Saturday, August 3, 2013

Fiksionari #6 : Radama.



Bruk.
Ia jatuh. Tersungkur dengan luka di kepala dan simbahan darah di mana-mana.

Satu.
Do you have any memorable place?
Sepenggal lokasi spesifik yang dipenuhi ingatan-ingatan masa lalu. Kenangan yang terus menancap kuat di otakmu tahun demi tahun. Yang walaupun tempat itu kelak tak lagi eksis di dunia, tetap saja kamu tidak bisa menghapusnya begitu saja.

I do have one.
Kalau kamu pergi ke alun-alun kota ini, mampirlah ke sayap barat, bagian yang persis menghadap stadion di seberangnya. Di sana, kamu akan menemukan tiang-tiang lampu jalanan. Pilihlah tiang lampu ke dua dari selatan. Benar, yang menyediakan bangku besi bercat cokelat di sisi kirinya. Bangku itu biasa diduduki orang-orang yang menunggu bus ke kota sebelah.

Tempat hatiku tertambat tiga tahun lampau.


Dua.
Jarum-jarum mungil dalam arlojiku menunjukkan pukul lima sore. Kusandarkan punggungku di bangku cokelat, sembari menerawang jauh ke cakrawala. Sepenggal jingga akan segera menutup senja, menggantinya dengan malam, entah berbintang atau tidak. Di jam-jam seperti ini, biasanya lampu di seluruh tiang akan mulai menyala. Otomatis. Mungkin mereka telah menggunakan sensor cahaya atau apalah, yang akan membuat lampu berpijar saat matahari tak lagi berjaya, juga mati ketika sang Surya beranjak dari peraduan. Teknologi. Paling tidak aku tak perlu mendapati nyala lampu di siang hari lagi seperti beberapa tahun lalu.

Sebuah rangkulan dari belakang leher membuyarkan lamunanku.
“Hai,” sapaku.

Di sebelahku,kini duduk sesosok lelaki dengan senyum termanis di dunia.
“Aku tak akan membuatmu menunggu,” katamu, mengiringi pelukan erat yang terlalu hangat.
“Ah, Dam…”


Tiga.
Radama dan aku bertemu beberapa tahun lalu di tiang lampu itu. Aku tengah menjalani rutinitasku mengitari alun-alun setiap sore, sementara ia sedang menanti datangnya bus antar kota terakhir yang biasanya tiba pukul enam. Dan, seperti biasanya alam semesta berkonspirasi mewujudkan apa yang sering kita sebut sebagai ‘kebetulan’, mata kami bertemu. Senja itu kami lewatkan denganberbagi cerita. Ia kuliah di sini, di sebuah kampus elit agak di pinggir kota. Menekuni ilmu tentang pikiran dan perilaku. Karena jarak kampus dan kotanya tanggung, ia memutuskan untuk pulang hanya sekali seminggu.

Hal pertama yang mengusikku adalah namanya. “Mengapa harus Radama?”
“Ada yang salah dengan itu?” ia mengerutkan kening.
“Tidak. Hanya tak lazim saja. Mengapa bukan Ramadan? Bukan Damar? Untuk orang-orang seperti aku, risiko salah menyebut namamu cukup besar.”
Radama tertawa. “Itu berarti namaku unik, bukan? Dan untuk orang-orang sepertimu, risiko melupakan namaku akan menjadi kecil.”tuturnya percaya diri.

Aku tersipu.
Begitulah. Setiap Jumat kami berjanji bertemu di tempat yang sama, sebelum bus benar-benar datang dan membawanya pulang ke kota sebelah. Semakin hari, hadirnya Radama membuat perasaanku semakin tak terdefinisi.


Gadis itu tak pernah menyadari pandangan prihatin orang-orang yang lalu-lalang di alun-alun sebelah barat, di seberang stadion, yang tanpa sengaja melewatinya, mengamatinya, membicarakannya ketika ia duduk di bangku cokelat di sebelah tiang lampu kedua dari selatan.

“Kasihan sekali gadis itu. Tiga tahun lalu kekasihnya mati di sana. Ya, di tiang lampu itu. Terjebak kerusuhan supporter dua kesebelasan yang sedang bertanding selagi menunggu bus yang biasa membawanya pulang ke kota sebelah…”



Ditulis selepas sahur untuk manusia pertama yang membuatku mati-matian bersembunyi di balik rindu.
‘Radama ‘ diambil dari nama seorang kakak kelas sewaktu SMA, yang selalu jadi sangar setiap aku salah melafalkan namanya.

Terima kasih untuk Adam Maulana atas ilustrasinya :)
Mantingan, 180713.

No comments:

Post a Comment