Thursday, April 11, 2013

Fiksionari #4 : Menyejajarkan Cerita.


Kamu adalah laki-laki ter-aneh yang pernah kukenal. Pertama kali bertemu, apa yang terlintas dalam otakku adalah, “Nggak rapi banget sih, Mas.” Waktu itu kamu memakai celana jeans biru, kaos yang sedikit kekecilan –terlihat dari panjangnya yang bahkan tidak menutupi risleting celana—ditambah jaket warna hitam. Semuanya, dibarengi wajah hati yang memanjang terutama di bagian dagu dan bulu halus di mana-mana mulai dari kumis, sedikit jambang. Belum lagi rambut sedikit ikal yang tidak karuan bentuknya, entah panjang atau pendek. Komedo bertebaran di pucuk hidungmu, warna putih yang sangat kontras dengan kulit hitammu hasil panggangan terik matahari. Kalau dilihat sekilas saja, mirip dengan om-om. Tanpa rokok, baguslah, lebih baik begitu. Namun, segala atribut sangar itu mendadak berubah ketika melihat caramu berjalan dan berdiri. Astaga, sedikit seperti perempuan. Sama sekali tidak sesuai. Padahhal, aku tahu kamu dulunya salah satu anggota pasukan pengibar bendera. Tak hanya tingkat sekolah, tetapi tingkat kota. Hal itu membuatku berimajinasi dengan liar tentang potongan rambutmu yang pastinya dulu dicepak habis sehingga hampir botak, jenis potongan rambut yang sangat aku benci selain gondrong tarzan alias gondrong ndeso alias gondes. Beda-beda tipis dengan tuyul.
...
Kamu adalah gadis terunik yang pernah kutemui. Pertama kali, aku tertarik dengan penampilanmu dengan seragam putih abu-abu itu. Kemeja kebesaran, rok sepanjang tiga perempat kaki, kacamata merah dan rambut kuncir kuda. Aku ingat betapa hampir semua orang memperkarakan rokmu yang menurut mereka terlalu panjang, mengingat rata-rata temanmu mengenakan rok sepanjang lutut saja. Akan tetapi, kamu selalu dengan polos menarik sedikit rokmu itu, lalu memperlihatkan lututmu yang ternyata hanya berjarak kurang lebih dua sentimeter dari panjang rokmu. “Orang lututku di sini,” katamu selalu. Di luar itu, kamu adalah gadis berpenampilan sedikit tomboi. Celana selutut dipadu kaos oblong plus sandal jepit serta jepit rambut kamar mandi, seperti itulah tampakmu sehari-hari. Paling-paling, ketika ada acara yang mengharuskan kamu tampil sedikit rapih, celana panjang jeans menjadi pilihanmu. Cuek. Belum lagi cara berjalan dan berdirimu yang membuatmu makin mirip laki-laki. Untunglah rambutmu panjang, sehingga kesan perempuan tetap ada walaupun sedikit.
...
Kamu adalah laki-laki yang lain daripada yang lain. Aku ingat pertama kali berkunjung bersama sahabatmu. Ibumu menyambut kami, lalu mempersilakan kami naik ke lantai atas, tempat kamarmu berada. Aku sempat canggung, apa iya aku harus masuk ke kamar, tapi beliau berkata “Naik saja,” jadilah aku mengikuti sahabatmu ke atas. Ternyata kamu masih terlelap di atas lantai kayu beralaskan karpet merah, dan kami terpaksa membangunkanmu. Saat itu, aku memperhatikan kamarmu yang berantakan. Di satu sisi, ada lemari kayu kecil tempat menyimpan komik. Selain telepon rumah, di atasnya bertengger properti-properti cosplay seperti sayap, topeng, kostum, dan lain sebagainya. Rupanya kamu menyukai hal-hal berbau Jepang. Bukan hanya cosplay tapi juga anime, manga, dan kawan-kawannya. Di sudut lain, tergeletak laptop serta perlengkapannya. Lalu, di dekat jendela, terdapat rak yang penuh berisi berbagai macam cat, kuas, buku sketsa, lem, paku, penggaris, pensil dengan berbagai tingkat kekerasan dan ketebalan goresan. Mau tak mau aku jadi memperhatikan salah satu dinding yang tak lagi putih bersih: kamu telah melukis sosok seorang wanita di permukaannya. Hanya saja, lukisan itu belum sempurna. Menurutku, gaya lukisanmu semacam gothic, cukup gelap dan misterius. Lain waktu, aku menemukan fakta bahwa kamu terampil mengutak-atik kayu. Dengan gergaji, kikir, amplas, kamu bisa membuat apa saja dengan bahan tersebut. Bakat itu sepertinya turun dari ayahmu, yang memang memiliki hobi berkaitan dengan kayu. Tangga, kursi, meja, pintu, semua yang berbahan kayu di rumahmu diukir dengan indah. Agaknya, kamu memang menyukai segala sesuatu yang berbau prakarya. Kamu pernah mengkreasi  pajangan dari adonan clay buatan sendiri, mengubah kertas biasa menjadi pembatas buku berbentuk hati dengan anyaman yang tak kumengerti bangaimana membuatnya. Serta tentu saja, memberikanku buket origami tujuh mawar yang rumit dan indah, berpadu kawat yang mengikatnya dengan dua abjad.
...
Kamu adalah gadis paling mandiri yang pernah aku tahu. Terus terang, aku terkejut ketika mengetahui kamu tinggal sendirian di kota ini. Ya, kamu kos. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana gadis sekecil kamu berani tinggal jauh dari orang tua, sesuatu yang tidak terpikirkan olehku. Ternyata, kamu memang selalu berkeinginan untuk menempuh pendidikan di kota yang berbeda di setiap jenjang. Harus semakin jauh, begitu prinsipmu. Hal ini kamu rintis sejak sekolah menengah pertama. Kamu memutuskan bersekolah di kabupaten tetangga, yang berjarak kurang lebih tujuh belas kilometer dari desa tempatmu tinggal. Perjalanan selama kurang lebih setengah jam sampai empat puluh lima menit biasa kamu tempuh sebelum berkutat dengan pelajaran, kelas unggulan, dan les. Jadilah setiap hari kamu berangkat pukul lima pagi, kemudian menginjakkan kaki lagi di rumah pukul setengah tujuh malam. Sekarang, kamu bersekolah di kotaku, suatu keputusan yang mau tak mau membuatmu harus tinggal di kos karena perjalanan satu setengah jam dengan bus terlalu melelahkan untuk ditempuh dalam keseharian. Otomatis, kamu harus mendisiplinkan dirimu dalam manajemen waktu belajar, makan, serta keuangan. Lalu, seminggu sekali,aku akan mengantarmu ke terminal  bus untuk pulang kampung. Sungguh, kamu sangat berbeda dengan diriku. Sejak lahir sampai sekarang, aku belum pernah tinggal lama di luar kota tempatku lahir, besar, dan tinggal. Dan, terus terang saja, aku, walaupun laki-laki, sangat anak rumahan. Bahkan, saking tidak pernah keluar dari kamar, teman-temanku terkadang menyebutku anak kamaran. Salut.
...
Aku selalu terjebak dalam akhir. Ya, aku tidak pandai menciptakan jarak. Akan tetapi, jarak itu ada dengan sendirinya, memisahkan kita hingga jauh. Terlalu jauh, lama kelamaan. Dan tanpa komunikasi yang benar, diam kita menjadi kenyataan. Kalau boleh jujur, aku kehilangan sosok yang selalu... ada. Seseorang yang bisa diajak bicara tentang apa saja, berjalan-jalan ke mana saja. Seseorang yang tahu benar saat-saat aku marah, sedih, gembira, dan bisa merasakannya dari kejauhan sekalipun. Seseorang yang akan menenangkanku ketika dunia berhasil menjatuhkanku. Tahu tidak, aku bertekad akan memulai hal-hal baru di di tempat baru ini, yang semakin berjarak. Dan aku rela melepas semua yang ada di belakang. Termasuk kamu. Kenyataannya, aku merasa... sendirian. Aku belum menemukan seseorang yang tepat untuk kujadikan penjagaku. Sementara itu, kamu berubah drastis menjadi berlipat-lipat kali lebih baik. Lalu, apakah aku menyesal? Tidak juga. Hanya saja, kadang-kadang, aku memang membutuhkan sosok sepertimu. Masalahnya kamu masih ada di sana, berdiri di tempat yang sama. Bertekad akan terus menjagaku. Katamu ikatan batinmu denganku sudah terlulu kuat, entahlah. Kamu masih selalu tahu kapan aku marah, sedih, dan gembira. Kamu masih selalu rajin meyanyakan kabarku, memastikan aku baik-baiik saja. Kamu masih selalu panik dan memaksakan diri menempuh perjalanan jauh untuk menemuiku jika kamu merasa ada sesuatu yang salah denganku. Sayangnya, dalam kamusku, tidak ada kata kembali.Menjadikanmu backup pun bukan pilihan karena hal itu membuatku merasa hina telah membalas perlakuanmu yang sedemikian baik dengan air tuba.
...
Aku tahu kini tidak ada lagi kita. Hanya ada aku. Hanya ada kamu. Kita adalah satu yang telah berakhir menjadi dua. Mengambil bentuknya masing-masing serta berdiri sendiri-sendiri. Aku tahu kamu ingin pergi, kamu selalu ingin bertualang menjelajah tempat-tempat baru. Hati-hati baru untuk mengisi harimu yang selama ini terlalu suram. Dan, aku bisa mengerti. Entahlah. Aku selalu merasa aku telah menemukan seseorang yang tepat untukku dalam sosokmu, namun sayangnya kamu tidak merasakan hal yang sama dengan apa yang aku rasakan. Aku banyak berubah ke arah yang lebih baik juga karena kamu. Tak masalah. Aku cukup senang bisa terus menjagamu. Masalahnya, kamu jauh. Jadi hanya sedikit hal yang bisa kulakukan untuk menjagamu di antara kilometer yang memisahkan kita ini. Dengan cara percaya pada perasaan, tentu saja. Sebenarnya, aku juga tidak begitu paham bagaimana caranya aku selalu bisa menebak keadaanmu di sana. Yang aku tahu, kamu bahagia dengan lingkungan, teman-teman, serta kegiatan barumu. Namun, memang pada dasarnya belum ada seseorang yang pantas untuk mengawalmu, karena apa yang mereka tahu tentang dirimu tidak sampai sepuluh persen. Kamu pandai menutupi dirimu yang asli dengan senyum sedihmu yang selalu membuatku gemas itu.  Hanya saja, ketika ada masalah yang menimpamu dan aku tahu kamu membutuhkan seseorang untuk membagi luka itu... aku tak selalu bisa ada di sana bersamamu. Dan aku sangat menyesal karenanya. Maaf. Lagi-lagi karena jarak. Seandainya bisa, tentu saja aku dengan senang hati datang. Yang aku bisa sekarang adalah memaksa diriku untuk bertahan dalam situasi seperti ini, hanya bisa mengunjungimu sesekali. Itu saja harus menyesuaikan dengan jadwalmu yang luar biasa padat. Masa bodohlah. Dan, andai kamu tahu...  ya, aku rindu.



Ketika muntah tiga kali seharian ini tidak membuatku bisa terlelap dengan mudah.
Ditulis berteman alunan trio lagu The Script: The Man Who Can’t be Moved, Nothing, dan Six Degrees of Separation.
Rasanya seperti patah hati.
Yogyakarta, 110413.

No comments:

Post a Comment