Setiap tahun, aku hanya memiliki waktu enam jam untuk merayakan ulang tahunku.
Hal ini terjadi karena sesungguhnya aku lahir tepat pukul enam sore. Menurut penanggalan Jawa, lahir di jam sekian itu malah berarti sudah masuk hari berikutnya. Jumat Pon, bukan lagi Kamis Pahing. Masalahnya, di kalender Masehi, semua akan berubah menjadi tanggal dan hari ketika jam berdentang lagi dua belas kali, kan? Ukuran 'sehari' menurut kalender Masehi atau Jawa menjadi tidak relevan lagi di otakku. Intinya jelas: Empat Novemberku yang istimewa akan berakhir dalam enam jam, dan aku melakukan segala cara untuk menikmatinya.
Setiap tahun, aku hanya memiliki waktu enam jam untuk merayakan ulang tahunku.
Sebenarnya aku tidak paham dengan tradisi mengucapkan 'selamat ulang tahun' tengah malam yang biasa dilakukan orang-orang. Bahkan Akademik Psikologi pun mengirimkan doanya di sekitar jam-jam tersebut. Ah, tapi untuk hari ini pun aku tetap bisa menerima dengan senang hati ucapan selamat dan doa yang diberikan, walaupun di waktu itu aku belum resmi menyandang usia favoritku: dua puluh satu.
Setiap tahun, aku hanya memiliki waktu enam jam untuk merayakan ulang tahunku.
Di rumah, tidak ada perayaan ulang tahun yang berlebihan. Akan tetapi, khusus hari itu, Ibuk akan memasak makanan apapun yang aku minta, dengan porsi super banyak supaya semua orang dapat mengambil lagi sepuas-puasnya. Lima tahun belakangan, ulang tahunku terlalu jauh dari rumah, sehingga ucapan selamatlah yang melayang melalui pesan singkat.
Setiap tahun, aku hanya memiliki waktu enam jam untuk merayakan ulang tahunku.
Ternyata sebegitu besar jurang antara 'sebelum' dan 'sesudah'. Tanpa mereka, aku menjalani hari yang normal. Sama sekali tidak istimewa. Kuliah berlangsung seperti biasa, dan aku pulang lebih cepat dari biasanya untuk tidur siang. Pukul enam sore itu, aku keluar kos dengan niat membeli pangsit kuah. Ternyata, warungnya sudah kehabisan menu itu. Jadilah aku kembali ke kos dengan perasaan kecewa.
Setiap tahun, aku hanya memiliki waktu enam jam untuk merayakan ulang tahunku.
Sebenarnya aku sedang terjebak kondisi stres. Aku ingin menyelesaikan proyek Eril: [serangkaian kata/sekumpulan cerita] tepat waktu. Gagal. Banyak masalah menghadang. Seandainya bisa, tentu itu menjadi kado yang sangat keren. Begitulah. Proyek-proyek lain macet, aku kehilangan minat menulis sampai nyaris nol. Tidak lagi produktif. Sedih.
Setiap tahun, aku hanya memiliki waktu enam jam untuk merayakan ulang tahunku.
Aku tengah bergelung di kasur ketika hujan menjatuhi bumi dengan derasnya. Hebat, hujan pertama di Yogyakarta turun tepat pada lima jam pertama aku berusia dua puluh satu. Mau tidak mau aku merasa terberkati, tapi sejujurnya aku mulai kelaparan. Kubuka bungkus cokelat kado dari Diana dan kulahap isinya. Semacam survival saja. Haaah, dan belum juga ada tanda-tanda pesan dari Ibuk yang mengucapkan selamat. Akhirnya aku mengirimkan sms lebih dulu. Ajaibnya langsung dibalas lho. Tumben. Ibuku adalah tipe orang yang tidak mengecek hp ketika sudah waktunya tidur. Rupanya malam itu beliau nglilir karena hawa sumuk. Katanya sih, tadi pagi sudah ingat mau kirim pesan tapi kemudian lupa...
Setiap tahun, aku hanya memiliki waktu enam jam untuk merayakan ulang tahunku.
Hidup itu aneh ya. Tibanya usia favoritku, usia yang sangat aku tunggu-tunggu, justru kulewati bersama sepi. Enam jam yang bagiku istimewa itu kuhadapi sendiri...
*
Menyandang usia kepala dua (apalagi ditambah satu tahun di belakangnya) jelas akan menghadapkanku pada ribuan tantangan baru. Salah satunya adalah tahap perkembangan Erikson yang intimacy versus isolation. Masa ketika seseorang dituntut menyelesaikan tugas perkembangan yaitu membina hubungan dekat dengan orang lain di luar keluarga. Untuk standar masyarakat seperti di sini, sederhananya usia sekian ini seperti diharapkan sudah punya pasangan. Bukannya berpikiran negatif sih, tapi terus terang tahap ini membuatku agak pesimis (jika kau tahu maksudku).
*
Harapanku untuk usiaku yang sekarang tentu saja membuncah ruah. Namun, ada satu hal yang benar-benar menjadi impianku: mampu tersenyum dengan tulus. Bukannya senyum sedih seperti yang selama ini kupalsukan tanpa kebahagiaan riil dari hati. Semoga...
Yogyakarta, 041114-111114.
No comments:
Post a Comment