Thursday, May 2, 2013

Cerita yang Menggumpal di Sebuah Pertunjukan.


Sang Pengagum.

“Masuk!”

Kulemparkan kartu terakhir di tangan ke tengah meja. Terdengar sorak sorai lain memenuhi senja. “Main lagi?” tanya seseorang yang duduk tepat di seberang. Aku menggeleng pelan sambil berdiri, lalu melangkahkan kaki meninggalkan kerumunan yang tak akan berkurang ramainya itu. Saat ini, aku ingin berada di tempat lain.

Pertunjukan itu. Pertunjukan yang telah lama kutunggu.

Panggung sudah ditata lengkap dengan alat-alat musik, pengeras suara, serta pencahayaan yang mendukung. Dan ya, kamu ada di sana, berdiri anggun mengecek alat musik yang nantinya kamu mainkan. Untuk pertama kalinya, aku akan bisa melihat tarian jemarimu mengalunkan nada.

Aku menempatkan posisi di balik pohon, tempat yang sekiranya tak terlalu terlihat orang lain, namun pasti mendapatkan pandangan yang sempurna. Perlahan musik mulai mengalun dari sumber suara. Kamu terlihat cukup gugup sampai –sampai wajahmu sangat serius, seperti lupa tersenyum. Santai saja, doaku untukmu, ucapku dalam hati. Lama-kelamaan, kamu bisa mengatasi kegugupan itu dan mulai menikmati permainan musikmu sendiri.

Aku hanyut. Bukan hanya karena merdumu. Kamu juga melambaikan tangan dan mengembangkan senyum termanis yang pernah kurasakan. Sampai aku menyadari, sepertinya ada seseorang lain yang memperhatikanku di tengah kerumunan ini. Aku melirik sekejap. Ah, kau. Kau dengan kameramu yang sedang mebidik arahku. Apa aku harus peduli? Kau yang bukan siapapun.


Sang Pengamat.

Lima belas menit perlahan berlalu dari waktu yang kujanjikan. “Sial,” rutukku dalam diam. Perasaan aku sudah berusaha menyelesaikan urusan ini secepat mungkin. Tapi yah, lima jam perdebatan tanpa ujung itu menyebalkan. Berurusan dengan orang lain memang selalu merepotkan. Sudahlah, yang penting sekarang aku benar-benar bisa keluar dari ruangan pengap itu.

Kupacu motorku dengan kecepatan maksimum yang pernah kucoba. Ah, bagaimana kalau aku terlambat? Bagaimana kalau pertunjukannya sudah selesai? Aku akan mengecewakanmu, sahabatku. Padahal kau ingin mempersembahkan penampilan perdanamu di panggung itu khusus untukku. Kado ulang tahunku yang jatuh tepat sejam yang lalu.

Sesampainya di lokasi, kuparkir motor sekenanya. Setengah berlari mencari sosokmu. Suaramu yang membahana di mana-mana membantuku: panggung. Mata kita bertemu. Kau melambaikan tangan ke arahku, tersenyum lebar. Aku tertawa, mengacungkan kedua jempol tangan. Dan kau, semakin semangat bernyanyi sambil memainkan keyboard. Kurogoh kamera di saku dan kuabadikan penampilanmu yang apik tersebut.

Tanpa sengaja, sekilas aku melihat ke arah lain. Di sudut itu, tak salah lagi. Kamu. Terpana memandang panggung seolah terkena mantra ikat tubuh sempurna. Tentu saja, aku tahu persis karena siapa. Tapi aku tak kuasa menahan tanganku untuk menekan tombol klik. Ya, kamu. Akhirnya. Tertangkap kamera.


Sang Pemusik.

Kalau kalian mau tahu, sekarang aku gemetar dari ujung rambut ke ujung kaki. Entah apakah pertunjukan nanti akan berjalan lancar atau tidak. Memikirkannya saja sudah membuatku panik dan mual. Latihanku cukup sih, tapi yang namanya penampilan perdana, pastilah rasanya berbeda. Apalagi ini untuk sahabatku. Untuk hari jadinya yang baru saja sejam berlalu.

Where are you?” gumamku tak putus-putus.

Sedari tadi aku belum mendapati wajahmu di antara kerumunan penonton. Kamu sudah bilang akan datang terlambat, tapi... ya semoga saja kamu masih sempat menyaksikan penampilanku lah. Aku tak mau hadiahku hanya dinikmati orang lain, sementara kamu, tujuan sebenarnya dari usahaku menghilangkan segenap demam panggung ini, justru tak mendapatkan apapun.

Sampai aku mulai memencet keyboard dan bernyanyi, mataku masih jelalatan mencari-cari kamu. Nah! Kamu datang juga! Walaupun sedikit ngos-ngosan dan berantakan, tak apa. Kulambaikan tangan dan tersenyum. Rasanya seperti ada energi baru menjalar dalam tubuhku. Mungkin kalian yang mendengarkan musikku akan merasakannya juga.

Aku bahagia. Hei, sahabatku, aku hanya butuh kamu dan keberadaanmu. Tunggu sebentar, rasanya ada suatu hal yang janggal. Kulihat kamu tiba-tiba terdiam, memakukan pandangan lurus-lurus ke satu arah dan mengangkat kameramu. Kuikuti pandangan itu. Astaga, ada kau. Bersembunyi di balik pohon. Menatap panggung lekat. Menatapku. Seketika perasaan tak enak menjalari nadiku.

Aku tahu yang kamu rasakan. “Maaf...”


Yogyakarta, 3001413.

No comments:

Post a Comment