Sunday, February 9, 2014

Cuplikan Satu.

Biru.

Dedaunan yang berguguran bertebaran memenuhi badan jalan seiring condongnya matahari ke ufuk barat. Tentu saja di negara dengan dua musim tidak pernah benar-benar ada musim gugur, hanya kemarau yang kering menyengat. Matahari bisa meranggaskan pepohonan, menggantung nyawanya, merapuhkan pucuk-pucuk dahan yang bergelayut lemah. Menanti angin yang akan mencabut dedaunan terlepas dari induknya.

Pada masa-masa seperti ini, entah mengapa orang mudah sekali terpancing untuk marah. Mungkin panas berkonspirasi dengan amarah, seperti eksistensi ‘temper’ dalam ‘temperature’. Sama halnya kita tidak bisa menahan diri untuk saling melempar kesalahan dengan argumen dan tambahan kata-kata yang tak perlu, kemarau silam. Dan seketika saja tak ada bedanya antara kita dan pepohonan itu, dedaunan itu. Meranggas, lalu kandas.

Penghujan pun tidak membantu. Apa yang dapat kau harapkan dari semusim ketika titik-titik air yang awalnya merintik lalu menderas tanpa ampun di luar jendela? Sulit dipungkiri, hujan memang menawarkan sendu yang datang tiba-tiba, seolah kau bisa merasakannya tanpa harus berusaha. Bukannya awan-awan gelap di langit itu sengaja. Mereka hanya melaksanakan tugas, ingatlah selalu untuk tidak menembak sang pembawa pesan.

Lalu muncul genangan-genangan di lubang-lubang jalanan, yang bisa setiap saat disumpahi pengendara yang terjerembab. Atau, lebih parah lagi, meluapnya sungai yang segera membanjiri apapun di hadapannya. Mungkin mereka sejenis dengan perasaan putus asa yang memerangkap kita rapat-rapat. Berbalut kerinduan yang terus-menerus mengusik kenangan. Jangan lupakan fakta bahwa kita terlalu pandai berdusta, demi menyembunyikan harapan di balik topeng keegoisan. Satu sama lain.

Belum semuanya,  di tengah masih ada pancaroba yang serba tak menentu. Masa yang memaksa tubuh-tubuh untuk beradaptasi dengan perubahan cuaca, bersamaan dengan munculnya berbagai penyakit. Semacam kita yang tetap saja penuh tanya dan meragu, meski mencoba bertahan meyakinkan logika masing-masing. Sayangnya, ada kalanya keyakinan itu tak cukup tegar berdiri di atas kakinya sendiri.

Perlukah kuingatkan, bahwa ‘kita’ hanyalah sebuah kata kambuhan? Bagaikan alergi dingin berwujud bersin tanpa jeda yang kuderita setiap kali penghujan tiba, atau memerahnya kulitmu ketika terkena debu-debu kemarau. Tak pasti namun selalu berlangsung. Entah apa yang salah dengan aku. Kamu. Sampai kita menjelma siklus yang berulang dan membosankan. Terjebak, seolah tanpa jalan keluar.

Fajar ini, kedua kita saling menemukan diri di tengah-tengah jembatan kayu yang telah usang. Tidak kebahagiaan. Tidak jua kesedihan. Tidak pernah ada musim salju nan dingin kelabu yang akan segera berlalu, berganti mekarnya bunga dengan bahagia pada musim semi yang ditunggu-tunggu.

Tidak ada.


Dengan iringan Blue-BIGBANG.
Yogyakarta, 170813.

No comments:

Post a Comment