Lelaki penyendiri itu kali ini
menyendiri lagi. Dalam sebuah ruangan remang-remang tempat ia menyimpan semua
rahasianya, di salah satu sudut tersembunyi. Setelah membuka kunci pintu, ia
memandang sekeliling. Bergerak menghampiri sepasang bangku dan meja di
tengah-tengah.
Lelaki penyendiri itu menduduki
bangku di balik meja. Ia merogoh saku jaketnya, kemudian mengeluarkan satu per
satu barang: di hadapannya kini terhampar jarum beserta suntik dan sebuah botol
kaca kecil kosong berwarna biru, beserta tutupnya.
“Sudah waktunya,” gumamnya tak
jelas, nyaris tanpa suara.
Lelaki penyendiri itu mengambil
jarum dan suntik. Ditusukannya perlahan benda itu menembus kulit perut bagian
kanan bawah. Ketika ia menarik keluar, tersedotlah darah beserta
perasaan-perasaan yang selama ini ia pendam. Detik berikut, ia sudah mengisikan
cairan merah kental ke dalam botol kaca kecil berwarna biru tadi, lalu
menutupnya rapat-rapat.
Lelaki penyendiri itu kemudian melangkahkan
kaki menuju salah satu lemari di satu dinding. Dibukalah pintu kaca yang mulai
berdebu, ia sendiri lupa kapan terakhir kali menyentuhnya. Dari sana, ia
mengeluarkan sebentuk kotak kayu berwarna hitam. Di dalam kotak, terdapat
sebuah benda lagi. Sang lelaki meletakkan botol kaca biru kecil di sebelah
botol kaca kecil berwarna hijau yang sudah setahun lebih ada di situ.
Lelaki penyendiri itu sekarang
terpaku memandangi kedua botol kaca kecil berisi darah beserta perasaan-perasaan
yang selama ini ia pendam. Dengan kadar yang sama.
Ditulis di depan sekret dengan iringan gitar Kadiv Air selagi menunggu Dora membuat skenario pendakian massal.
Yogyakarta, 020513.
No comments:
Post a Comment