Monday, December 16, 2013

Balada Tebing-Langit.

Satu.
Konon katanya, Tebing jatuh cinta pada Langit.

Dua.
Mengapa di setiap cerita picisan sambil lalu selalu ada pahit yang terkecap? Sekokoh, setangguh, setinggi apapun Tebing, ia masih terlalu jauh untuk menggapai kaki Langit. Ya, Langit maha luas dan berkuasa atas segala sesuatu. Termasuk hidup Tebing.

Tiga.
Langit tahu Tebing tak bisa menggapainya. Maka, langit mengirimkan hujan sebagai pembawa pesan. Perantara rindu. Deras tanpa henti.

Empat.
Sayangnya, Tebing tidak tahu maksud Langit. Langit bicara dengan cara yang tidak ia mengerti.

Lima.
Seperti Tebing yang tergantung pada kata Langit. Jika langit berniat menumpahkan segalanya, bisa apa ia? Ia hanya menumpahkan pasrah pada basah.

Enam.
“Hujan, berhentilah menyeka keningku. Aku sudah sangat paham tentang apa yang akan kau ungkapkan. Derasmu, tak selama hal lain yang kutunggu.”

Tujuh.
Hujan itu menggerogoti tubuh Tebing. Ia menangis seiring waktu sampai ia tinggal abu. Langit sadar lama kemudian, tetapi ia terlambat menghentikan hujan. Langit berteriak ketakutan, semua itu salahnya. Ia tak pernah lagi menurunkan hujan. Untuk apa? Sudah tidak ada kerinduan yang ditujunya.

Delapan.
Bumi kerontang. Angin akhirnya membawa serpih Tebing menaiki udara. Terbang menemui Langit. Hujan turun kembali menyiarkan suka cita kedua jiwa yang kini raganya bersatu.

Sembilan.
Pada saat itulah kita menari. Menari. Menari. Menyatukan raga dan jiwa dengan waktu untuk berdamai di antara deras yang mengikat.

Sepuluh.
Kita akan melakukannya dua kali sehari seperti mandi, atau tiga kali sehari layaknya makan, atau lima kali serupa ibadah. Atau kamu ingin melakukannya sesering yang kamu mau?

Yogyakarta.
Ditulis mulai entah kapan sampai 16 Desember 2013 dalam keadaan demam, kacau, dan sedih.

No comments:

Post a Comment