Tuesday, January 21, 2014

Tentang Pagi Itu.

"Ana acara ra suk esuk?"
"Free. Ngopo Mas?"
"Jare meh ketemu."
"Lha iki lho aku selo, hoho."
"Yo ayo nandi?"

Sms yang bermula malam sepulang aku operasional dan berlanjut pagi harinya karena pending itu membuahkan pertanyaan lagi dan lagi. Hahaha. Bukan apa-apa, selama ini setiap rencana kami selalu berakhir sebagai wacana belaka. Gagalnya rencana untuk sekadar keluar, main, dan mengobrol tersebut umumnya disebabkan dua hal: jadwal kegiatanku yang (menurutnya) 'ra selo tenan' dan ke-mager-an dia yang (menurutku) keterlaluan. Entahlah. rasanya sulit sekali mewujudkan rencana tersebut, padahal ya hanya acara sederhana.

Pagi itu masih berlanjut dengan kebingungan dalam menentukan di mana lokasi pertemuan. Masalahnya, karena lambungku belakangan bermasalah, aku harus sarapan. Nah, sulit sekali menemukan tempat makan yang menyediakan sarapan jam-jam segitu kecuali burjo. Opsi lainnya ketemu di kampus. Astaga, rajin amat ke kampus padahal ini sudah masuk masa liburan. Yah, akhirnya kami memutuskan makan di lembah saja (yang notabene masih di lingkungan kampus juga, apa sih maunya kami ini?).

Aku memilih tempat duduk di bawah pohon dan memesan lontong opor. Beberapa menit kemudian ia datang dengan motor merahnya. Hari itu ia mengenakan kemeja flanel berwarna pastel gabungan putih tulang dan cokelat muda dipadu celana jeans biru plus sandal jepit Joger hitam. Ah, postur tubuhnya yang memang bagus itu membuatnya pantas dipasangi baju apapun. Apalagi kemeja flanel ini, favoritku lah, walaupun katanya baju ini ia beli di awul seharga hanya empat puluh ribu rupiah.

Aku menyerahkan dua bungkus keripik tempe khas Mantingan dalam tas kecil kuning untuknya. Bukan sesuatu yang khusus, tahu-tahu ingin membawakannya saja. Untung saja aku terpikir memasukkannya dalam tas kecil itu, semacam sudah menduga ia hanya akan membawa badan dan motornya saja. Matanya berbinar saat mengucapkan terima kasih, lalu ia membuka bungkusan pertama dan langsung melahap beberapa biji keripik. Demi menemaniku sarapan, ia memesan mi dan teh hangat. Sembari makan, bergulirlah cerita-cerita kami. Ia baru saja pulang dari Pulau Dewata bersama rombongan keluarga besarnya. Bukan untuk berwisata, melainkan menghadiri pernikahan salah satu saudaranya yang ada di sana. Ternyata, keberagaman agama yang ada di keluarganya bukan sekadar cerita kosong. Di sana, katanya, adatnya masih sangat kental. Ia menceritakan dengan detail segala prosesi pernikahan Hindu yang ia saksikan, membuatku benar-benar iri. Aku sebenarnya juga memiliki saudara di Bali, akan tetapi seluruhnya beragama Katolik. Jadi ketika mereka menikah pun, prosesinya secara Katolik (yang sudah sering aku saksikan).

Lucunya ia juga mengalami masalah lambung sepulang dari Bali itu. Gara-gara selama perjalanan makannya berantakan, sampai rumah ia justru muntah-muntah dan lain sebagainya. Alhasil, nafsu makannya ikut menghilang karena setiap makan dan minum selalu keluar lagi. Akhirnya ibunya berinisiatif membelikan pisang untuk ganti nutrisinya, untung dengan buah itu ia berjodoh, hahaha. Karena sakitnya itu, ia baru sehat dan keluar rumah lagi Sabtu sebelum kami bertemu.

Sebenarnya, masih banyak hal yang kami bagi pagi itu, percakapan yang membuat waktu terasa sangat cepat berlalu. Tahu-tahu sudah menjelang tengah hari. Ia harus pulang untuk menjemput ibunya di sekolah.

Sebelum pulang, ia memberikan oleh-oleh dari Bali: carabiner mini bermotif bunga-bunga yang sangat cantik dan pin merah.

Ah, berjuta terima kasih, Selow Man :)


Pagi itu adalah Senin, 200114.

1 comment: