Sunday, February 23, 2014

Sekilas Tentang Kelud #1.



Meletusnya Gunung Kelud di beberapa hari sebelum liburan sedikit banyak menimbulkan kehebohan. Yah, tidak parah sih sebenarnya. Hanya membuat Ibuku bertanya dengan heran keesokan harinya, “Ini kapan paginya sih?” karena langit masih gelap walaupun jam hampir menunjukkan pukul setengah tujuh. Pemahaman salah tentang ‘masih pagi’ tersebut menimbulkan ke-mager-an yang lumayan, dan hampir-hampir membuat Bapakku telat berangkat ke kantor, hehehe. Setelah menyalakan televisi (Ibuku langsung menguasai remote, soalnya kalau tidak pasti SpongeBob yang akan tampil di layar kaca), barulah ketahuan kalau Gunung Kelud jadi meletus.

Fakta bahwa gunung itu meletus tadi malam, membuatku di-ece habis-habisan oleh Ibuku. Maklum, jam-jam ketika Gunung Kelud meletus, aku masih ada dalam kondisi terjaga penuh. Membaca ulang seluruh koleksi komik One Piece, hal yang selalu kulakukan ketika liburan. Masalahnya, karena terlalu berkonsentrasi terhadap apa yang kubaca, aku bahkan tidak mendengar suara letusannya. Padahal menurut berita, suara itu terdengar sampai Solo dan Yogyakarta lho. Ibuku langsung berkomentar, “Kok iso ra krungu i lho, jan ra main tenan.”, seolah memunculkan kembali fakta yang sudah menjadi rahasia umum di keluargaku bahwa aku kelewat cuek. Apatis. Terlalu tidak peduli dan kurang peka terhadap lingkungan sekitar.

Hari itu berlanjut dengan kebingungan harus melakukan apa di tengah hujan abu. Hal ini terutama disebabkan keraguan Ibuku untuk membuka toko atau tidak. Akan tetapi, mengingat masker (salah satu benda yang dijual di toko) sedang amat sangat terlalu benar-benar dibutuhkan sekali dalam situasi ini, akhirnya Ibuku berangkat ke toko. Tinggallah aku sendirian bersama tayangan drama Korea favorit Ibuku, beliau lupa mematikan televisi. Aku sih sama sekali tidak berniat ke luar rumah, lha wong kena  debu sedikit saja asmaku bisa kumat. Nah ini abu vulkanik men, yang katanya butirannya lancip-lancip itu. Bahaya kalau terhirup.

Serangan hujan abu di Mantingan (yang notabene masih masuk wilayah Jawa Timur) tidak parah. Hanya langit dan matahari tidak terlihat, tertutup buram yang menggantung di udara. Memang mereka berhasil mengubah lantai teras yang hijau kelereng menjadi abu-abu, tapi tidak masalah. Sekali semprot pakai air langsung bersih, apalagi hujan turun dua kali. Malah katanya Yogyakarta yang parah, gegara angin yang membawa abu mengarah ke barat.

Peristiwa ini membuat kepulanganku ke kota rantau jadi galau. Rencana awalnya, aku ingin pulang hari Minggu, dalam rangka merayakan ulang tahun Febri. Tapi ya kenyataan berkata lain gitu lho. Ibuku bolak-balik bertanya, “Yakin meh mulih saiki?” sambil meyakinkan bahwa untuk kondisi seperti ini, mending di rumah saja. “Kowe kan lagi prei sediluk” adalah salah satu rayuannya. Bahkan beliau punya ide bagus yang tanpa pikir panjang langsung kusetujui, yaitu “Mbolos wae tambah seminggu, hahaha.” Dengan alibi lain “Lha Jogja we kaya ngono. Kampusmu ki kurang pengertian, kudune preine ditambah seminggu.” Sayangnya, ide brilian ini sudah pasti tidak disetujui Bapakku. Untungnya, tiba-tiba masuklah sms dari akademik yang bilang kalau Senin acaranya bersih-bersih kampus. Ya sudah, mending pulang Senin saja.

Masalah selanjutnya adalah transportasi. Selama beberapa hari setelah letusan itu, banyak bus Surabaya-Yogyakarta langgananku hanya beroperasi sampai Solo. Mungkin, jalanan yang tertutup abu membuat mereka tidak bisa ngebut seperti biasanya, hehehe. Jarak pandang juga tidak terlalu bagus untuk berkendara. Kalau untuk penerbangan jelas stop lah ya. Terus, aku pulang naik apa dong? Nah, Bapak memutuskan untuk memeriksa jadwal kereta Madiun Jaya dari Stasiun Kedungbanteng, Gondang. Soalnya, kereta api adalah pilihan yang paling masuk akal. Jadi, Minggu sore, aku dan Bapak ke Gondang naik motor. Parahnya, di tengah jalan mendadak ada angin kencang dari segala arah, yang membuat debu-debu menyerbu udara seketika. Ditambah gerimis pula. Langit mendung, sementara kami belum sampai. Kanan-kiri jalan adalah sawah. Pikiran buruk muncul, terus kalau kena badai bagaimana? Ah, bayanganku tidak terjadi. Sampai stasiun kami malah disambut truk TNI-AD. Nah lho apa coba ini, stasiun kecil sampai dijagain TNI segala. Oh ternyata presiden sedang dalam perjalanan meninjau daerah yang kena efek letusan Gunung Kelud via kereta. Anyway, tidak ada jadwal pemberangkatan dari stasiun itu, adanya dari Sragen jam 7 pagi.

Keesokan harinya aku diantar Ibuku naik motor ke Stasiun Sragen. Tidak sempat sarapan, Ibuk menyuruhku beli sesuatu di toko roti. Sepanjang jalan terdapat tumpukan penumpang bus, entah belum atau tidak terangkut. Sampai di stasiun, aku sudah was-was tidak kebagian tiket, untungnya dapat. Empat puluh ribu men. Bandingkan dengan naik bus yang hanya lima belas ribu, bisa nyegat depan rumah pula. Haaah, tapi aku lumayan bersyukur tidak jadi naik bus, soalnya pasti berdesakan. Kereta datang. Wah Madiun Jaya lebih bagus daripada Sri Tanjung yang kemarin kunaiki selama FUD. Cepat pula, Sragen-Yogyakarta hanya dua jam, setengah dari waktu naik bus. Waktuku di kereta habis untuk melihat-lihat ke luar jendela (gila, mantingan mah tidak ada apa-apanya dibanding Yogyakarta, lihat saja tumpukan abu di pinggir jalan-jalan sekitar bandara) sekaligus menggalaukan naik apa nanti dari stasiun ke kosan. Ada yang janjinya mau jemput sih, tapi... entahlah. Becak yang jadi andalan Ibuku ke mana-mana, jarang. TransJogja belum tentu beroperasi. Ojek, takut soalnya ada pengalaman yang cukup menakutkan sehubungan dengan itu. Ending-nya, aku naik ojek juga.

Sampai di depan kosan, aku langsung disambut mata penghuni kosan yang berbinar-binar. “Ganti baju La, cepet!” seru mereka, gembira ketambahan pasukan. Lepas ganti baju, aku langsung dikasih cangkul dan sekop dan karung sebagai senjata. Foto di atas adalah bukti perjuangan kami mengeruk lumpur yang mulai mengeras di parkiran, hasil perpaduan antara abu vulkanik dan hujan yang membasahi malam hari sebelumnya. Oh ya, kami dibantu dua mas-mas kosan sebelah yang ganteng lho, hahaha. Sayangnya, mereka keburu dipanggil ibu kos mereka sendiri untuk kerja bakti bersih-bersih kampung sebelum urusan mereka dengan kami selesai.

Setelahnya aku masih harus membersihkan balkon sendirian. Singkat cerita aku berburu pel sodok yang mendadak susah dicari (bahkan stok di Mirota habis). Balkon baru bersih dua hari sesudah aku datang, sesudah beli pel sodok itu. Akhirnya semuanya bersih, sampai... aku ingat ada masalah lain.

(bersambung)


No comments:

Post a Comment