Saturday, February 28, 2015

What happened?/ You got the game/ End/ What was over is over/ I tried not to cry/ I tried to numb the pain/ But, hey didn't that matter to you?



Pahit laksana racun yang tertelan mati, 
sakit serasa tato yang digores pasti.

*

Dihamparkan debur ombak dan biru langit, terpaan angin, sulit bagiku untuk tidak merasa hilang. Lepas. Kosong. Tanpa bisa mengendalikan diri, kujatuhkan diri. Aku benci pasir, namun kali ini kubenamkan diriku dalam butir-butir kecilnya. Berharap riak-riak air itu mencapaiku, melengkapi air mataku.

Senja itu tidak jingga. Ia dipenuhi semburat nelangsa.

*

Kakiku tersaruk paksa menuju rumah terdekat. Kuketuk pintu sambil berpikir, "Alangkah nyamannya bisa memiliki rumah tepi pantai." Penghuninya, seorang ibu berwajah ramah, mempersilakanku masuk setelah mendengarkan ceritaku. Barangkali ia iba melihatku seberantakan ini. Selagi beliau menawarkan diri membuatkan minuman hangat, kupandangi banyak foto yang terpajang di salah satu dinding.

Sadar aku mengamati saksama sosok-sosok yang terbingkai dalam pigura berbeda, sang ibu dengan bangga berkata bahwa itu adalah anak laki-lakinya.

Aku tahu itu. Hal yang tidak diketahui si ibu adalah luka yang ditinggalkan lelaki itu padaku.

*

Jalanan-jalanan tepi/
Langkah-langkah tanpa bunyi/
Bersembunyi/
Dari mereka yang mengingkari sepi/

*

"Namun di sana, bergerak senyum bahagiamu seperti kayuhan yang meroda. Kamu tidak sadar, ada tubuh terbaring segelap jalan raya yang kau lindas setiap malam, sengaja atau tidak sengaja."

*

Sayap-sayap ini siap terbang, tapi kau patahkan berulang-ulang.

*

Layarku berpendar selagi kalimat "I hope you're H-A-P-P-Y!" berteriak.

*

F1/
F2/
F3/
K... alian memenangkan permainan ini.


Yogyakarta, 280215.


Friday, February 6, 2015

Pembeda.

Malam ini bertudung gelap. 
Angin berhembus pelan, melengkapi diamnya batu pipih lebar tempatku berbaring. 
Berkhayal.

Aku melewatkannya dengan bayangmu di mataku yang terpejam.

Aku berharap bahwa raga kita adalah satu-satunya pembeda: 
bukan lautan setengah dunia, 
bukan cara kita menyembah Dia, 
bukan seseorang yang kini ada di antara, 
bukan jarak yang membentang atas kasta, 
bukan jurang pemisah tanah dan angkasa, 
bukan keasingan di sela nama, 
bukan dosa menikmati dunia...

Suatu hari nanti kita akan menyeberanginya, 
selangkah demi selangkah, 
separuh untuk masing-masing cinta. 
Bersama-sama menyingkirkan kerikil dan batu dan karang pembeda.

Sementara itu, suaramu selalu berhasil mengoyak jiwa...


“Loving him is like driving a new Maserati down a dead-end street.”

Mantingan, 05-060215.