Kota Pendosa merupakan suatu teritori khusus dunia bawah, semacam cabang dari Neraka. Isinya? Tentu saja para Pendosa serta perbuatan-perbuatan maksiat yang mereka lakukan. Di sana, konon katanya, sangat wajar apabila kita menemukan tindakan-tindakan kriminal maupun amoral dalam kehidupan sehari-hari. Setiap detik, bahkan. Tidak ada hukum, tidak ada ganjaran. Semuanya legal dan normal.
Kota Pendosa tidak membuka pintu gerbangnya untuk manusia-manusia biasa yang tidak berniat untuk menjadi Pendosa Abadi, sebutan bagi menjadi penghuni kota itu. Ada sebuah sensor yang dapat mendeteksi niatan dosa dari seseorang. Bila tidak cukup tinggi, maka ia akan terpental, kembali ke dunia atas. Tak ada secuilpun kesempatan untuk mengetahui apa yang terjadi di dalam kota itu selama bertahun-tahun.
Kecuali hari ini. Sekali dalam seratus tahun, Dewan Kota menawarkan satu hari penuh perjalanan wisata ke Kota Pendosa. Dari jutaan manusia di dunia, hanya akan ada satu orang yang terpilih. Dan kali ini, kesempatan langka itu jatuh pada manusia paling tak terduga: aku.
Tiba-tiba saja aku sudah berada di gerbang Kota Pendosa, diiringi dua pengawal. Aku mengenakan pakaian khusus yang menandakan bahwa aku adalah tamu istimewa dari dunia atas, sehingga gerbang kota tetap akan mengizinkanku masuk. Perlahan, gerbang kota terbuka. Tak seperti bayanganku sebelumnya, ternyata Kota Pendosa sangat... gemerlap. Segala rumah dosa ada di sini, tempat judi, rumah prostitusi... apapun. Di jalanan, di setiap sudut, terdapat manusia-manusia yang melakukan maksiat. Para Pendosa Abadi. Pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan, perzinaan, seluruhnya bisa disaksikan tepat di depan mata.
Aku jadi bertanya-tanya, apakah mereka tidak takut akan akibat perbuatan mereka? Dosa yang dilakukan terus-menerus, tanpa sedikitpun penyesalan. Lalu, bukankah malaikat selalu mencatat setiap dosa yang kita lakukan? Tak terbayang betapa penuhnya catatan mereka nantinya.
Akan tetapi, ada satu hal yang khas yang dilakukan setiap Pendosa Abadi selesai melakukan perbuatan dosanya. Mereka akan menggoyang-goyangkan bahu kiri mereka. Aneh. Ketika hal ini kutanyakan pada salah satu pengawalku, ia menjawab sambil tertawa terbahak-bahak.
"Logika sederhana, Nak. Kau tahu, bahu kiri adalah singgasana Malaikat Pencatat Dosa. Jika kami menggoyang-goyangkannya, tentu ia akan jatuh, bukan? Atau, paling tidak, tulisannya akan awut-awutan sehingga tak terbaca Tuhan. Oleh karena itu kami Pendosa Abadi tetap mendosa sepanjang masa dengan tenang."
Ditulis asal di dalam kotak kecil berjudul Sekretariat PALAPSI.
Yogyakarta, 280313.