Friday, February 15, 2013

Fiksionari #2 : Eril.


2013.
Detik-demi detik berlalu dalam keheningan di dalam otakku seperti biasanya, padahal ruang empat kali lima setengah ini sedang penuh dengan hiruk-pikuk manusia. Mataku memandangi sekujur ruangan samar-samar. Tak ada yang bisa kulakukan, ujarku dalam hati, yang muncul dalam sebentuk gerakan mengangkat bahu sambil menarik napas dalam-dalam. Menghembuskannya perlahan dengan tampang jemu. Kubuka netbook butut merahku, memastikan kabel panjang nan berbelit ini menancap dengan benar ke sumber daya karena tanpanya ia tak bisa hidup. Begitu layar berukuran sepuluh koma satu inci memancarkan tanda-tanda kehidupan, kuketikkan sebaris alamat dengan kefasihan yang sangat.
Klik.
...

2012.
Eril.
Bukan Erik.
Eril.
Nama yang indah. Sekilas ia berima seperti earl, layaknya gelar pangeran yang disandang seorang bangsawan. Kadang-kadang aku memikirkan nama teh earl grey juga, walaupun tentu saja tanpa abu-abu di belakang namanya. Sebenarnya aku mengetahui nama lengkapnya, dan tak ada unsur ‘Eril’ di sana.  Entahlah bagaimana asal mulanya aku merangkai empat huruf tersebut lalu menyusunnya acak menjadi namanya. Yang jelas aku suka menyebutnya demikian.
Aku berkenalan dengan Eril kurang lebih di bulan Oktober. Ya, di sebaris alamat yang selalu kuketikkan dengan kefasihan yang sangat itu, tempat satu-satunya ia bisa ditemui.  Dan ia seketika memikatku dengan kata-kata yang dituliskannya, lewat  berlembar-lembar kalimat berbalut sejuta metafora. Yang aku impikan, yang aku harapkan, yang aku dambakan. Sesederhana apapun, ia selalu berhasil memikatku ke dalam dunianya yang terang namun menyembunyikan luka menganga di balik semuanya. Setiap kali sejak yang pertama.
...

2012.
Terkadang, ada suatu waktu tatkala aku ingin melihat sosok nyata seorang Eril. Namun sepertinya itu hal yang mustahil. Jadi, aku selalu berakhir dengan merajut bayangan tentang Eril dalam dimensi imajinasi.
Di sana, tergambar seorang laki-laki dewasa muda. Mungkin usianya awal dua puluhan. Posturnya tinggi dengan badan ideal: tidak kurus kerontang seperti penyalah guna obat-obatan terlarang, tidak gemuk seperti beruang lupa diet. Kulitnya berwarna kecokelatan cerah layaknya wisatawan-wisatawan asing di Bali sehabis berjemur, tanpa terlihat terbakar sinar ultraviolet. Rambutnya yang kecil-kecil, tebal, jatuh, ringan, berpotongan pendek, rapih. Ia akan memiliki wajah bergaris tegas, hidung mancung, dan otot unik yang menampilkan garis di pipi kanan-kiri layaknya Uchiha Itachi ketika ia tertawa.
Seolah belum cukup, ia melengkapi citra misterius dirinya dengan senyuman penuh rahasia. Ditambah kaca mata yang membuatnya terlihat intelek bin cerdas, namun jika alat bantu baca itu dilepas, tampang ‘nakal’ ala mereka yang suka mempermainkan hati wanita akan mengejutkan kalian. Dewasa. Yang terpenting dari semuanya adalah kedua mata yang bersudut tajam, berwarna kelam, dan bermakna dalam.
Aku menghentikan imajinasiku. Mana ada manusia sebnear-benar yang aku inginkan seperti itu di dunia nyata? Apalagi jika ditambah tanpa minuman keras, tanpa asap yang mengepul dari mulut, dan tanpa meninggalkan Tuhan dalam kehidupan.
Luar biasa sempurna.
...

2013.
Sejak saat itu, aku terombang-ambing di atas perasaanku sendiri. Aku mendapati pikiranku kesulitan untuk menghapus gambaran-gambaran tentang Eril.
Gerbong cerita ini berjalan begitu cepat. Terlalu cepat, malah. Secepat perubahan yang terasa pada rasa yang aku rasakan terhadap Eril. Tak terasa nama-nama bulan sudah berputar silih berganti. Kalian tahu, kata orang-orang, jika ada perasaan aneh yang bertahan lebih dari empat bulan, itu berarti kalian telah siap untuk menamakan perasaan itu sebagai ‘cinta’.
Dan itulah yang aku rasakan.
Aku jatuh cinta.
Tunggu, apakah itu cinta?
Entahlah. Yang aku tahu pasti perasaan itu kutujukan untuk siapa.
Pada Eril.
  ...

2012.
Sudah berabad-abad lamanya sejak terakhir kali aku bertemu Eril. Setiap kali aku mengunjunginya, ia tak pernah ada. Tanpa kabar, sama sekali tidak ada berita. Eril menghilang. Tanpa jejak.
Ada seorang laki-laki yang berhubungan erat dengan Eril. Tidak, jangan berpikir hubungan yang terjadi pada mereka sejenis asmara sejenis alias homo. Aku tahu ada sesuatu yang... salah, antara mereka berdua.
Segala macam skenario buruk melintas di mimpiku.
Laki-laki itu pasti telah menculik Eril, menyekapnya dalam gudang memori yang pengap tanpa ia sempat sadar, berteriak atau membela diri. Ya, pasti begitu! Batinku kalut. Tidak! Laki-laki itu pasti telah membunuhnya.
Eril mati.
Tak peduli berapa kali aku memohon pada laki-laki itu untuk memanggil Eril kembali, ia bergeming, diam, nihil. Kini aku membara dalam kemarahan dan kesedihan, yang memaksaku untuk lari ke tengah hujan untuk meredakannya dalam tangis dan teriak tak kentara.
Laki-laki itu pencipta Eril.
...

Ril.
Aku rindu.
Tak tahu lagi bagaimana lubang kerinduan ini bisa tertutupi.
Walau dibiarkan terbuka, rasanya sesak.
Seolah perasaanku dibebat dari segala penjuru dan lukaku ditaburi garam.
Keberadaanmu yang tak nyata semakin menyiksa.
Laksana kalimatku sebelumnya: ada tapi tak bisa diraih.
...

2013.
Dari sudut ruangan yang sama denganku, laki-laki itu bangkit. Ia menyeret tasnya mendekat, mencari sesuatu di dalamnya. Sejurus kemudian ia melemparkan sesuatu ke arahku, yang masih berusaha meraih Eril di awang-awang.
Benda itu mendarat beberapa sentimeter di depan tempatku bersila. Aku memutar kedua bola mataku, mendongak. Menatapnya masih dengan pandangan sedih dan marah yang belum sempat dibuang dari pikiran.
“Untukmu.” Katanya sambil lalu. Dan ia pergi begitu saja meninggalkan ruangan yang kian berisik tak terkendali.
Aku meraih benda yang dilemparkannya tadi. Ternyata sebuah buku. Masih baru, terlihat dari plastik segel yang masih rapat melindunginya dari debu. Sampulnya hitam kelam, berhiaskan sebuah lambang putih berbingkai segi empat. Aksara-aksara yang ada juga semuanya putih. Aku membalik buku itu untuk melihat sampul depannya, dan selama sepersekian milidetik tersengat keterkejutan.
Eril!
Spontan kupeluk buku itu dengan air mata bahagia bercucuran. Rasa syukur menjalari seluruh pembuluh darahku, berkecamuk dalam gempita sukacita.
Kau masih hidup! Ia tak membunuhmu!
Eril, aku rindu!

Monumen sebuah akhir.
Karena fiksi merupakan terjemahan bebas dari realita.
Yogyakarta, 150213.

No comments:

Post a Comment