Mungkin hanya satu orang di dunia
ini yang begitu menekankan detail pada hierarki dalam setiap pemberitahuan yang
singgah di layar mungil miliknya. Ia benar-benar rela menghabiskan--meluangkan,
baginya—waktu untuk mengorganisir sedemikian rupa tingkatan tersebut,
memisahkan, mengelompokkan, dan menandainya. Dengan simbol-simbol yang hanya ia
sendiri mengerti.
Lambang pesan. Suara dering. Kedip warna.
Tertinggi dari semua, ialah
seseorang yang bertanda kotak dialog kecil berhias sebentuk wajah tersenyum.
Tentu saja, berlatar warna cintanya, merah menyala serupa kedip warnanya. Tak
hanya itu, ia menyimpannya rapat-rapat dalam lokasi khusus : sebuah kotak yang
walau berdebu masih memberi rasa aman bagi pesan-pesan itu bersemayam. Entah
apapun isinya. Tertutup, terkunci, tersegel. Dengan deretan angka yang hanya ia
sendiri mengerti.
...
Pertama kali layar itu menyala
demikian ketika ia berada di kota lain. Mengantarkan sebentuk ucapan terima
kasih. Selanjutnya, layar itu menyala demikian ketika ia berada dekat. Hanya
untuk menginformasikan hal-hal yang harus dilakukan dan dipastikan. Terakhir
layar itu menyala demikian sepulang ia dari tempat yang jauh. Menanyakan
keberadaan seseorang yang sedang bersamanya. Memang, memang semuanya adalah
pesan-pesan biasa. Namun untuknya, setiap kesempatan terlalu istimewa untuk
dilewatkan. Dengan alasan yang hanya ia sendiri mengerti.
...
Sudah lama sekali sejak layar itu menyala bersama segalanya.
Dan ia tak pernah menanti. Mengharap. Atau mengawali. Agar
nyalanya kembali lagi.
Yogyakarta, 080113.
No comments:
Post a Comment