Saturday, March 16, 2013

P.



Hei P.

Sudah lama sekali rasanya sejak terakhir kali aku datang pagi-pagi dan memulai ritual yang kurasa sangat mirip maling. Membuka jendela, mengambil kunci, lalu membuka pintumu. Setelah menaruh tas merahku di salah satu sisi, menghela napas, geleng-geleng kepala, biasanya aku akan menyingsingkan lengan bajuku untuk—apa ya istilahku—berusaha mengembalikanmu ke bentuk semula. Membersihkan sisa-sisa kehidupan semalam yang selalu tercecer di berbagai sudut, bertebaran di setiap petak. Mengembalikan barang-barang yang entah mengapa selalu betah keluar dari tempatnya. Membuang botol-botol serta bungkus makanan yang masih tertinggal di bangku depan. Ketika semuanya selesai, aku akan meraih gitar, mencoba menggenjrengkan beberapa nada sumbang. Atau mengerjakan secara mendadak tugas yang baru saja aku ingat. Atau sekedar berbaring untuk merasakan dinginmu. Sampai seseorang dengan sepeda yang biasanya mandi pagi di kampus datang dan aku merasa akan ada yang lain yang akan menjagamu, aku pergi.



Hei P.

Aku ingat dulu aku begitu terikat denganmu. Pertama kali aku menyambangimu, dan besok-besoknya aku selalu kembali. Lagi dan lagi. Tanpa jenuh, tanpa bosan. Entah apa yang bisa membuatmu memiliki hawa ‘rumah’ yang begitu besar. Membuatku betah berlama-lama di sana, sampai kadang kelewat malam dan diusir-usir satpam supaya lekas pulang. Ada saja yang bisa kulakukan selagi aku terperangkap dalam dinding-dindingmu, di bawah atapmu. Berteduh saat hujan. Beristirahat, mengganti mata yang semalam kurang lelap tidurnya. Membaca deretan buku folio berisi sejuta cerita dari kejayaanmu sepanjang masa. Ada saja. Apa saja. Dan aku sudah lupa bagaimana semua itu rasanya.



Hei P.

Awalnya aku mengira kamu adalah ‘rumah’ yang selama ini aku cari. Tapi ternyata, di tengah jalan, di saat aku sudah begitu yakin akan menemukan ‘rumah’ itu di dalam sosokmu, aku patah hati. Ya, sejak semakin banyak yang merasakan kenyamanan bersamamu. Aku merasa... lama-kelamaan kamu menjadi terlalu berbeda. Jauh dari apa yang aku impikan dan aku harapkan. Aku tidak pernah benar-benar tahu apa sebabnya, yang jelas aku tak lagi menemukan kenyamanan lagi bersamamu. Apa kamu menolakku karena aku tak pantas ada di dalammu? Menjadi bagian darimu? Atau memang kamu sudah penuh sesak oleh orang-orang hebat lalu aku tak cukup baik untuk termasuk ke dalam mereka? Ah ya, mungkin selain kamu yang menjadi terlalu berbeda, rasa memilikimu-lah yang akhir-akhir ini tercerabut se-akar-akarnya dari otakku. Tak lagi ada. Kalau dulunya aku merasa memiliki tapi tidak dimiliki, sekarang dua-duanya lantang berkata ‘tidak’ dan mencuat ke permukaan.



Hei P.




Disampaikan dengan sejuta cinta dari jarak yang dekat tapi cukup memisahkan,

A.


No comments:

Post a Comment