Sang Pengagum.
“Masuk!”
Kulemparkan kartu
terakhir di tangan ke tengah meja. Terdengar sorak sorai lain memenuhi senja. “Main
lagi?” tanya seseorang yang duduk tepat di seberang. Aku menggeleng pelan
sambil berdiri, lalu melangkahkan kaki meninggalkan kerumunan yang tak akan berkurang
ramainya itu. Saat ini, aku ingin berada di tempat lain.
Pertunjukan itu.
Pertunjukan yang telah lama kutunggu.
Panggung sudah
ditata lengkap dengan alat-alat musik, pengeras suara, serta pencahayaan yang
mendukung. Dan ya, kamu ada di sana, berdiri anggun mengecek alat musik yang
nantinya kamu mainkan. Untuk pertama kalinya, aku akan bisa melihat tarian
jemarimu mengalunkan nada.
Aku menempatkan
posisi di balik pohon, tempat yang sekiranya tak terlalu terlihat orang lain,
namun pasti mendapatkan pandangan yang sempurna. Perlahan musik mulai mengalun
dari sumber suara. Kamu terlihat cukup gugup sampai –sampai wajahmu sangat
serius, seperti lupa tersenyum. Santai saja, doaku untukmu, ucapku dalam hati.
Lama-kelamaan, kamu bisa mengatasi kegugupan itu dan mulai menikmati permainan
musikmu sendiri.
Aku hanyut. Bukan
hanya karena merdumu. Kamu juga melambaikan tangan dan mengembangkan senyum
termanis yang pernah kurasakan. Sampai aku menyadari, sepertinya ada seseorang
lain yang memperhatikanku di tengah kerumunan ini. Aku melirik sekejap. Ah,
kau. Kau dengan kameramu yang sedang mebidik arahku. Apa aku harus peduli? Kau
yang bukan siapapun.
Sang Pengamat.
Lima belas menit perlahan
berlalu dari waktu yang kujanjikan. “Sial,” rutukku dalam diam. Perasaan aku
sudah berusaha menyelesaikan urusan ini secepat mungkin. Tapi yah, lima jam
perdebatan tanpa ujung itu menyebalkan. Berurusan dengan orang lain memang
selalu merepotkan. Sudahlah, yang penting sekarang aku benar-benar bisa keluar
dari ruangan pengap itu.
Kupacu motorku
dengan kecepatan maksimum yang pernah kucoba. Ah, bagaimana kalau aku
terlambat? Bagaimana kalau pertunjukannya sudah selesai? Aku akan
mengecewakanmu, sahabatku. Padahal kau ingin mempersembahkan penampilan
perdanamu di panggung itu khusus untukku. Kado ulang tahunku yang jatuh tepat
sejam yang lalu.
Sesampainya di lokasi,
kuparkir motor sekenanya. Setengah berlari mencari sosokmu. Suaramu yang
membahana di mana-mana membantuku: panggung. Mata kita bertemu. Kau melambaikan
tangan ke arahku, tersenyum lebar. Aku tertawa, mengacungkan kedua jempol
tangan. Dan kau, semakin semangat bernyanyi sambil memainkan keyboard. Kurogoh kamera di saku dan
kuabadikan penampilanmu yang apik tersebut.
Tanpa sengaja,
sekilas aku melihat ke arah lain. Di sudut itu, tak salah lagi. Kamu. Terpana
memandang panggung seolah terkena mantra ikat tubuh sempurna. Tentu saja, aku
tahu persis karena siapa. Tapi aku tak kuasa menahan tanganku untuk menekan
tombol klik. Ya, kamu. Akhirnya. Tertangkap kamera.
Sang Pemusik.
Kalau kalian mau
tahu, sekarang aku gemetar dari ujung rambut ke ujung kaki. Entah apakah
pertunjukan nanti akan berjalan lancar atau tidak. Memikirkannya saja sudah
membuatku panik dan mual. Latihanku cukup sih, tapi yang namanya penampilan
perdana, pastilah rasanya berbeda. Apalagi ini untuk sahabatku. Untuk hari
jadinya yang baru saja sejam berlalu.
“Where
are you?” gumamku tak putus-putus.
Sedari tadi aku
belum mendapati wajahmu di antara kerumunan penonton. Kamu sudah bilang akan
datang terlambat, tapi... ya semoga saja kamu masih sempat menyaksikan
penampilanku lah. Aku tak mau hadiahku hanya dinikmati orang lain, sementara
kamu, tujuan sebenarnya dari usahaku menghilangkan segenap demam panggung ini,
justru tak mendapatkan apapun.
Sampai aku mulai
memencet keyboard dan bernyanyi,
mataku masih jelalatan mencari-cari kamu. Nah! Kamu datang juga! Walaupun
sedikit ngos-ngosan dan berantakan, tak apa. Kulambaikan tangan dan tersenyum.
Rasanya seperti ada energi baru menjalar dalam tubuhku. Mungkin kalian yang
mendengarkan musikku akan merasakannya juga.
Aku bahagia. Hei,
sahabatku, aku hanya butuh kamu dan keberadaanmu. Tunggu sebentar, rasanya ada
suatu hal yang janggal. Kulihat kamu tiba-tiba terdiam, memakukan pandangan
lurus-lurus ke satu arah dan mengangkat kameramu. Kuikuti pandangan itu. Astaga,
ada kau. Bersembunyi di balik pohon. Menatap panggung lekat. Menatapku. Seketika perasaan tak enak
menjalari nadiku.
Aku tahu yang kamu
rasakan. “Maaf...”
Yogyakarta, 3001413.