Monday, May 13, 2013

Kecuali Kamu (Padahal Bagimu, Aku adalah Pengecualian).

Aku sudah melupakan perasaan apa yang pertama kali mengudara di hari pertama pertemuanku bersamamu, tujuh bulan lalu. Hari demi hari, kamu berhasil menaklukkanku ego, raga, dan cintaku. Cinta? Atau kagum? Aneh. Bukan seperti cinta. Bukan seperti obsesi. Semacam perasaan kabur yang tertutupi berbagai alasan dan penyangkalan. Dan mengakuinya, bukan hal yang mudah.
Kemarin dan hari ini, dua kali aku terjebak kembali  di hadapanmu. Aku selalu mengingatkan diriku sendiri, masih lama waktu yang mau tak mau harus kuhabiskan denganmu. Suka atau tidak. Hanya saja, kali ini, ada rasa mual yang mendera luar biasa, membuatku tak bisa seratus persen fokus menghadapi apa yang selayaknya kuhadapi: kamu. Siapa lagi?
Dilema. Sejujurnya, sudah tak terhitung berapa kali usahaku melarikan diri dari sosokmu. Aku pikir, semakin jarang kita bertemu, apa yang aku rasakan nantinya akan menjadi berbeda. Siapa tahu, aku dapat melupakanmu perlahan-lahan. Namun yang terjadi adalah... aku tak sanggup menahan diriku untuk tidak melihatmu. Menatapmu dengan pandangan menerawang yang biasa. Sesekali menyapamu, peduli amat kamu membalasnya atau tidak. Aku...  rindu. Maka dari itu, aku memutuskan, mencoba melupakanmu adalah sebuah kekonyolan. Aku tetap berusaha bersikap biasa, menikmati pemandangan indahku seperti adanya.
Sayangnya, mempertahankan kontak denganmu pun bukan hal yang tepat. Semakin aku melihatmu, semakin aku mengenalmu, semakin banyak rahasia yang terungkap. Semakin banyak cerita yang sulit kucerna. Semakin berat rasanya, untuk menggapaimu. Belum lagi ditambah omongan orang-orang sekitar yang terasa memojokkanku. Meragukanku. Membuatku merasa tak mampu. Atau mungkin memang aku sebegitunya tak mampu, senyumku getir.
Apalagi... memelukmu. Kamu, yang terlalu tinggi. Kamu, yang terlalu luas. Kamu, yang terlalu kuat. Kamu, yang terlalu kaku. Kamu, yang terlalu kokoh. Kamu, yang terlalu diam. Kamu, yang terlalu sempurna. Yang bisa aku lakukan hanya menyentuhmu dari permukaan. Dengan ragu-ragu dan kegamangan yang sangat, tentunya. Sambil meraba-raba sekenanya, siapa tahu ada pegangan-pegangan yang tepat supaya kalaupun nanti aku jatuh, rasanya tak sakit terlalu jauh.
Tahu tidak, terkadang aku berpikir, kamu... pemberi harapan palsu. Kelas hiu paus, bukan sekadar kakap atau arwana. Sering sekali aku menemukan lubang yang sekiranya cocok. Ternyata, pegangan itu tak bisa membuatku menggengam erat, lalu meneruskan perjalananku ke puncakmu. Lain waktu, ketika aku berusaha memasang pengaman, ukurannya selalu tidak tepat. Kalaupun tepat, aku tak bisa membuatnya bertahan cukup kuat. Sekilas sentak saja, jebol seketika. Sial. Ya, dalam hati, aku gagal menahan diri untuk tidak merutuk, mengumpat atau menyumpahimu. Walaupun di luar aku terlihat diam, karena aku takut sekalinya mencoba mengeluarkan sepatah kata, yang ada justru aku menangis kesal. Namun, kemudian logikaku kembali bergabung dalam meja diskusi. Bukan maksudmu untuk memberikan harapan. Sama sekali bukan. Mungkin kamu memang tidak mengerti. Atau, kamu mengerti tapi tidak peduli. Atau, aku saja yang selama ini terlalu berharap.
Kadang-kadang terlintas pula dalam pikiranku kalau perlakuanmu padaku... tak cukup adil. Entahlah. Secara kasat mata memang demikian adanya. Aku hanya sanggup terpaku ketika aku tak bisa menembus pertahananmu yang sedemikian rapat itu. Tertolak mentah-mentah. Sementara orang lain kamu izinkan memasuki, bahkan mengobrak-abrik sisi lain hatimu. Mereka bisa memasang berapapun pengaman dengan mudah dan cepat, memenuhi keinginanmu. Kamu bisa berkata aku terlalu bodoh, aku saja yang tak pernah bisa memasang pengaman dengan benar. Namun, setidaknya, sudikah kamu melihat usahaku sebelum menilai?


Sekali, dalam tiga bulan yang terasa selamanya ini. Yang menguras tenaga, pikiran, perasaan, dan iman. Sulit. Dan ternyata aku bersikukuh untuk menulisnya. Semacam seni memaksakan diri, yang makin lama makin kukuasai dengan baik.
Pikiran-pikiran acak yang muncul di tebing. Saking acaknya, setelah ditulis dan dibaca ulang, memang terasa sangat acak.
Dipikirkan sewaktu memanjat di Bedoyo, 04-050513.
Yogyakarta, 080513.

6 comments:

  1. Terlalu acak atau cukup acak?
    Acak-acakan?

    ReplyDelete
  2. acak itu relatif lagian.
    apa yg mrt org acak blm tentu acak bg org lain..
    krn kita gbs baca isi otak org lain seutuhnya (mnding gbs mlahan)

    ReplyDelete
  3. Baca tebing lebih susah lagi

    ReplyDelete
  4. nyeh... baca diri sendiri aja belum lulus

    ReplyDelete