![]() |
Rasanya kok kayak nggak lihat laptop sendiri, hahaha. |
Tuesday, November 18, 2014
Monday, November 17, 2014
"Kita tidak bernapas karena kekurangan oksigen. Kita bernapas karena kadar CO2 yang terlalu tinggi dalam tubuh, dan kita perlu mengeluarkannya."
Seseorang tidak melakukan sesuatu hanya karena ia ingin mendapatkan pengakuan lingkungan kan. Bisa jadi ia hanya ingin (atau harus) mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya.
Judul merupakan kalimat Mas-mas Mapadok yang jadi pemateri Pertolongan Pertama di Diklat PALAPSI 2014, sebagai jawaban atas pertanyaan tentang napas buatan.
Hello Again!
Menyentuh blog lagi setelah sekian lama menghilang rasanya cukup aneh. Terus terang, aku sedang mengalami beberapa hambatan yang cukup krusial hubungannya dengan penulisan.
- Creative Block. Ah, ia menjelaskan segalanya, mengapa setiap gagasan di otak hampir selalu berakhir dalam lembar-lembar kosong.
- Mataku tidak kuat lagi berlama-lama di depan laptop. Baru setengah jam, biasanya aku sudah merasa pusing dan mual. Some kind of typing sickness.
- Aku sedang belajar bagaimana menulis prosa yang panjangnya signifikan, tapi proses itu berkali-kali terhambat evaluasi pribadiku sendiri di setiap akhir paragraf. Ada tidak enaknya juga ya terbiasa bekerja menjadi editor, jadi keterusan menilai dan memperbaiki sebelum bisa menyelesaikan satu karya :(
- Pikiranku tercurah untuk proyek Eril: [serangkaian kata/sekumpulan cerita] yang sampai saat ini macet di tahap desain. Layout sudah, tapi ilustrasi belum.
- Ada terlalu banyak proyek buku setelah Eril selesai, yang saat ini masih sedang dalam tahap pengumpulan materi. Masalahnya, otakku bekerja dengan cara super acak, ia tak bisa menggarap mereka satu per satu. Setiap kali ada ide, ya ditulis. Entah kapan mengerjakannya, dan (lebih) entah kapan lagi, jadi bukunya. Semoga Elusif, Parade Oranye, Saru!: [kumpulan keliaran], Of Seven Chambers, Essays of A Pessimist juga segera mengikuti jejak Eril.
Nah sebenarnya semua tulisan yang barusan di-post ini juga nulisnya dalam jangka waktu yang jarang-jarang dan lama. Antara mengubah setting tanggal dan baru bisa nge-post sekarang, hahaha.
Terbiasa.
Di antara kita, ada jarak yang amat kuhargai. Kuterima begitu saja tanpa sedikitpun terbersit niatan untuk mengurangi, melangkahi. Sudah lama aku menyadari bahwa mengikis keberadaannya bukan pilihan yang layak untuk dijalani.
Yogyakarta, 171114.
21 dari Semua #3.
Aku memberikan dua hadiah untuk diriku sendiri untuk hadirnya dua puluh satu dalam hidupku.
Pertama, koneksi internet di kos. Aslinya aku jenis orang yang santai-santai saja kalau tidak ada koneksi internet. Di handphone, di kos, di rumah, sama saja: tidak merasa butuh-butuh amat. Jadinya, handphone-ku jarang didaftarkan ke paket internet. Modem juga tidak ada, seringnya aku mengandalkan koneksi wifi gratis (unduh materi sepuasnya baru kerjakan di kos). Kalau butuh sekali internet ya tinggal main ke warnet, malah bisa sekalian numpang meng-copy film.
Bulan kemarin, Mbak sebelah kamar menawarkan untuk berbagi koneksi wifi yang baru saja dia pasang spesial untuk empat penghuni deretan timur. Saat itu aku menolak karena sedang tidak ada uang, juga tidak merasa butuh. Ya sudah, aku menundanya sampai bulan ini. Tapi akhirnya aku mengiyakan juga sih. Meskipun tidak butuh, ternyata lumayan juga Rp32.500,00 bisa buka YouTube tanpa bufferring. Selebihnya, sekarang bisa puas nge-blog, dan tidak repot lagi kalau ada tugas yang harus ditransfer tengah malam atau pagi buta.
Kedua, trilogi Divergent karya Veronica Roth. Aku sudah melalui masa-masa 'menyiksa': pergi ke toko buku tanpa bisa membeli buku apapun. Banyak buku yang kuincar, tapi ya uangnya belum ada. Alhasil, aku hanya bisa melihat-lihat lalu menyusun daftar buku yang kuinginkan di otak (percayalah, panjang sekali daftarnya). Beruntungnya, toko buku Togamas menyediakan paket buku jenis serial dengan harga super diskon. Kali ini boleh lah memenangkan ego. Toh aku memilih judul itu juga karena harganya paling murah dibandingkan yang lain.
Kalau boleh menyebut wishlist sih, ini dia daftarnya:
- Eril: [serangkaian kata/sekumpulan cerita] sudah jadi bentuk bukunya. Setelah itu lanjut menggarap proyek yang lain.
- Buku: Serial Harry Potter (7 buku), Serial Percy Jackson (5 buku), Serial Heroes of Olympus (5 buku), Serial Inheritance (4 buku), Serial Lord of The Rings (4 buku), Serial 50 Shades of Grey (3 buku), Perfume-nya Patrick Suskind (ini buku susah banget nemunya), IQ84-nya Haruki Murakami (3 buku), beberapa buku klasik macam Moby Dick, Pride and Prejudice, atau The Catcher in The Rye (opo kui?), melengkapi buku Paulo Coelho (masih kutrang banyak), dan lain-lain.
- Handphone. Kondisi handphone-ku sudah sangat memprihatinkan dengan baterai yang hanya tahan satu jam dan sulit di-charge (pas diisi, dayanya malah turun coba), interface lelet, dan ketidakbisaan meng-upgrade program. Maklum, sudah lima tahun dipakai sih ya.
- Flat shoes simpel yang manis dan tahan air. Kebanyakan flat shoes lemah, kena air dikit rusak. Padahal ini kan musim hujan.
- Rok chiffon merah panjang.
- Seperangkat bolpoin warna-warni. Stok tinta menipis.
- Strap jam tangan warna merah. Belum punya waktu membetulkan dia sejak jatuh dari puncak Parangndog.
- Dompet merah yang cute, simpel, packable, dan tahan air.
- Dan sebagainya dan sebagainya. Hahaha...
20 Facts about Me #1.
1. GAK BISA KENYANG. Kenyang hanyalah ilusi.
2. Terobsesi sama pole dancing.
3. Otaknya berputar lebih cepat dari waktu.
4. Punya imajinasi super.
5. Perfeksionis.
6. Suka beli dulu mikir belakangan.
7. Open minded sama hal-hal saru.
8. Sering ngeluh pingin nulis tapi
sendirinya sibuk.
9. Deadliner juga (karena perfeksionis itu).
10. Bete, PHP, kecewa itu sederhana.
11. Suka liat Gossip Girl.
12. Ga suka liat film yang manusia.
13. Bon Cabe addict.
14. Apa aja bisa dibikin kado.
15. Jago menggaet balita cowok tampan.
16. Selalu pesen menu yang sama di tempat
makan tertentu.
17. Parnoan banget.
18. Waktu masih kecil pantatnya pernah
digigit sama adeknya sendiri.
19. Suka guling-guling.
20. Pingin punya anak cowok.
Makasih ya Febrian Bagus Pratama sudah dibikinin ini :D
Tim Terbaik!
Psikologi
Rumah Kita 2014.
Pertama
kalinya saya jadi koordinator seksi event fakultas yang besar dan penting
(menurutku peribadi), pertama kalinya aku yang sangat-bukan-tipe-pemimpin ini
harus berpikir dan menemukan solusi berkali-kali, pertama kalinya aku ikut
pelatihan pertolongan pertama dengan super niat, pertama kalinya harus bersabar
dan tetap tenang di tengah berbagai permintaan ribet dari pihak panitia lain dan
fakultas (terutama), pertama kalinya harus berani meminta Dekan keluar dari
ruang medis (ada empat mahasiswa tepar karena asma dan bisa-bisanya ada tiga
orang tambahan di ruang setertutup itu)...
Sesuai keputusan SC, aku hanya mendapat
'jatah' tiga orang tahun ini. Padahal, biasanya Medis itu bertujuh. Kalang
kabut? Tentu saja. Akan tetapi, SC menyarankan kami untuk minta bantuan ke
Repsigama. Jadilah kami tetap bertujuh.
Tim
Medis sendiri terdiri dari Muki, Ufa, dan Zia. Muchlas Ardiansyah, rekanku
sejak PRK tahun lalu, adalah manusia medis sejati. Ilmu tentang pertolongan
pertamanya tidak perlu diragukan lagi. Ia bisa jadi 'guru' bagi kami-kami yang
amatir ini. Nur Fajriyanti bisa dibilang sebagai apotek berjalan, saking
lengkapnya obat-obatan dan peralatan pertolongan pertama yang dia punya dan
bisa dibawa-bawa. Kami jadi bisa menghemat pengeluaran untuk beli obat. Zia, si
muka jutek (sori Zi :p) ini sangat bisa diandalkan dalam kesigapannya buat
wira-wiri, mulai dari mengurus pelatihan sampai peminjaman obat. Bonusnya, kami
punya banyak link yang sepertinya bisa membantu Medis PRK tahun depan, seperti
Mer-C dan TBMM.
Plus
ada tim Repsigama. Mas Ibeng, Ega, Tuki. Terima kasih banyak sudah
berlelah-lelah bersama kami. Maaf ya koor belum bisa bikin pembubaran yang bisa
mengakomodasi jadwal kita semua :"
Tim
ini sempurna karena semua membagi tugas dengan efektif. Siap, sigap, cepat
tanggap, sesuai dengan semboyan kami sendiri. Asal kegalauan tim jangan sampai
tersebar kemana-mana, hahaha.
Terima
kasih atas segalanya, aku belajar sangat banyak!
Baru sempat ditulis sekarang!
Yogyakarta, 171114.
Thursday, November 13, 2014
Sedikit Berbagi.
Hidupku belakangan jungkir balik. Rasanya seperti menjadi leader sebuah jalur di tebing, tapi jatuh ketika hendak memasang tali di pengaman terakhir. Posisinya terbalik pula, plus telapak tangan luka-luka. Lengkap sudah.
Ah, tapi sejujurnya aku tidak terlalu mengerti apa yang sesungguhnya terjadi. Masalahnya:
- Sekarang ini aku hampir tidak ada kegiatan berarti, tapi aku kehilangan orientasi. Badanku lebih mudah lelah daripada biasanya. Padahal, aku tidur jauh lebih lama daripada rata-rata tidurku sebelum ini (yang hampir selalu di atas tengah malam). Lucu. Insomnia bisa berbalik menjadi hipersomnia dengan telak rupanya. Itu saja untuk bangun rasanya aku ogah-ogahan, jadi seringnya aku menarik selimt dan bergelung di hangatnya kasur lebih lama lagi. Bangun pun tidak dalam keadaan segar bugar seperti normalnya orang setelah bangun tidur.
- Berat badanku turun drastis. Bayangkan, sembilan kilogram menguap dari tubuhku! Awalnya, tubuhku sudah menunjukkan arah menuju berat badan ideal, 49 kilogram. Nah ya kan tinggal tambah lima kilogram lagi untuk memenuhi target. Tidak terpenuhi pun, asal menembus 50 kilogram aku sudah akan luar biasa senang. Lalu, yang terjadi justru sekarang berat badanku tinggal 40 kilogram. Ke mana perginya sembilan kilogram itu? Orang-orang memperkirakan, pemasangan kawat gigiku-lah penyebabnya, tapi aku sadar bukan itu. Berat badanku sudah turun tahap demi tahap semenjak aku pulang dari Sulawesi dan Bali. Waktu itu, aku turun empat kilogram. Pemasangan kawat gigi hanya mengurangi dua kilogram lagi. Ah, dan semua orang menyadari dan menanyakan hal yang sama. Padahal aku juga tidak mau mengurus, semakin kecil dan tipis.
- Belakangan aku kerap menangis tanpa sebab.
- Sakit kepala menjadi rutinitas yang dirasakan kepalaku. Daya tahan memandang layar laptopku sekarang hanya tiga puluh menit. Lebih dari itu, aku sudah menghempaskan diri ke kasur saking berkunang-kunangnya.
- Aku tahu aku bermasalah dengan mood swing sejak lama, tetapi akhir-akhir ini fase negatifku bertambah. Marah, sedih, kecewa bisa terjadi seketika walaupun hanya dipicu hal sepele.
- Konsentrasiku menurun. Menulis, apalagi mengerjakan tugas jadi menghabiskan banyak waktu, tak lagi efektif dan efisien seperti dulu.
- Aku tidak lagi semangat melakukan hal-hal yang aku suka. Pertama, aku sudah resmi bilang mundur dati tim kesayanganku, RCD. Kedua, aku sudah jarang menulis lagi. Ketiga, menari apalagi, sudah sangat tidak pernah.
Sebagai mahasiswa psikologi yang sudah lulus kelas Kesehatan dan Gangguan Mental, aku memerkirakan semua ini sebagai gejala depresi. Yah, cukup sulit berbagi perasaan dengan orang lain, tanpa mereka menghakimi pentingnya ceritaku atau secara otomatis memberikan nasihat sementara aku hanya ingin didengarkan. Cukup sulit pula apabila dalam kondisi ini, orang-orang terdekatku justru tidak peka dan malah banyak bertanya, padahal yang kuinginkan hanyalah pelukan dan puk-puk yang pengertian dan sabar.
Kemudian, seperti yang bisa ditebak, aku kembali sendirian.
Tuesday, November 11, 2014
21 dari Semua #1.
![]() |
Makasih Diana :D ini cokelat langsung dimakan malemnya buat survival (tunggu cerita lengkapnya). |
![]() |
Makasih Enop :D akhirnya punya kerudung motif bentuk segiempat! |
![]() |
My mother's kind of surprise (walau disuruh masang sendiri) :p |
![]() |
Makasih Teteh-Acul :D earphone-nya kompatibel banget di laptop. Bisa verbatim lancar deh, hehe. |
21.
Setiap tahun, aku hanya memiliki waktu enam jam untuk merayakan ulang tahunku.
Hal ini terjadi karena sesungguhnya aku lahir tepat pukul enam sore. Menurut penanggalan Jawa, lahir di jam sekian itu malah berarti sudah masuk hari berikutnya. Jumat Pon, bukan lagi Kamis Pahing. Masalahnya, di kalender Masehi, semua akan berubah menjadi tanggal dan hari ketika jam berdentang lagi dua belas kali, kan? Ukuran 'sehari' menurut kalender Masehi atau Jawa menjadi tidak relevan lagi di otakku. Intinya jelas: Empat Novemberku yang istimewa akan berakhir dalam enam jam, dan aku melakukan segala cara untuk menikmatinya.
Setiap tahun, aku hanya memiliki waktu enam jam untuk merayakan ulang tahunku.
Sebenarnya aku tidak paham dengan tradisi mengucapkan 'selamat ulang tahun' tengah malam yang biasa dilakukan orang-orang. Bahkan Akademik Psikologi pun mengirimkan doanya di sekitar jam-jam tersebut. Ah, tapi untuk hari ini pun aku tetap bisa menerima dengan senang hati ucapan selamat dan doa yang diberikan, walaupun di waktu itu aku belum resmi menyandang usia favoritku: dua puluh satu.
Setiap tahun, aku hanya memiliki waktu enam jam untuk merayakan ulang tahunku.
Di rumah, tidak ada perayaan ulang tahun yang berlebihan. Akan tetapi, khusus hari itu, Ibuk akan memasak makanan apapun yang aku minta, dengan porsi super banyak supaya semua orang dapat mengambil lagi sepuas-puasnya. Lima tahun belakangan, ulang tahunku terlalu jauh dari rumah, sehingga ucapan selamatlah yang melayang melalui pesan singkat.
Setiap tahun, aku hanya memiliki waktu enam jam untuk merayakan ulang tahunku.
Ternyata sebegitu besar jurang antara 'sebelum' dan 'sesudah'. Tanpa mereka, aku menjalani hari yang normal. Sama sekali tidak istimewa. Kuliah berlangsung seperti biasa, dan aku pulang lebih cepat dari biasanya untuk tidur siang. Pukul enam sore itu, aku keluar kos dengan niat membeli pangsit kuah. Ternyata, warungnya sudah kehabisan menu itu. Jadilah aku kembali ke kos dengan perasaan kecewa.
Setiap tahun, aku hanya memiliki waktu enam jam untuk merayakan ulang tahunku.
Sebenarnya aku sedang terjebak kondisi stres. Aku ingin menyelesaikan proyek Eril: [serangkaian kata/sekumpulan cerita] tepat waktu. Gagal. Banyak masalah menghadang. Seandainya bisa, tentu itu menjadi kado yang sangat keren. Begitulah. Proyek-proyek lain macet, aku kehilangan minat menulis sampai nyaris nol. Tidak lagi produktif. Sedih.
Setiap tahun, aku hanya memiliki waktu enam jam untuk merayakan ulang tahunku.
Aku tengah bergelung di kasur ketika hujan menjatuhi bumi dengan derasnya. Hebat, hujan pertama di Yogyakarta turun tepat pada lima jam pertama aku berusia dua puluh satu. Mau tidak mau aku merasa terberkati, tapi sejujurnya aku mulai kelaparan. Kubuka bungkus cokelat kado dari Diana dan kulahap isinya. Semacam survival saja. Haaah, dan belum juga ada tanda-tanda pesan dari Ibuk yang mengucapkan selamat. Akhirnya aku mengirimkan sms lebih dulu. Ajaibnya langsung dibalas lho. Tumben. Ibuku adalah tipe orang yang tidak mengecek hp ketika sudah waktunya tidur. Rupanya malam itu beliau nglilir karena hawa sumuk. Katanya sih, tadi pagi sudah ingat mau kirim pesan tapi kemudian lupa...
Setiap tahun, aku hanya memiliki waktu enam jam untuk merayakan ulang tahunku.
Hidup itu aneh ya. Tibanya usia favoritku, usia yang sangat aku tunggu-tunggu, justru kulewati bersama sepi. Enam jam yang bagiku istimewa itu kuhadapi sendiri...
*
Menyandang usia kepala dua (apalagi ditambah satu tahun di belakangnya) jelas akan menghadapkanku pada ribuan tantangan baru. Salah satunya adalah tahap perkembangan Erikson yang intimacy versus isolation. Masa ketika seseorang dituntut menyelesaikan tugas perkembangan yaitu membina hubungan dekat dengan orang lain di luar keluarga. Untuk standar masyarakat seperti di sini, sederhananya usia sekian ini seperti diharapkan sudah punya pasangan. Bukannya berpikiran negatif sih, tapi terus terang tahap ini membuatku agak pesimis (jika kau tahu maksudku).
*
Harapanku untuk usiaku yang sekarang tentu saja membuncah ruah. Namun, ada satu hal yang benar-benar menjadi impianku: mampu tersenyum dengan tulus. Bukannya senyum sedih seperti yang selama ini kupalsukan tanpa kebahagiaan riil dari hati. Semoga...
Yogyakarta, 041114-111114.
Monday, November 10, 2014
Monday, November 3, 2014
Ketika 'Ingin Berhenti' Ditingkahi 'Tapi', Lagi dan Lagi.
Terombang-ambing antara kemauan untuk tidak melakukannya lagi yang tertutup rasa 'butuh' dan hari demi hari proses konseling yang tidak selesai. Bertekad berjuang sendiri tapi godaan terlalu besar. Ingin disemangati, sekaligus tidak ingin ada orang lain yang tahu...
Sunday, November 2, 2014
Pilihan.
Terjebak di antara orang-orang
yang kau harapkan dan orang-orang yang tidak pernah mengharapkan kau, rasanya
seperti ditarik kekosongan dari dua sisi. Percayalah, kita sudah mengalaminya
berkali-kali. Pengalaman membimbing kita pada satu kesimpulan bahwa pilihan
adalah hal terkejam yang bisa diciptakan dunia ini.
Setiap pilihan selalu
menghadapkan kita pada risiko menyakiti. Sebab, tentu saja ada pihak yang
tersakiti. Jangan bicara menang dan kalah. Ada batas ‘berbesar hati’ pada
masing-masing pribadi.
Di masa mendatang, aku tidak akan
membiarkan diriku terombang-ambing di antara memilih dan dipilih. Aku akan
merdeka tanpa memilih, tidak berharap untuk dipilih.
121014-021114.
Lelakilelakilelaki.
Lelaki 1.
Lima tahun, ia menjadi rekanku untuk berkarya. Tujuh tahun,
ia memberiku liontin dan surat yang ditulis oleh kakaknya. Delapan tahun, aku
meninju wajahnya hingga berdarah-darah. Sepuluh tahun, ia mengirim surat lagi,
menuduh aku lebih suka seseorang yang menjemputku sepulang sekolah, padahal
orang itu sepupuku. Dua belas tahun, ia menjadi pesaing dari kelas sebelah.
Tiga belas tahun, ia mengirim surat lagi beserta foto hitam putihnya tepat di
hari jadinya, memintaku menjadi hadiah untuknya.
Lelaki 2.
Kakak seorang kawan. Setiap kali aku melewati rumahnya,
mencari-cari sosoknya yang sulit ditemukan. Tentu saja, jarak usia yang lebar
membuatnya telah pergi ke kota untuk belajar saat itu. Terakhir kali berpapasan
di sebuah bus, ia membawa serta istri dan seorang putri yang cantik.
Lelaki 3.
Mendekat hanya untuk meraih seseorang lain.
Lelaki 4.
Kakak seorang kawan (lagi). Enam bulan berkomunikasi maya,
tak saling sapa di dunia nyata. Bersama hujan sore itu, uluran tanganku yang
ditolaknya membatu bersama luka yang belum luruh untuk enam tahun kemudian.
Saat ini ia tinggal di Jepang. Dan oh, kawanku itu sangat terkenal karena
pernikahan dan kehamilannya di usia mahasiswa.
Lelaki 5.
Pertama kali aku jatuh dan berpuisi karenanya, spesies
gentleman yang langka untuk usia lima belas. Sangat pendiam, tanpa ekspresi.
Semua berubah untuk saat ini, ketika kami akhirnya bertemu kembali. Ceria dan
menyenangkan. Sudah hidup mandiri selagi kuliah, dengan penghasilan dan
pengaturan finansial sendiri yang sangat baik.
Lelaki 6.
Sejujurnya aku tidak paham bagaimana awal segala sesuatu
dengannya. Singkat. Hanya saja, semua berakhir ketika kukirimkan jaket biru dari
tempat tinggalku yang baru.
Lelaki 7.
Pertama kali merasa memiliki dan dimiliki, menerabas
peraturan yang tidak memperbolehkan adanya pasangan dalam organisasi. Pada
akhirnya organisasi itu menendangku keluar, satu hal yang tidak bisa dilakukan
terhadapnya. Tentu saja, ia petinggi di sana. Selesai setelah dua puluh satu
bulan.
Lelaki 8.
Menjadi pengingat untuk Lelaki 4 karena lingkungan pembentuk
mereka sama, kerohanian. Aku menjadi adik baginya, dengan panggilan Oniichan.
Ia sendiri menyimpan rasa pada rekan seangkatannya, yang, masalahnya, sudah
dimiliki orang.
Lelaki 9.
Rekan sepermainan Lelaki 8, seseorang yang membukakan mataku
akan purnama merah dan serigala-serigala malam. Segala sesuatunya terjadi
seperti kilat, begitu cepat. Tiga minggu setelah Lelaki 7. Berakhir dalam empat
belas bulan.
Lelaki 10.
Seseorang di balik sebagian besar tulisanku. Sosok dingin
dengan dunia miliknya sendiri, yang kusimpan setiap kepingnya di tempat
rahasia. Seseorang yang kudoakan selalu agar suatu saat, ia bisa berbicara dan tertawa lebih lepas.
Lelaki 11.
Menelan garis waktu, detik demi detik sampai terasa dua
tahun mencari tahu dan berusaha mengenal. Membumbungkan tinggi lalu menjatuhkan
dengan telak. Kalau ada perbedaan yang sangat besar mulai dari cara pandang,
prinsip, sampai agama, itulah kami. Tidak akan pernah menjadi kita.
Lelaki 12.
Menjadikan dunia salah kaprah menyangka semua, lelah
menjelaskan kebenaran. Menjadi teman nyaris 24/7, tempat masing-masing kami
meruahkan pandangan terhadap lain dunia. Akan tetapi, aku sangat ingin
menghentikan usahanya berharap. Aku tak ingin diharapkan.
Lelaki 13.
Entah siapa lagi, aku belum memiliki satupun cerita trepatri
tentangnya. Jika ada. Jika tidak, ya tak apa.
Yogyakarta, 021114.
Saturday, November 1, 2014
Fakta Setahun Ditimpa Fiksi Sehari.
(Ditulis 040814 untuk buletin 'WE ARE 28!')
“Kalau aku menolak?”
mataku melintasi mie dok-dok rebus yang mengepul panas di meja.
“Wah ini kan amanah,
apa iya kamu mau mengecewakan orang-orang yang sudah memberi kepercayaan
terhadapmu?”
Diplomatis dan sedikit menjebak.
Tak seorangpun mengira, setahun ke depan hidupku ditentukan percakapan tengah
malam di sebuah burjo.
*
Job
description Divisi Jurnalistik: Bertanggung jawab
terhadap publikasi kegiatan Palapsi dalam berbagai kegiatan rutin jurnalistik,
bertanggung jawab terhadap pemberdayaan SDM dalam hal jurnalistik,
berkoordinasi dengan Kabid Penunjang dan semua bidang di Palapsi yang
berhubungan dengan jurnalistik, dan bertanggung jawab terhadap informasi
non-digital Palapsi.
*
Beberapa minggu ini ia
tidur berteman laptop menyala. Seringkali ia tergeragap bangun, kemudian meraih
mesin persegi panjang itu begitu saja. Mengetik dipandu mimpi, melanjutkan
tulisan atau suntingan yang belum sempat ia selesaikan. Ketika ia sepenuhnya
terjaga, hal pertama yang tertangkap mata adalah seperangkat bahan prakarya.
Artinya, ada aksi potong dan tempel yang menantinya.
*
Aku cukup gemas pada
orang-orang yang menolak menulis bahkan sebelum mereka mencobanya. Lebih-lebih,
mereka yang mengulur tenggat dengan alasan malas atau lupa. Reward? Tak terlalu ada gunanya—hanya
barang-barang kecil yang berharga sepersepuluh uang saku harian mereka—mampu
mereka beli dengan mudah. Akhirnya teror “setor tulisan” kuberlakukan. Aku
menyebutnya “pemaksaan yang dilegalkan”.
*
Produk Jurnalistik secara
umum terbagi menjadi dua fungsi, internal dan eksternal. Produk internal dalam
bentuk mading bertujuan untuk menginformasikan kegiatan Palapsi pada mahasiswa
di Gedung K, mengingat pusat perkuliahan ini jauh dari sekretariat. Sementara
itu, buletin sebagai produk eksternal sejatinya merupakan sarana menggaungkan
kegiatan Palapsi di kalangan sesama organisasi kepecintaalaman, dengan
pertimbangan jarangnya kami berkunjung ke markas mapala lain.
*
Tidak adil. Mereka
bilang, semua divisi di bidangnya berhak memberdayakan seluruh SDM yang
tersedia. Realita yang mengemuka justru ketimpangaan. Semua orang akan
menyingsingkan lengan, mengorbankan waktu, tenaga, pikiran sampai jauh malam,
berhari-hari, sampai membolos juga, jika rupiah adaalah tujuannya. Akan tetapi,
sedikit sekali orang yang dengan sukarela dan senang hati mengetik tulisan
singkat tentang sebuah event yang
barusan berlalu, padahal hal itu hanya makan waktu sepuluh menit tanpa potongan
penghasilan.
*
Bagus.
Aku suka kok. Yah, 4 dari 5 lah... NGU! cerita suatu sore
dengan apresiasi seorang senior dari jauh.
*
Belakangan ia mengaku
sering menjumpai sebuah kotak. Sepertinya tak baru, namun rasa asing terus
menyerbu. Apalagi kemudian dilihatnya tumbuh sebuah kaki besar berbulu dan bau
dari dasarnya. Kaki itu menendang-nendang. Bahwa jarinya tujuh atau delapan,
tak lagi ada bedanya.
*
Aku dibesarkan aksara
dan kata-kata di antara ketinggian Tebing. Di sana, pasti ada masa-masa ketika
senja telah turun mendahului keinginanku untuk memuncaki sebuah jalur.
Sayangnya, tak ada kesempatan lagi untuk mencobanya esok hari. Operasional
telah berakhir...
Subscribe to:
Posts (Atom)