Hei P.
Sudah lama sekali rasanya sejak terakhir kali aku datang pagi-pagi dan
memulai ritual yang kurasa sangat mirip maling. Membuka jendela, mengambil
kunci, lalu membuka pintumu. Setelah menaruh tas merahku di salah satu sisi,
menghela napas, geleng-geleng kepala, biasanya aku akan menyingsingkan lengan
bajuku untuk—apa ya istilahku—berusaha mengembalikanmu ke bentuk semula.
Membersihkan sisa-sisa kehidupan semalam yang selalu tercecer di berbagai
sudut, bertebaran di setiap petak. Mengembalikan barang-barang yang entah
mengapa selalu betah keluar dari tempatnya. Membuang botol-botol serta bungkus
makanan yang masih tertinggal di bangku depan. Ketika semuanya selesai, aku
akan meraih gitar, mencoba menggenjrengkan beberapa nada sumbang. Atau mengerjakan
secara mendadak tugas yang baru saja aku ingat. Atau sekedar berbaring untuk
merasakan dinginmu. Sampai seseorang dengan sepeda yang biasanya mandi pagi di
kampus datang dan aku merasa akan ada yang lain yang akan menjagamu, aku pergi.
Hei P.
Aku ingat dulu aku begitu terikat denganmu. Pertama kali aku
menyambangimu, dan besok-besoknya aku selalu kembali. Lagi dan lagi. Tanpa
jenuh, tanpa bosan. Entah apa yang bisa membuatmu memiliki hawa ‘rumah’ yang
begitu besar. Membuatku betah berlama-lama di sana, sampai kadang kelewat malam
dan diusir-usir satpam supaya lekas pulang. Ada saja yang bisa kulakukan selagi
aku terperangkap dalam dinding-dindingmu, di bawah atapmu. Berteduh saat hujan.
Beristirahat, mengganti mata yang semalam kurang lelap tidurnya. Membaca
deretan buku folio berisi sejuta cerita dari kejayaanmu sepanjang masa. Ada
saja. Apa saja. Dan aku sudah lupa bagaimana semua itu rasanya.
Hei P.
Awalnya aku mengira kamu adalah ‘rumah’ yang selama ini aku cari. Tapi
ternyata, di tengah jalan, di saat aku sudah begitu yakin akan menemukan
‘rumah’ itu di dalam sosokmu, aku patah hati. Ya, sejak semakin banyak yang
merasakan kenyamanan bersamamu. Aku merasa... lama-kelamaan kamu menjadi
terlalu berbeda. Jauh dari apa yang aku impikan dan aku harapkan. Aku tidak
pernah benar-benar tahu apa sebabnya, yang jelas aku tak lagi menemukan
kenyamanan lagi bersamamu. Apa kamu menolakku karena aku tak pantas ada di
dalammu? Menjadi bagian darimu? Atau memang kamu sudah penuh sesak oleh orang-orang
hebat lalu aku tak cukup baik untuk termasuk ke dalam mereka? Ah ya, mungkin
selain kamu yang menjadi terlalu berbeda, rasa memilikimu-lah yang akhir-akhir
ini tercerabut se-akar-akarnya dari otakku. Tak lagi ada. Kalau dulunya aku
merasa memiliki tapi tidak dimiliki, sekarang dua-duanya lantang berkata
‘tidak’ dan mencuat ke permukaan.
Hei P.
Disampaikan dengan
sejuta cinta dari jarak yang dekat tapi cukup memisahkan,
A.
No comments:
Post a Comment