Tuesday, February 18, 2014

Ia Luluh karena Ketulusan Sampai Cairannya Meluber Melalui Celah-Celah Hati.

Kamu masih ingat pembicaraan kita tentang ego kemarin dulu? Nah, sudah beberapa hari ini aku tak melihatnya. Dimana gerangan si kokoh itu? Si batu karang di tengah lautan? Si tebing nan menjulang? Tak berbekas. Bagaimana bisa justru ini akhir yang terjadi? Sungguh tidak disangka-sangka sebelumnya. Dan kalau boleh aku menambahkan, mengapa? Aku benar-benar tidak mengerti. Akan tetapi, bagaimana aku bisa menuntut diriku untuk mengerti padahal aku sama sekali belum mengetahui. Jadi, sekarang juga, tolong penuhi dahaga penasaranku ini. Jawablah, apakah ia runtuh? Apakah ia roboh sekali gempur? Tidak? Lalu apa yang menyebabkan ia kalah? Sebentar, apa maksudmu ia tidak kalah? Jika demikian... apakah ia mengalah? Apa? Tidak juga? Ah,kau memang pandai memutar-mutar pembicaraan, aku lupa sampai mana tadinya permainan ini berlangsung. Tahu tidak, sebenarnya kita hampir tidak membuat kemajuan. Aku sudah cukup pening dengan alur kisahmu. Misteri... misteri...  Bagaimana jika kita mencoba mereka-reka? Kau bilang mengira-ngira bukan metode yang tepat. Menebak? Sama saja. Ah, tapi ternyata kita sama-sama tidak tahu. Ya sudahlah, bagaimana kalau kita menebak saja melalui kata hati. Atau, ada ide lainkah yang terlintas di kepalamu? Wah, katamu kau hanya bisa memikirkan satu kemungkinan? Baiklah, apapun itu, beritahukan padaku. Ah...  demikian rupanya. Sepertinya aku bisa memahami sudut pandangmu. Aku tahu hal-hal seperti itu terjadi. Dan kali ini tak lain adalah juga sebuah bukti, bahwa tak ada yang tak mungkin di dunia ini.

Yogyakarta, 180214.

No comments:

Post a Comment