Sunday, December 2, 2012

Lembaran Cerita yang Tak Lagi Kosong.


Ah, hujan memang terlalu pengertian. Selalu begitu.

Tapi kali ini... lain.

Aku berkeras melawan daya tarik ruang itu. Tempat biasaku membiarkan waktu berjalan lambat, dalam hampa di tengah segala hiruk pikuk yang tak pernah berlalu.

Menghindari tatap ingin tahumu. Dari balik jendela hati yang tak pernah kau buka.
Sementara aku di sebelah, berpaling. Tak mau tahu. Atau peduli.

Perasaan ini telah menyesatkanku. Dan ikatan irasional yang telah kujalin perlahan, rapi, sulit ini ingin juga kuterbangkan. Biar tertiup angin, biar risauku mengalir. Tak perlu kembali.

...

Terlalu deras. Dan lama.

Kuputuskan untuk berlari. Terus dan terus. Menyibak hantaman basah dari segala penjuru. Karena bagi apa yang ada di dalam diriku, sesuatu yang bisa merasa itu, sedikit saja tak sepadan.

Ketika lalu aku jatuh terduduk. Menundukkan wajahku, malu pada air mata yang jatuh. Memeluk diriku sendiri, sadar kerapuhan macam apa yang kujelang.

...

Sejak kapan kau ada di situ, bersila dalam keterdiaman yang sekarang kian menyiksa? Aku tak akan bilang apa-apa. 

Ternyata hanya sejenak. Kau beranjak tanpa suara, meluapkan selaksa makna yang tak pernah kumengerti.

Tanpa sadar aku mendongak. Dan akhirnya, penggalan kata-kata itu terlontar juga. Terbata.

Aku.
 “Tinggallah. Di sini. Sebentar.”

Tapi kau tak menunggu. Raib. Pergi begitu saja. Meninggalkan sepasang mataku jauh dalam pengharapannya yang sia-sia. Diikuti senyuman yang getirnya tak terlukiskan.

...

Suatu pagi yang cerah, dengan berat hati, aku kembali ke ruang itu. Benar-benar sendiri, berharap akan kelapangan. Kuamati setiap jengkalnya, kupatri dalam memori. Sudah, tak ada lagikah? Aku bersiap. Lalu terkesiap.

Pandanganku tertuju pada sebuah potret. Sosok yang sama seperti yang kusimpan, dengan beberapa detail perubahan. 

Kau. 

Kuulurkan tanganku untuk menggapainya. Kuamati. Seksama. Dan kuserahkan potret itu  pada lantai. Tutup pintu. Melarikan diri.

Potret itu... adalah bagian masa lalumu. Yang kini kucoba jadikan masa depanku.

...

Bukankah tak masalah jika satu impian tak pernah menjadi kenyataan?

Lihat, dengar, rasakan.

Semoga di kala yang akan datang, aku diberi anugerah untuk bertahan. Untuk menyentuh kotakmu, meniupnya dari lukisan debu. Menjaganya sampai jumpa garis akhir. Hanya jika kita ditakdirkan bertemu tanpa persimpangan arah : beralaskan prasangka belaka.

Bodoh. Bodoh. Bodoh!

...

Sekali lagi air mataku turun saat menyelesaikan lembaran ini. Hanya supaya ia tak lagi kosong.

Terima kasih. Aku sudah lupa bagaimana awalnya. Kebodohanku saja yang masih, lagi-lagi, tertinggal. 

SUDAH!

Yogyakarta, 011212.

No comments:

Post a Comment