Ah, hujan memang terlalu pengertian. Selalu begitu.
Tapi kali ini... lain.
Aku berkeras melawan daya tarik ruang itu. Tempat biasaku
membiarkan waktu berjalan lambat, dalam hampa di tengah segala hiruk pikuk yang
tak pernah berlalu.
Menghindari tatap ingin tahumu. Dari balik jendela hati yang
tak pernah kau buka.
Sementara aku di sebelah, berpaling. Tak mau tahu. Atau
peduli.
Perasaan ini telah menyesatkanku. Dan ikatan irasional yang
telah kujalin perlahan, rapi, sulit ini ingin juga kuterbangkan. Biar tertiup
angin, biar risauku mengalir. Tak perlu kembali.
...
Terlalu deras. Dan lama.
Kuputuskan untuk berlari. Terus dan terus. Menyibak hantaman
basah dari segala penjuru. Karena bagi apa yang ada di dalam diriku, sesuatu
yang bisa merasa itu, sedikit saja tak sepadan.
Ketika lalu aku jatuh terduduk. Menundukkan wajahku, malu
pada air mata yang jatuh. Memeluk diriku sendiri, sadar kerapuhan macam apa
yang kujelang.
...
Sejak kapan kau ada di situ, bersila dalam keterdiaman yang
sekarang kian menyiksa? Aku tak akan bilang apa-apa.
Ternyata hanya sejenak. Kau beranjak tanpa suara, meluapkan selaksa
makna yang tak pernah kumengerti.
Tanpa sadar aku mendongak. Dan akhirnya, penggalan kata-kata
itu terlontar juga. Terbata.
Aku.
“Tinggallah. Di sini. Sebentar.”
Tapi kau tak menunggu. Raib. Pergi begitu saja. Meninggalkan
sepasang mataku jauh dalam pengharapannya yang sia-sia. Diikuti senyuman yang
getirnya tak terlukiskan.
...
Suatu pagi yang cerah, dengan berat hati, aku kembali ke
ruang itu. Benar-benar sendiri, berharap akan kelapangan. Kuamati setiap
jengkalnya, kupatri dalam memori. Sudah, tak ada lagikah? Aku bersiap. Lalu
terkesiap.
Pandanganku tertuju pada sebuah potret. Sosok yang sama
seperti yang kusimpan, dengan beberapa detail perubahan.
Kau.
Kuulurkan tanganku untuk menggapainya. Kuamati. Seksama. Dan
kuserahkan potret itu pada lantai. Tutup
pintu. Melarikan diri.
Potret itu... adalah bagian masa lalumu. Yang kini kucoba
jadikan masa depanku.
...
Bukankah tak masalah jika satu impian tak pernah menjadi
kenyataan?
Lihat, dengar, rasakan.
Semoga di kala yang akan datang, aku diberi anugerah untuk bertahan. Untuk
menyentuh kotakmu, meniupnya dari lukisan debu. Menjaganya sampai jumpa garis
akhir. Hanya jika kita ditakdirkan bertemu tanpa persimpangan arah : beralaskan
prasangka belaka.
Bodoh. Bodoh. Bodoh!
...
Sekali lagi air mataku turun saat menyelesaikan lembaran
ini. Hanya supaya ia tak lagi kosong.
Terima kasih. Aku sudah lupa bagaimana awalnya. Kebodohanku
saja yang masih, lagi-lagi, tertinggal.
SUDAH!
Yogyakarta, 011212.
No comments:
Post a Comment