Thursday, May 23, 2013

Tawa Bahagia Seseorang Bisa Jadi Membuat Seseorang yang Lain Terluka.

Terbangun mengitari asap hari tanpa spasi.
Basah berbalut amarah, cemburu menikam hening.
Merekah, tapi kesedihan sesungguhnya tersaji.
Mengungkung jiwa beku yang dilanjutkan lain hari.

Belajar Psikosos.

Yogyakarta, 230513.

Thursday, May 16, 2013

Tidak Bisa Tidak Jatuh Cinta pada Seorang Penari.

Karena kau bisa menjadi seseorang yang lain, seseorang yang berbeda, seseorang yang berkebalikan, seseorang yang tak disangka-sangka.

Ketika imajinasi liarmu memenuhi lantai dansa lalu peluh, menciprat kuat-kuat menitiki arah-arah meluas, meluapkan jagat rahasia serta setangkup rasa yang ingin kau buang merdeka.

Keluarlah sorot menggoda dari sepasang matamu, mengabaikan kotak kosong berhias selapis pantulan atau jalanan atau tatapan pemirsa, gemulai raga itu, menikmati segalanya.

Kau yang membuatku terkesiap dan memaksa inderaku berteriak dalam pikiran-pikiran berdua, mendekat, saling bertaut, menari bersama.


A wild rose on the dancefloor. Dance with me?
Yogyakarta, 160513.

Manis!


Kamu mengajakku ke batas kota, di mana tepian nafsu bersinggungan.
Hanya segaris tipis dan rapuh.
Dinding yang terlalu mudah diruntuhkan.
Melalui dua pasang mata itu, ya, tak perlu bisikan kata.
Jadi kutanggalkan topeng dan kusambut kamu tanpa pura-pura.
Lampiaskan saja apa yang tak sanggup kita tahan.
Alirkan rahasia luka selagi rasa bisa dicecap.
Hapus pikiran-pikiran kotor yang mengganggu.
Ini urusan jiwa, bukan raga.


Terinspirasi keambiguan kalimat seorang teman: “Sejak kamu sadar kalau dibuka lebih enak,” saat aku  mempertanyakan sejak kapan aku makan Sego nJamur dengan bungkus yang dibuka terlebih dahulu.
Yogyakarta, 160513.

Wednesday, May 15, 2013

First One to Ask.

"Koe wis nge-lead durung La?"
...
"Oh, tak kira melu nJansu."
...
"Yo lanang karo wedok kan bedo."
...
-Fasluki Taftozani, 2013.


Sepulang Samigaluh.
Yogyakarta, 280413.

Monday, May 13, 2013

Hug Sick.

Ya, aku ingat betul ketika tiba-tiba muncul perasaan seperti home sick yang melanda pikiranku sewaktu melakukan pemanjatan di Bedoyo. Sesuatu yang ganjil, karena aku hampir-hampir tak pernah merindukan rumah. Terlebih lagi, perasaan aneh itu terus mengusik, tak peduli saat itu aku sedang kesal, mual, setengah marah. Jadi, daripada aku melampiaskan ketidakjelasan keadaan dengan tanpa sengaja ‘menyembur’ orang lain yang tak bersalah, aku memutuskan untuk memikirkan apa persisnya ini.
Setelah bergulat dengan pikiran-pikiranku yang tak karuan, ternyata yang aku rasakan itu... hug sick. Yah, aku merindukan saat-saat ketika aku bisa melarikan diri ke pelukan seseorang dan meluapkan seluruh perasaanku tanpa kata. Asal nyusruk, lalu kehangatan menjalari seluruh tubuh. Dan ia tak akan perlu menyampaikan apapun, karena sebuah pelukan sudah cukup untuk membuatku merasa lebih baik.
Sayangnya, itu hal yang mustahil kudapatkan, paling tidak untuk saat ini.

Bergabung bersama Yunita Chung dalam sebuah meja diskusi di suatu rumah makan dan berbagi kerinduan yang besar terhadap hal yang sama: pelukan!
Yogyakarta, 130513.

Kecuali Kamu (Padahal Bagimu, Aku adalah Pengecualian).

Aku sudah melupakan perasaan apa yang pertama kali mengudara di hari pertama pertemuanku bersamamu, tujuh bulan lalu. Hari demi hari, kamu berhasil menaklukkanku ego, raga, dan cintaku. Cinta? Atau kagum? Aneh. Bukan seperti cinta. Bukan seperti obsesi. Semacam perasaan kabur yang tertutupi berbagai alasan dan penyangkalan. Dan mengakuinya, bukan hal yang mudah.
Kemarin dan hari ini, dua kali aku terjebak kembali  di hadapanmu. Aku selalu mengingatkan diriku sendiri, masih lama waktu yang mau tak mau harus kuhabiskan denganmu. Suka atau tidak. Hanya saja, kali ini, ada rasa mual yang mendera luar biasa, membuatku tak bisa seratus persen fokus menghadapi apa yang selayaknya kuhadapi: kamu. Siapa lagi?
Dilema. Sejujurnya, sudah tak terhitung berapa kali usahaku melarikan diri dari sosokmu. Aku pikir, semakin jarang kita bertemu, apa yang aku rasakan nantinya akan menjadi berbeda. Siapa tahu, aku dapat melupakanmu perlahan-lahan. Namun yang terjadi adalah... aku tak sanggup menahan diriku untuk tidak melihatmu. Menatapmu dengan pandangan menerawang yang biasa. Sesekali menyapamu, peduli amat kamu membalasnya atau tidak. Aku...  rindu. Maka dari itu, aku memutuskan, mencoba melupakanmu adalah sebuah kekonyolan. Aku tetap berusaha bersikap biasa, menikmati pemandangan indahku seperti adanya.
Sayangnya, mempertahankan kontak denganmu pun bukan hal yang tepat. Semakin aku melihatmu, semakin aku mengenalmu, semakin banyak rahasia yang terungkap. Semakin banyak cerita yang sulit kucerna. Semakin berat rasanya, untuk menggapaimu. Belum lagi ditambah omongan orang-orang sekitar yang terasa memojokkanku. Meragukanku. Membuatku merasa tak mampu. Atau mungkin memang aku sebegitunya tak mampu, senyumku getir.
Apalagi... memelukmu. Kamu, yang terlalu tinggi. Kamu, yang terlalu luas. Kamu, yang terlalu kuat. Kamu, yang terlalu kaku. Kamu, yang terlalu kokoh. Kamu, yang terlalu diam. Kamu, yang terlalu sempurna. Yang bisa aku lakukan hanya menyentuhmu dari permukaan. Dengan ragu-ragu dan kegamangan yang sangat, tentunya. Sambil meraba-raba sekenanya, siapa tahu ada pegangan-pegangan yang tepat supaya kalaupun nanti aku jatuh, rasanya tak sakit terlalu jauh.
Tahu tidak, terkadang aku berpikir, kamu... pemberi harapan palsu. Kelas hiu paus, bukan sekadar kakap atau arwana. Sering sekali aku menemukan lubang yang sekiranya cocok. Ternyata, pegangan itu tak bisa membuatku menggengam erat, lalu meneruskan perjalananku ke puncakmu. Lain waktu, ketika aku berusaha memasang pengaman, ukurannya selalu tidak tepat. Kalaupun tepat, aku tak bisa membuatnya bertahan cukup kuat. Sekilas sentak saja, jebol seketika. Sial. Ya, dalam hati, aku gagal menahan diri untuk tidak merutuk, mengumpat atau menyumpahimu. Walaupun di luar aku terlihat diam, karena aku takut sekalinya mencoba mengeluarkan sepatah kata, yang ada justru aku menangis kesal. Namun, kemudian logikaku kembali bergabung dalam meja diskusi. Bukan maksudmu untuk memberikan harapan. Sama sekali bukan. Mungkin kamu memang tidak mengerti. Atau, kamu mengerti tapi tidak peduli. Atau, aku saja yang selama ini terlalu berharap.
Kadang-kadang terlintas pula dalam pikiranku kalau perlakuanmu padaku... tak cukup adil. Entahlah. Secara kasat mata memang demikian adanya. Aku hanya sanggup terpaku ketika aku tak bisa menembus pertahananmu yang sedemikian rapat itu. Tertolak mentah-mentah. Sementara orang lain kamu izinkan memasuki, bahkan mengobrak-abrik sisi lain hatimu. Mereka bisa memasang berapapun pengaman dengan mudah dan cepat, memenuhi keinginanmu. Kamu bisa berkata aku terlalu bodoh, aku saja yang tak pernah bisa memasang pengaman dengan benar. Namun, setidaknya, sudikah kamu melihat usahaku sebelum menilai?


Sekali, dalam tiga bulan yang terasa selamanya ini. Yang menguras tenaga, pikiran, perasaan, dan iman. Sulit. Dan ternyata aku bersikukuh untuk menulisnya. Semacam seni memaksakan diri, yang makin lama makin kukuasai dengan baik.
Pikiran-pikiran acak yang muncul di tebing. Saking acaknya, setelah ditulis dan dibaca ulang, memang terasa sangat acak.
Dipikirkan sewaktu memanjat di Bedoyo, 04-050513.
Yogyakarta, 080513.

Tuesday, May 7, 2013

Vermiculus. Luxuria.


Kalau mau jujur, 
dari ketujuh dosa mematikan, 
yang kecenderungannya paling paling paling besar untuk kulakukan,
adalah nafsu.
 Semerah diriku.

Thursday, May 2, 2013

Kadar yang Sama.

Lelaki penyendiri itu kali ini menyendiri lagi. Dalam sebuah ruangan remang-remang tempat ia menyimpan semua rahasianya, di salah satu sudut tersembunyi. Setelah membuka kunci pintu, ia memandang sekeliling. Bergerak menghampiri sepasang bangku dan meja di tengah-tengah.

Lelaki penyendiri itu menduduki bangku di balik meja. Ia merogoh saku jaketnya, kemudian mengeluarkan satu per satu barang: di hadapannya kini terhampar jarum beserta suntik dan sebuah botol kaca kecil kosong berwarna biru, beserta tutupnya.

“Sudah waktunya,” gumamnya tak jelas, nyaris tanpa suara.

Lelaki penyendiri itu mengambil jarum dan suntik. Ditusukannya perlahan benda itu menembus kulit perut bagian kanan bawah. Ketika ia menarik keluar, tersedotlah darah beserta perasaan-perasaan yang selama ini ia pendam. Detik berikut, ia sudah mengisikan cairan merah kental ke dalam botol kaca kecil berwarna biru tadi, lalu menutupnya rapat-rapat.

Lelaki penyendiri itu kemudian melangkahkan kaki menuju salah satu lemari di satu dinding. Dibukalah pintu kaca yang mulai berdebu, ia sendiri lupa kapan terakhir kali menyentuhnya. Dari sana, ia mengeluarkan sebentuk kotak kayu berwarna hitam. Di dalam kotak, terdapat sebuah benda lagi. Sang lelaki meletakkan botol kaca biru kecil di sebelah botol kaca kecil berwarna hijau yang sudah setahun lebih ada di situ.

Lelaki penyendiri itu sekarang terpaku memandangi kedua botol kaca kecil berisi darah beserta perasaan-perasaan yang selama ini ia pendam. Dengan kadar yang sama.


Ditulis di depan sekret dengan iringan gitar Kadiv Air selagi menunggu Dora membuat skenario pendakian massal.
Yogyakarta, 020513.

Cerita yang Menggumpal di Sebuah Pertunjukan.


Sang Pengagum.

“Masuk!”

Kulemparkan kartu terakhir di tangan ke tengah meja. Terdengar sorak sorai lain memenuhi senja. “Main lagi?” tanya seseorang yang duduk tepat di seberang. Aku menggeleng pelan sambil berdiri, lalu melangkahkan kaki meninggalkan kerumunan yang tak akan berkurang ramainya itu. Saat ini, aku ingin berada di tempat lain.

Pertunjukan itu. Pertunjukan yang telah lama kutunggu.

Panggung sudah ditata lengkap dengan alat-alat musik, pengeras suara, serta pencahayaan yang mendukung. Dan ya, kamu ada di sana, berdiri anggun mengecek alat musik yang nantinya kamu mainkan. Untuk pertama kalinya, aku akan bisa melihat tarian jemarimu mengalunkan nada.

Aku menempatkan posisi di balik pohon, tempat yang sekiranya tak terlalu terlihat orang lain, namun pasti mendapatkan pandangan yang sempurna. Perlahan musik mulai mengalun dari sumber suara. Kamu terlihat cukup gugup sampai –sampai wajahmu sangat serius, seperti lupa tersenyum. Santai saja, doaku untukmu, ucapku dalam hati. Lama-kelamaan, kamu bisa mengatasi kegugupan itu dan mulai menikmati permainan musikmu sendiri.

Aku hanyut. Bukan hanya karena merdumu. Kamu juga melambaikan tangan dan mengembangkan senyum termanis yang pernah kurasakan. Sampai aku menyadari, sepertinya ada seseorang lain yang memperhatikanku di tengah kerumunan ini. Aku melirik sekejap. Ah, kau. Kau dengan kameramu yang sedang mebidik arahku. Apa aku harus peduli? Kau yang bukan siapapun.


Sang Pengamat.

Lima belas menit perlahan berlalu dari waktu yang kujanjikan. “Sial,” rutukku dalam diam. Perasaan aku sudah berusaha menyelesaikan urusan ini secepat mungkin. Tapi yah, lima jam perdebatan tanpa ujung itu menyebalkan. Berurusan dengan orang lain memang selalu merepotkan. Sudahlah, yang penting sekarang aku benar-benar bisa keluar dari ruangan pengap itu.

Kupacu motorku dengan kecepatan maksimum yang pernah kucoba. Ah, bagaimana kalau aku terlambat? Bagaimana kalau pertunjukannya sudah selesai? Aku akan mengecewakanmu, sahabatku. Padahal kau ingin mempersembahkan penampilan perdanamu di panggung itu khusus untukku. Kado ulang tahunku yang jatuh tepat sejam yang lalu.

Sesampainya di lokasi, kuparkir motor sekenanya. Setengah berlari mencari sosokmu. Suaramu yang membahana di mana-mana membantuku: panggung. Mata kita bertemu. Kau melambaikan tangan ke arahku, tersenyum lebar. Aku tertawa, mengacungkan kedua jempol tangan. Dan kau, semakin semangat bernyanyi sambil memainkan keyboard. Kurogoh kamera di saku dan kuabadikan penampilanmu yang apik tersebut.

Tanpa sengaja, sekilas aku melihat ke arah lain. Di sudut itu, tak salah lagi. Kamu. Terpana memandang panggung seolah terkena mantra ikat tubuh sempurna. Tentu saja, aku tahu persis karena siapa. Tapi aku tak kuasa menahan tanganku untuk menekan tombol klik. Ya, kamu. Akhirnya. Tertangkap kamera.


Sang Pemusik.

Kalau kalian mau tahu, sekarang aku gemetar dari ujung rambut ke ujung kaki. Entah apakah pertunjukan nanti akan berjalan lancar atau tidak. Memikirkannya saja sudah membuatku panik dan mual. Latihanku cukup sih, tapi yang namanya penampilan perdana, pastilah rasanya berbeda. Apalagi ini untuk sahabatku. Untuk hari jadinya yang baru saja sejam berlalu.

Where are you?” gumamku tak putus-putus.

Sedari tadi aku belum mendapati wajahmu di antara kerumunan penonton. Kamu sudah bilang akan datang terlambat, tapi... ya semoga saja kamu masih sempat menyaksikan penampilanku lah. Aku tak mau hadiahku hanya dinikmati orang lain, sementara kamu, tujuan sebenarnya dari usahaku menghilangkan segenap demam panggung ini, justru tak mendapatkan apapun.

Sampai aku mulai memencet keyboard dan bernyanyi, mataku masih jelalatan mencari-cari kamu. Nah! Kamu datang juga! Walaupun sedikit ngos-ngosan dan berantakan, tak apa. Kulambaikan tangan dan tersenyum. Rasanya seperti ada energi baru menjalar dalam tubuhku. Mungkin kalian yang mendengarkan musikku akan merasakannya juga.

Aku bahagia. Hei, sahabatku, aku hanya butuh kamu dan keberadaanmu. Tunggu sebentar, rasanya ada suatu hal yang janggal. Kulihat kamu tiba-tiba terdiam, memakukan pandangan lurus-lurus ke satu arah dan mengangkat kameramu. Kuikuti pandangan itu. Astaga, ada kau. Bersembunyi di balik pohon. Menatap panggung lekat. Menatapku. Seketika perasaan tak enak menjalari nadiku.

Aku tahu yang kamu rasakan. “Maaf...”


Yogyakarta, 3001413.

Wednesday, May 1, 2013

A Good Victim.


Selama ini aku berpikir kalau orang yang bisa menahan diri adalah orang-orang hebat. Ketika bahagia, mereka bisa menampilkan ekspresi yang tidak meluap-luap. Hanya tersenyum manis. Ketika mereka sedih, mereka bisa tidak mengeluarkan air mata. Hanya menyendiri. Ketika mereka marah, mereka bisa menekannya ke dalam. Hanya diam.

Jadi aku berusaha membunuh setiap perasaan itu. Menganggap semuanya hal yang biasa-biasa saja. Aku bisa saja tersenyum tipis, walaupun sebenarnya dalam hati aku senang bukan kepalang karena sesuatu. Seseorang. Aku bisa saja menekuk wajah dan berkata tidak ada apa-apa, meskipun dalam hati kesedihan itu berontak karena tak dapat bermuara karena sesuatu. Seseorang. Aku bisa saja mengerutkan kening dan mengangkat bahu seolah tak peduli, padahal di dalam hati ada yang berteriak merusak karena sesuatu. Seseorang.

Tapi yang terjadi malah sebuah... kebohongan. Palsu.

Dan kalau boleh jujur, aku muak. Bukan karena ingin menyalahkan sesuatu. Seseorang. Apa ya, lebih karena menyadari selama ini yang salah adalah anggapanku.

Jadi, kuputuskan untuk tidak lagi menahan-nahan apapun yang aku rasakan. Entah itu positif atau negatif. Entah itu manis atau pahit. Lebih baik aku melampiaskannya dengan caraku, daripada nantinya aku merusak diriku sendiri. Pelampiasan buatku bukan melulu suatu hal yang buruk. Asal bisa mengendalikan diri, mengapa tidak? Mengendalikan diri jauh lebih baik daripada menahan diri, bukankah begitu?

Aku bukan korban sesuatu. Seseorang. Aku adalah korban pemikiranku sendiri. Dan, aku adalah korban yang baik.


Ditulis dengan keadaan berantakan karena sedih (akhirnya, mengaku juga), sakit, kelelahan, tugas, serta sebuah cerita yang mengandung frasa ‘sejak pertama’, ‘cokelat’,  dan ‘kadar yang sama’. Diiringi Worry About You-2AM Club. Di kamar yang sudah empat hari ini ketambahan penghuni. Si penghuni tambahan sendiri sedang tertidur pulas gegara pening dan demam melanda.

Yogyakarta, 010513.

Worry About You - 2AM Club.

For as long long as I can remember
It's been December
No sun no summertime to treasure
We weren't grown
And every time that they told us surrender
"It will be better"
We'd just go holding on till forever
To what we know

Broken lover yes I made you
Believe that I would be the one to heal you
And if you go now
Out that doorway
I won't say you're wrong
But you know that I'll worry about you

For as long
Long as she can remember
She wanted better
No home no one there to protect her
All alone
And so she told me, I was her center
Nothing could tempt her
I still roamed
Just like her father left her
Oohh he left her

Broken lover yes I made you
Believe that I would be the one to heal you
And if you go now
Out that doorway
I won't say you're wrong
But you know that I'll worry about you

Isn't it bad you've been a good victim
You thought I was worth it you act like I would listen
And maybe you were right at one point someday
I used to watch you treat the streets like a runway
I used to write with tears on your pretty painted face
Sign language on your back from the first taste
So when he whispers in your ear and you think of me
You wish I would've treated you like you treated me
When you wake up from your dreams to the hallway
Sleepwalking through the streets dressed in all gray
Blinking streetlamps in the window pane
I worried from the second that I learned your name

Everything in love is light
But where was I last night
And why don't you feel right



...bitter.
Terima kasih untuk Theodora Frisca yang memperkenalkan lagu ini.