Wednesday, April 23, 2014

Wednesday, April 16, 2014

REMEMBER THIS.

“A man 
with no 
enemies
is a man 
with 
no character.”

(Paul Newman).

Like old dirt on your skin stained with stress.

Menemukan diriku sendiri meludahkan kata-kata yang selalu kutahan.

Aku ingat, malam itu aku ada di sudut. Di tengah ruangan, berkumpul beberapa manusia terpilih. Benar atau tidaknya, atau sekadar sebutan saja, entahlah.

Aku diam. Mengamati. Ya mereka semua jelas merupakan orang-orang menyenangkan dan mudah disukai orang lain. Pandai membawa diri. Bisa menampakkan ekspresi dan sikap yang semestinya, yang akan diterima orang lain dengan senang hati pula.

Aku tertawa dalam hati. Bukan jenis tertawa sinis, bukan tertawa mencibir. Aku menertawakan kegagalan diriku sendiri karena telah mencoba menjadi seperti mereka.

Aku sadar kok aku bukan orang yang menyenangkan. Aku kaku. Aku egois. Cara pikir dan sudut pandangku tidak mengikuti arus. Prinsipku bertentangan dengan banyak orang. Aku tidak bisa menyembunyikan suasana hati yang jelas tergambar melalui ekspresi. Aku tidak pandai mengambil hati. Aku tidak paham cara mengungkapkan gagasan tanpa menimbulkan salah paham. Aku tidak mampu menampilkan emosi yang sesuai dengan keadaan.

Perlakukan terus saja aku seperti itu.

Aku tidak peduli. Aku tidak minta dimengerti. Aku menikmati menjadi diriku sendiri biarpun konsekuensinya adalah menjadi seseorang yang kau benci.


Ditulis tanpa proses edit.
Kandang Kuda, di sela cela seorang 'teman'.
Yogyakarta, 160414.

Wednesday, April 9, 2014

Tamat.

Tiga menyusut menjadi satu saja.
Angka satu itu terus saja muncul dalam benakku, seolah menertawakan kegagalanku karena dari lima kemungkinan yang ada saat itu, hanya satu yang berhasil kuamankan.
Hanya satu.
*

Kau pasti pernah mengalalmi situasi yang sama sepertiku, juga merasakan apa yang tertangkup di dalamnya.
Ketika lebih dari satu warsa berlalu dan hatimu masih juga terpaku lewat palu yang sama; menghunjam batas demi batas dan merobek benteng terakhirmu.
Lalu kau jadi lubang justru karena kau bertahan.

*
Sepi.
Betapa perbedaan seringkali lebih memisahkan dibandingkan jarak.
*

Namun sosok itu selalu bertubi merampok sudut pandangmu yang naif dan kelewat terbuka. Ia tak peduli karena ia tak ingin tersangkut rasa, jatuh ke dalam jiwa. Tak sengaja justru ia menabur luka, memutus asa. Masalahnya ia terlampau sempurna untuk kau lontarkan cela.
Alih-alih pasrah, kau mulai meracuni ragu, menariknya hingga serpih. Tinggal perih.
Kau hancurkan apa yang telah susah payah kau bangun dengan upaya, kau hidupkan dengan doa, kau perkuat dengan... segalanya.
*

Kamu berpadu waktu, berpusar semakin kencang dalam ingatan.
Seketika jurang.
Kuinjakkan satu kaki yang pasti tenggelam.
Dan perlahan, kuali pun mendidih, mengepulkan asap ke angkasa.
*

Aku mendadak bangkit dari bangku dan melangkahkan kaki ke luar kelas dengan tergesa.
Menahan tangis, ketika sesaat sebelum pintu terlewat aku menoleh ke belakang.


Yogyakarta, 090414.

Tajam.


Aku mual.
Kumuntahkan sepuluh juta kata sekali mulutku terbuka, sepuluh juta setiap detik yang sia-sia.
Lalu apa balasmu?
“Kau terlalu banyak menulis.”
Sialan.

Yogyakarta, 090414.