Saturday, February 2, 2013

Fiksionari #1 : Mata yang Sama.


Gadis berkuncir satu, berwajah pucat itu selalu menginginkan sebuah pelukan. Setiap hari ia merentang-rentangkan tangannya, menanti pelukan itu bersambut. Namun, jangankan membalas pelukan tersebut dengan sukacita, manusia-manusia yang lalu-lalang hanya menatapnya keheranan. Aneh, pikir mereka. Tak jarang beberapa di antara mereka mendengus keras, bahkan menghina. Dan Gadis itupun kecewa.  Ia kemudian mencari-cari benda yang bisa dipeluknya. Pohon. Tiang. Bahkan, tak jarang, kakinya sendiri.

Suatu hari ketika ia telah putus asa, didapatinya seorang Lelaki asing di antara kerumunan manusia yang biasa. Lelaki itu berwajah dingin. Perawakannya tinngi kurus, berambut lurus, dan agak acak-acakan. Kulitnya cokelat tua, jenis warna yang didapat karena terlalu lama menantang surya. Tak seperti yang lain, ia hanya berdiri diam di tempat. Menatap sekeliling tanpa fokus seolah tanpa minat.

Entah takdir apa yang berbicara sepagian, tanpa sengaja kedua mata mereka bertemu. Wajah yang seolah terpahat terpaku pada wajah sendu yang pucat. Seketika, aliran sedingin es membekukan waktu.

...
Lelaki itu punya mata yang sama denganku, pikir sang Gadis setelah peristiwa sesaat tadi. Cukup mengerikan baginya mendapati fakta tersebut. Tidak, tidak cukup sama, sebenarnya. Mata Lelaki tadi sedikit sipit, dengan ujung luar agak meruncing ke atas layaknya phoenix. Bola matanya hitam selegam malam. Tajam. Namun, lebih dari segalanya, matanya menyimpan sebuah kedalaman yang ia tahu, tak terkira...

SLAP!
Astaga, ia datang.

BRAK!
Tubuh sang gadis tiba-tiba ambruk ke lantai. Belum sempat berdiri, ia terdorong ke dinding di belakangnya.

SLAP! SLAP! SLAP!
Tangan gadis itu kaku bagai diborgol. Mulutnya kelu. Ini...  si gadis hendak mengucapkan sesuatu, namun ia terlalu lemah sampai kata-kata itu hanya terlintas sesaat di otaknya. Kemudian pandangannya dikaburkan gerakan-gerakan yang berlalu cepat, bagaikan alat pemutar film menayangkan adegan demi adegan.

Masa lalu si Lelaki. Ia lahir. Ia besar. Ia menanyakan Tuhan. Ia berkelana : mengunjungi tempat-tempat tinggi, aliran-aliran deras, bahkan kegelapan. Ia memendam cinta. Ia menuangkan perasaannya pada gambar-gambar kasar yang bisa dilihat dari dua sisi yang berlawanan. Ia melihat kenyataan. Ia mundur, mengalah. Ia menyendiri sejak saat itu dan jiwanya terbelah menjadi dua. Satu nyata, satu maya. Kadang, ia tak bisa membedakan yang mana dirinya yang sedang muncul ke permukaan.

SLAP!
Tamparan terakhir. Sang Gadis mendadak terlepas dari semua belenggu, dan ia merosot perlahan ke lantai. Darah tercecer di mana-mana. Ia menguras terlalu banyak tenaga. Saatnya menutup mata.

Kilas Balik. Ia lupa sejak kapan ‘dianugerahi’ kemampuan untuk melihat masa lalu orang lain. Dengan detail, seolah semuanya disaksikannya sendiri. Sayangnya, ia tak memiliki kendali atas kemampuan tersebut. Ia tak bisa memilih waktu, tak bisa membaca masa lalu hanya orang yang ia mau.  Dan kemampuan itu tak terpisahkan dengan risikonya : siksaan fisik luar biasa yang bisa menderanya selama adegan masa lalu seseorang berlangsung.

...
Gadis itu punya mata yang sama denganku, batin si Lelaki di tempat lain. Ia masih mengingat dengan jelas senyum sedih yang tertera di wajah pucat itu. Dan matanya... ya, matanya yang besar, bersudut tegas, namun kelopaknya terlipat sepenuhnya ke dalam juga menyembunyikan sesuatu. Cokelat tua, tentu saja. Kekosongan yang sangat nyata terbaca. Hampa tiada tara.

“Tidak. Tidak mungkin sesederhana itu.”
Sebuah suara muncul di otaknya. Dia mencari pecahan cermin di salah satu saku celananya yang bersaku banyak. Sial, haruskah sekarang?

“Diam. Kau tak tahu apa-apa tentang diriku.” Bisiknya nyaris tanpa suara pada pantulan wajahnya di cermin. Sosok di seberang dimensi itu menyeringai keji. “Mereka tak tahu apa-apa tentang dirimu.”

“Itu karena kau tak pernah membiarkan mereka tahu.”
Tawa melengking memenuhi kepala si Lelaki. “Tak ingin. Mereka semua palsu. Untuk apa kau percaya mereka? Aku, kau, tak pernah jadi bagian dari mereka.”

“Kau yang memilih kesendirian! Kau yang membuatku demikian!” lama-kelamaan ia marah. Namun kemarahan itu fatal. Sejurus kemudian dua jiwa mereka sudah bertukar posisi. Si Lelaki sekarang terpenjara dalam cermin, masih dikuasai kemarahan. Sementara lainnya menghuni raganya.

“Aku benci kau!”
“Jangan menangis.” Senyum bengis kembali diperlihatkannya. “Kau lemah! Kau akan kalah dari dunia! Kau ini laki-laki, tahu!”

Kemarahan si Lelaki yang kini ada di dalam cermin tak dapat ditahan lagi. Diarahkannya pecahan cermin di tangan kanannya ke lengan kiri.

SRET!
Goresan panjang langsung menguarkan darah segar. “KAU BODOH?! SAKIT TAHU!” teriak suara keji yang menahan luka.

“TIDUR!” si Lelaki balas berteriak, memaksa sisi jiwa lainnya kembali ke dalam pecahan cermin. Raganya terlelap.

Kemudian ia bermimpi. Air terjun. Ia ada di sana bersama... bersama... sepertinya ia kenal sosok itu... Tapi, siapa?

PLAK!
Lelaki itu merasakan tamparan telak di wajahnya. Ia terbangun seketika. Mimpi. Ia selalu ketakutan jika harus bertemu alam awang-awang dalam tidur. Ia nyaris tak pernah bermimpi. Seandainya ada, maka mimpi itu dapat dipastikan menjadi kenyataan dalam waktu dekat. Tentu saja akan sangat menyenangkan apabila ia disambangi mimpi yang bahagia. Lain ceritanya jika yang datang adalah malapetaka.

...
Si Gadis dan sang Lelaki tak menampakkan diri di sekitar kesibukan manusia-manusia lain tiga hari berturut-turut. Ada hal yang jelas harus diselesaikan diri mereka masing-masing.

...
Ketika mereka bertemu kembali, si Lelaki memutuskan untuk duduk di sebelah sang Gadis di sela manusia-manusia yang riuh dengan segala kesibukan. Keempat mata mereka saling menatap, bicara melalui pandangan. Dalam diam yang mengatakan segalanya.

Si Lelaki mengeluarkan kertas-kertas kosong. Digambarnya coretan kasar tentang apa yang disampaikan sang Gadis lewat matanya. Gadis itu menyukai air, terutama hujan. Tapi ia takut pada air yang mengalir karena suatu waktu ia pernah hampir mati hanyut. Ia menyukai warna darah, juga darah itu sendiri. Dengan darah pula, ia menggambar tanda silang besar di sebuah dinding ruang publik. Gadis itu benci ada di tengah keramaian, karena baginya, seramai apapun, ia tetap kosong. Gadis itu suka mengamati hal-hal kecil, yang membuatnya terlihat seperti melamun. Gadis itu sudah melalui fase-fase terbuang, terkucilkan. Orang-orang yang tak bisa memahaminya. Gadis itu dulunya biasa. Ia menjadi gelap setelah seseorang yang dikaguminya justru memandangnya rendah. Gadis itu bisa melihat masa lalu. Gadis itu melarikan diri dari dunia dengan menulis. Tulisan-tulisannya berjarak, tak runtut, mentah tanpa rasa. Tak mudah dimengerti sekali baca, walaupun aslinya mereka adalah hasil ungkapan perasaannya yang telanjang.

Sang Gadis mengeluarkan buku kecil bersampul merah. Dituliskannya kata-kata tentang apa yang disampaikan si Lelaki lewat matanya. Lelaki itu menyukai tempat tinggi, terutama tebing. Ia menyukai sensasi ketika rekahan-rekahan tebing melukai tangannya. Menurutnya, luka fisik selalu bisa mengurangi atau setidaknya mengimbangi luka hati. Ia menyukai warna malam, juga malam itu sendiri. Pada malam pula ia serahkan waktunya yang paling berharga. Lelaki itu benci kehidupan sosial, karena baginya, kehidupan sosial adalah kepalsuan yang nyata. Mereka-lah yang hidup bersama, tidak termasuk dirinya. Lelaki itu jiwanya pecah menjadi dua. Satu muncul mendahului yang lain, tak terkendali. Orang-orang memandangnya liar. Lelaki itu menyimpan sebuah cinta. Ia menjadi pahit ketika ia menyatakannya, tapi kenyataan berkata lain. Sampai sekarang ia masih memendam perasaan itu, walaupun lama-kelamaan ia menjauh juga. Lelaki itu bisa melihat masa depan melalui mimpi. Lelaki itu melarikan diri dari dunia dengan menggambar. Coretan-coretannya kasar, abstrak, rumit. Tak mudah dicerna sekali lihat, meskipun kalau ada yang mau mengamati, jelas sekali apa maksud mereka.

...
Entah sudah hari ke berapa sejak pertemuan pertama mereka. Si Lelaki dan sang Gadis masih juga melakukan rutinitas yang sama setiap harinya. Bertemu. Duduk. Berbicara dalam diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Sibuk dengan pelarian masing-masing.

...
Aku akan mengajakmu ke suatu tempat, kata si Lelaki suatu hari, setelah mendapati sang Gadis hadir di tempat mereka yang biasa. Sang gadis mengerjapkan mata. Ada keterkejutan dalam pandangannya. Tapi ia mengangguk.

Tapi ini kejutan, lanjut si Lelaki. Tutuplah matamu dulu, ia mengulurkan sebuah kain. Gadis itu meliriknya curiga, tapi demi melihat ketulusan dalam mata si Lelaki, ia menerima kain tersebut. Ia mengikatkannya ke kepalanya, menutupi kedua mata. Sekarang ia tak bisa berkomunikasi dengan Lelaki itu.

Si Lelaki kemudian membimbingnya ke motor. Di bangku belakang, ia berpegangan pada bagian samping motor (ia tak tahu apa namanya). Kini deru angin dan panasnya kota berteman mereka berdua dalam perjalanan. Jauh, makin jauh. Tak tahu lagi kemana sepertinya perjalanan ini berakhir.

Akhirnya mereka berdua sampai di sebuah tempat. Si Lelaki menghentikan motor. Sang Gadis ikut turun. Kemudian Lelaki itu menggandeng tangannya, berdua mereka melintasi tanah-tanah lunak yang penuh tetumbuhan di kiri kanan. Menanjak, melandai. Sesekali kaki terantuk benda keras. Mungkin bebatuan. Lama sekali jalan itu selesai, hingga mereka berhenti.

Si Lelaki membuka kain yang menutup mata sang Gadis. Ketika sang Gadis membuka matanya sepersekian detik kemudian, ia memandang sekelilingnya dengan takjub.

Di hadapannya menjulang sebuah air terjun. Cantik, indah. Bersama pemandangan luar biasa hutan di sekitarnya. Gadis itu tersenyum, lalu membalikkan badan. Lelaki itu berdiri dua langkah di depannya. Tebing tinggi. Air yang jatuh, walaupun bukan hujan. Air terjun ini adalah perwujudan harmoni antara dua hal yang mereka sukai.

Belum sempat sang Gadis mengucapkan apapun, tiba-tiba si Lelaki meraih tubuh sang gadis ke dalam dekapannya. Cepat, erat.

Sebuah pelukan.

Sebuah pelukan dengan dua sisi berlawanan. Yang sesak sekaligus hangat. Menyakitkan, juga luar biasa menenangkan.

“Sebuah pelukan... Ini yang selama ini kamu inginkan, bukan?” akhirnya kata-kata terlontar keluar dari diamnya lelaki itu.

Hening tanpa jawaban. Atau, barangkali, tak perlu.

Air mata keduanya runtuh seirama jatuhnya air melalui tebing-tebing tinggi dalam latar mereka, bersamaan dengan segenap luka lama yang ikut mengalir...



Seharusnya, ia dilengkapi dengan potret seseorang yang sedang memotret seseorang yang sedang memotret dirinya. Kedua potret diambil dengan selisih detik saja dalam menit yang sama dari seberang ke seberang. Oktober 2012.
Model untuk dua tokoh terinspirasi dari dua sosok yang (diam-diam) menyimpan cerita sejak akhir 2011. Semoga kelak mereka disatukan jika Tuhan menggariskan demikian.
Barangkali, narasi fiksi pertama (dan panjang) yang berhasil aku selesaikan. Dan sesuai janjiku di awal penulisan, aku harus mentraktir Chung.

Didedikasikan untuk seseorang yang selalu kukagumi.
Pacitan-Surabaya-Mantingan, 280113-020213.

No comments:

Post a Comment