinsip, ketakutan, pandangan kami terlalu berbeda dan seluruhnya kuat dalam akarnya sendiri. Dan setelah mendengarkan semua cerita, aku menjadi sangat bersyukur bisa menjadi bagian dari tim tebing kali ini.


Building team sebelum tidur.
Songan, Kintamani, Bangli.
Bali, 310114.

Draft untuk mengingat apa saja yang aku katakan ditulis 010214, diselesaikan di Mantingan, 090214.

Saturday, February 8, 2014

Selalu Aku.

"Being
a
marginal
sidekick,
not
the
super
hero,
not
those
of
the
spotlight,
actually
doesn't
really
matter
to
me.
At
all."

Mantingan, 080214.

Friday, February 7, 2014

For The First Time and Forever.

“Ngerti gak, ana sing pernah ngimpi aku nikahan ning pantai lho.”
“Woh edan.”
“Karo sapa jal?”
“Karo sapa?”
“Kamu.”
“Waduh.”
“Haaaiki sing marai sedih.”
:(
“Hahaha santai wae aku wis cukup bahagia kok. Lagian sing tak rasakne emang beda, haha. Iso cedak wae wis bersyukur.”
“Beda pie? Aku ki sok bingung lho. Kadang aku ki pengen banget koe ki iso nyaman tapi yo aku sok ra tekan eh. Hehe. Labil banget yoh aku. Wkwk.”
“Aku nyaman kok mas. Wis cukup.”
“Nyaman po nyaman? Sorry yo.”
“Matur nuwun banget. Serius. Dadi masku wae.”
“Okelah. :)”


Percakapan dia atas merupakan perwujudan pertemuan kami via LINE beberapa hari yang lalu. Setelahnya, jujur, aku sempat meneteskan air mata haru. Betapa tidak, fakta bahwa selama ini kamu berusaha membuatku nyaman bukan sesuatu yang pernah aku bayangkan. Atau aku harapkan.

Aku ingat, kamu tidak bersikap berbeda usai aku membuka perasaanku padamu. Kamu tidak memberi jawaban karena aku hanya menyatakan, bukan menanyakan. Kamu tidak menolak, walaupun kamu jelas tidak merasakan hal yang sama denganku. Kamu tidak menjauh, tidak menghindar, tidak memberi harapan palsu. Alih-alih, kamu justru menjaga perasaanku, meluangkan waktu untuk sekadar bertemu atau mendengarkan ceritaku. Sungguh sikap seorang gentleman, seperti yang selalu kubanggakan tentangmu.

Aku sekarang paham bahwa kamu peduli, walaupun kelihatannya tidak. Aku kini juga mengerti, bahwa kamu menyayangiku dengan caramu sendiri.

Entahlah.

Mungkin, kamu akan menjadi seseorang yang kusayangi dalam rentang waktu terlama. Mungkin, kamu akan lebih baik menjadi kakak untukku, meskipun kamu tahu pasti status itu hanya pelarian. Mungkin, kamu adalah satu-satunya orang yang sangat kusayangi tetapi tidak pernah bisa kupeluk. Mungkin, aku bahkan tidak bisa memiliki potret berdua saja denganmu. Mungkin, lelaki sebaik kamu akan pantas untuk bersanding dengan wanita yang jauh, jauh lebih baik daripadaku. Mungkin, semua ini hanya akan diakhiri oleh pernikahan kelak, entah kamu atau aku yang lebih dulu.

Kamu, satu-satunya orang yang bisa kusayangi tanpa letupan perasaan yang menggebu. Kamu, satu-satunya orang yang membuatku tidak perlu menampilkan rindu. Kamu, satu-satunya orang yang bisa menjaga emosiku. Kamu, satu-satunya yang bisa memprediksi ketika aku akhirnya merasakan cemburu.  Kamu, satu-satunya yang ‘memaksa’-ku terus mendongak dengan rasa kagum dan hormat, selalu.

Andai kamu tahu, kamu masih seseorang yang paling mendekati nilai sempurna di hatiku. Andai kamu tahu, aku masih memiliki keyakinan terhadapmu. Andai kamu tahu, aku masih selalu berdoa untukmu.

You are my F. The one and only F. Always. For the first time and forever.


Mantingan, 070213.

Monday, February 3, 2014

Kemelut.

Logika semu.
Beradu batu.
Kemelut baru.
Tersaji seru.

Stasiun Banyuwangi Baru.

Banyuwangi, 030214.

Sunday, February 2, 2014

Set Me Free!


Gambar diambil di rumah basecamper. Lihat ekspresi adiknya.

Songan, Kintamani, Bangli.
Bali, 020214.