Selama ini aku
berpikir kalau orang yang bisa menahan diri adalah orang-orang hebat. Ketika
bahagia, mereka bisa menampilkan ekspresi yang tidak meluap-luap. Hanya
tersenyum manis. Ketika mereka sedih, mereka bisa tidak mengeluarkan air mata.
Hanya menyendiri. Ketika mereka marah, mereka bisa menekannya ke dalam. Hanya
diam.
Jadi aku berusaha
membunuh setiap perasaan itu. Menganggap semuanya hal yang biasa-biasa saja.
Aku bisa saja tersenyum tipis, walaupun sebenarnya dalam hati aku senang bukan
kepalang karena sesuatu. Seseorang. Aku bisa saja menekuk wajah dan berkata
tidak ada apa-apa, meskipun dalam hati kesedihan itu berontak karena tak dapat
bermuara karena sesuatu. Seseorang. Aku bisa saja mengerutkan kening dan
mengangkat bahu seolah tak peduli, padahal di dalam hati ada yang berteriak
merusak karena sesuatu. Seseorang.
Tapi yang terjadi malah sebuah... kebohongan.
Palsu.
Dan kalau boleh
jujur, aku muak. Bukan karena ingin menyalahkan sesuatu. Seseorang. Apa ya,
lebih karena menyadari selama ini yang salah adalah anggapanku.
Jadi, kuputuskan
untuk tidak lagi menahan-nahan apapun yang aku rasakan. Entah itu positif atau
negatif. Entah itu manis atau pahit. Lebih baik aku melampiaskannya dengan
caraku, daripada nantinya aku merusak diriku sendiri. Pelampiasan buatku bukan
melulu suatu hal yang buruk. Asal bisa mengendalikan diri, mengapa tidak?
Mengendalikan diri jauh lebih baik daripada menahan diri, bukankah begitu?
Aku bukan korban
sesuatu. Seseorang. Aku adalah korban pemikiranku sendiri. Dan, aku adalah
korban yang baik.
Ditulis dengan
keadaan berantakan karena sedih (akhirnya, mengaku juga), sakit, kelelahan,
tugas, serta sebuah cerita yang mengandung frasa ‘sejak pertama’,
‘cokelat’, dan ‘kadar yang sama’.
Diiringi Worry About You-2AM Club. Di kamar yang sudah empat hari ini
ketambahan penghuni. Si penghuni tambahan sendiri sedang tertidur pulas gegara
pening dan demam melanda.
Yogyakarta, 010513.
No comments:
Post a Comment