Gadis berkuncir satu, berwajah
pucat itu selalu menginginkan sebuah pelukan. Setiap hari ia merentang-rentangkan
tangannya, menanti pelukan itu bersambut. Namun, jangankan membalas pelukan
tersebut dengan sukacita, manusia-manusia yang lalu-lalang hanya menatapnya
keheranan. Aneh, pikir mereka. Tak jarang beberapa di antara mereka mendengus
keras, bahkan menghina. Dan Gadis itupun kecewa. Ia kemudian mencari-cari benda yang bisa
dipeluknya. Pohon. Tiang. Bahkan, tak jarang, kakinya sendiri.
Suatu hari ketika ia telah putus
asa, didapatinya seorang Lelaki asing di antara kerumunan manusia yang biasa.
Lelaki itu berwajah dingin. Perawakannya tinngi kurus, berambut lurus, dan agak
acak-acakan. Kulitnya cokelat tua, jenis warna yang didapat karena terlalu lama
menantang surya. Tak seperti yang lain, ia hanya berdiri diam di tempat.
Menatap sekeliling tanpa fokus seolah tanpa minat.
Entah takdir apa yang berbicara
sepagian, tanpa sengaja kedua mata mereka bertemu. Wajah yang seolah terpahat
terpaku pada wajah sendu yang pucat. Seketika, aliran sedingin es membekukan
waktu.
...
Lelaki itu punya mata yang sama
denganku, pikir sang Gadis setelah peristiwa sesaat tadi. Cukup mengerikan
baginya mendapati fakta tersebut. Tidak, tidak cukup sama, sebenarnya. Mata Lelaki
tadi sedikit sipit, dengan ujung luar agak meruncing ke atas layaknya phoenix. Bola matanya hitam selegam
malam. Tajam. Namun, lebih dari segalanya, matanya menyimpan sebuah kedalaman
yang ia tahu, tak terkira...
SLAP!
Astaga, ia datang.
BRAK!
Tubuh sang gadis tiba-tiba
ambruk ke lantai. Belum sempat berdiri, ia terdorong ke dinding di belakangnya.
SLAP! SLAP! SLAP!
Tangan gadis itu kaku bagai
diborgol. Mulutnya kelu. Ini... si gadis
hendak mengucapkan sesuatu, namun ia terlalu lemah sampai kata-kata itu hanya
terlintas sesaat di otaknya. Kemudian pandangannya dikaburkan gerakan-gerakan
yang berlalu cepat, bagaikan alat pemutar film menayangkan adegan demi adegan.
Masa lalu si Lelaki. Ia lahir.
Ia besar. Ia menanyakan Tuhan. Ia berkelana : mengunjungi tempat-tempat tinggi,
aliran-aliran deras, bahkan kegelapan. Ia memendam cinta. Ia menuangkan perasaannya
pada gambar-gambar kasar yang bisa dilihat dari dua sisi yang berlawanan. Ia
melihat kenyataan. Ia mundur, mengalah. Ia menyendiri sejak saat itu dan
jiwanya terbelah menjadi dua. Satu nyata, satu maya. Kadang, ia tak bisa
membedakan yang mana dirinya yang sedang muncul ke permukaan.
SLAP!
Tamparan terakhir. Sang Gadis
mendadak terlepas dari semua belenggu, dan ia merosot perlahan ke lantai. Darah
tercecer di mana-mana. Ia menguras terlalu banyak tenaga. Saatnya menutup mata.
Kilas Balik. Ia lupa sejak kapan ‘dianugerahi’ kemampuan untuk
melihat masa lalu orang lain. Dengan detail, seolah semuanya disaksikannya
sendiri. Sayangnya, ia tak memiliki kendali atas kemampuan tersebut. Ia tak
bisa memilih waktu, tak bisa membaca masa lalu hanya orang yang ia mau. Dan kemampuan itu tak terpisahkan dengan
risikonya : siksaan fisik luar biasa yang bisa menderanya selama adegan masa
lalu seseorang berlangsung.
...
Gadis itu punya mata yang sama
denganku, batin si Lelaki di tempat lain. Ia masih mengingat dengan jelas
senyum sedih yang tertera di wajah pucat itu. Dan matanya... ya, matanya yang
besar, bersudut tegas, namun kelopaknya terlipat sepenuhnya ke dalam juga
menyembunyikan sesuatu. Cokelat tua, tentu saja. Kekosongan yang sangat nyata
terbaca. Hampa tiada tara.
“Tidak. Tidak mungkin
sesederhana itu.”
Sebuah suara muncul di otaknya.
Dia mencari pecahan cermin di salah satu saku celananya yang bersaku banyak.
Sial, haruskah sekarang?
“Diam. Kau tak tahu apa-apa
tentang diriku.” Bisiknya nyaris tanpa suara pada pantulan wajahnya di cermin.
Sosok di seberang dimensi itu menyeringai keji. “Mereka tak tahu apa-apa
tentang dirimu.”
“Itu karena kau tak pernah
membiarkan mereka tahu.”
Tawa melengking memenuhi kepala
si Lelaki. “Tak ingin. Mereka semua palsu. Untuk apa kau percaya mereka? Aku,
kau, tak pernah jadi bagian dari mereka.”
“Kau yang memilih kesendirian!
Kau yang membuatku demikian!” lama-kelamaan ia marah. Namun kemarahan itu
fatal. Sejurus kemudian dua jiwa mereka sudah bertukar posisi. Si Lelaki sekarang
terpenjara dalam cermin, masih dikuasai kemarahan. Sementara lainnya menghuni
raganya.
“Aku benci kau!”
“Jangan menangis.” Senyum bengis
kembali diperlihatkannya. “Kau lemah! Kau akan kalah dari dunia! Kau ini
laki-laki, tahu!”
Kemarahan si Lelaki yang kini
ada di dalam cermin tak dapat ditahan lagi. Diarahkannya pecahan cermin di tangan
kanannya ke lengan kiri.
SRET!
Goresan panjang langsung
menguarkan darah segar. “KAU BODOH?! SAKIT TAHU!” teriak suara keji yang
menahan luka.
“TIDUR!” si Lelaki balas
berteriak, memaksa sisi jiwa lainnya kembali ke dalam pecahan cermin. Raganya
terlelap.
Kemudian ia bermimpi. Air
terjun. Ia ada di sana bersama... bersama... sepertinya ia kenal sosok itu...
Tapi, siapa?
PLAK!
Lelaki itu merasakan tamparan
telak di wajahnya. Ia terbangun seketika. Mimpi. Ia selalu ketakutan jika harus
bertemu alam awang-awang dalam tidur. Ia nyaris tak pernah bermimpi. Seandainya
ada, maka mimpi itu dapat dipastikan menjadi kenyataan dalam waktu dekat. Tentu
saja akan sangat menyenangkan apabila ia disambangi mimpi yang bahagia. Lain
ceritanya jika yang datang adalah malapetaka.
...
Si Gadis dan sang Lelaki tak
menampakkan diri di sekitar kesibukan manusia-manusia lain tiga hari
berturut-turut. Ada hal yang jelas harus diselesaikan diri mereka
masing-masing.
...
Ketika mereka bertemu kembali, si
Lelaki memutuskan untuk duduk di sebelah sang Gadis di sela manusia-manusia
yang riuh dengan segala kesibukan. Keempat mata mereka saling menatap, bicara
melalui pandangan. Dalam diam yang mengatakan segalanya.
Si Lelaki mengeluarkan
kertas-kertas kosong. Digambarnya coretan kasar tentang apa yang disampaikan
sang Gadis lewat matanya. Gadis itu menyukai air, terutama hujan. Tapi ia takut
pada air yang mengalir karena suatu waktu ia pernah hampir mati hanyut. Ia
menyukai warna darah, juga darah itu sendiri. Dengan darah pula, ia menggambar
tanda silang besar di sebuah dinding ruang publik. Gadis itu benci ada di
tengah keramaian, karena baginya, seramai apapun, ia tetap kosong. Gadis itu suka
mengamati hal-hal kecil, yang membuatnya terlihat seperti melamun. Gadis itu
sudah melalui fase-fase terbuang, terkucilkan. Orang-orang yang tak bisa
memahaminya. Gadis itu dulunya biasa. Ia menjadi gelap setelah seseorang yang
dikaguminya justru memandangnya rendah. Gadis itu bisa melihat masa lalu. Gadis
itu melarikan diri dari dunia dengan menulis. Tulisan-tulisannya berjarak, tak
runtut, mentah tanpa rasa. Tak mudah dimengerti sekali baca, walaupun aslinya
mereka adalah hasil ungkapan perasaannya yang telanjang.
Sang Gadis mengeluarkan buku
kecil bersampul merah. Dituliskannya kata-kata tentang apa yang disampaikan si
Lelaki lewat matanya. Lelaki itu menyukai tempat tinggi, terutama tebing. Ia
menyukai sensasi ketika rekahan-rekahan tebing melukai tangannya. Menurutnya,
luka fisik selalu bisa mengurangi atau setidaknya mengimbangi luka hati. Ia
menyukai warna malam, juga malam itu sendiri. Pada malam pula ia serahkan
waktunya yang paling berharga. Lelaki itu benci kehidupan sosial, karena
baginya, kehidupan sosial adalah kepalsuan yang nyata. Mereka-lah yang hidup
bersama, tidak termasuk dirinya. Lelaki itu jiwanya pecah menjadi dua. Satu
muncul mendahului yang lain, tak terkendali. Orang-orang memandangnya liar.
Lelaki itu menyimpan sebuah cinta. Ia menjadi pahit ketika ia menyatakannya,
tapi kenyataan berkata lain. Sampai sekarang ia masih memendam perasaan itu,
walaupun lama-kelamaan ia menjauh juga. Lelaki itu bisa melihat masa depan
melalui mimpi. Lelaki itu melarikan diri dari dunia dengan menggambar.
Coretan-coretannya kasar, abstrak, rumit. Tak mudah dicerna sekali lihat,
meskipun kalau ada yang mau mengamati, jelas sekali apa maksud mereka.
...
Entah sudah hari ke berapa sejak
pertemuan pertama mereka. Si Lelaki dan sang Gadis masih juga melakukan
rutinitas yang sama setiap harinya. Bertemu. Duduk. Berbicara dalam diam. Sibuk
dengan pikiran masing-masing. Sibuk dengan pelarian masing-masing.
...
Aku akan mengajakmu ke suatu tempat, kata si Lelaki suatu hari,
setelah mendapati sang Gadis hadir di tempat mereka yang biasa. Sang gadis
mengerjapkan mata. Ada keterkejutan dalam pandangannya. Tapi ia mengangguk.
Tapi ini kejutan, lanjut si Lelaki. Tutuplah matamu dulu, ia mengulurkan sebuah kain. Gadis itu
meliriknya curiga, tapi demi melihat ketulusan dalam mata si Lelaki, ia
menerima kain tersebut. Ia mengikatkannya ke kepalanya, menutupi kedua mata.
Sekarang ia tak bisa berkomunikasi dengan Lelaki itu.
Si Lelaki kemudian membimbingnya
ke motor. Di bangku belakang, ia berpegangan pada bagian samping motor (ia tak
tahu apa namanya). Kini deru angin dan panasnya kota berteman mereka berdua
dalam perjalanan. Jauh, makin jauh. Tak tahu lagi kemana sepertinya perjalanan
ini berakhir.
Akhirnya mereka berdua sampai di
sebuah tempat. Si Lelaki menghentikan motor. Sang Gadis ikut turun. Kemudian Lelaki
itu menggandeng tangannya, berdua mereka melintasi tanah-tanah lunak yang penuh
tetumbuhan di kiri kanan. Menanjak, melandai. Sesekali kaki terantuk benda
keras. Mungkin bebatuan. Lama sekali jalan itu selesai, hingga mereka berhenti.
Si Lelaki membuka kain yang
menutup mata sang Gadis. Ketika sang Gadis membuka matanya sepersekian detik
kemudian, ia memandang sekelilingnya dengan takjub.
Di hadapannya menjulang sebuah
air terjun. Cantik, indah. Bersama pemandangan luar biasa hutan di sekitarnya.
Gadis itu tersenyum, lalu membalikkan badan. Lelaki itu berdiri dua langkah di
depannya. Tebing tinggi. Air yang jatuh, walaupun bukan hujan. Air terjun ini
adalah perwujudan harmoni antara dua hal yang mereka sukai.
Belum sempat sang Gadis
mengucapkan apapun, tiba-tiba si Lelaki meraih tubuh sang gadis ke dalam
dekapannya. Cepat, erat.
Sebuah pelukan.
Sebuah pelukan dengan dua sisi
berlawanan. Yang sesak sekaligus hangat. Menyakitkan, juga luar biasa
menenangkan.
“Sebuah pelukan... Ini yang
selama ini kamu inginkan, bukan?” akhirnya kata-kata terlontar keluar dari
diamnya lelaki itu.
Hening tanpa jawaban. Atau,
barangkali, tak perlu.
Air mata keduanya runtuh seirama
jatuhnya air melalui tebing-tebing tinggi dalam latar mereka, bersamaan dengan
segenap luka lama yang ikut mengalir...
Seharusnya, ia dilengkapi dengan potret seseorang
yang sedang memotret seseorang yang sedang memotret dirinya. Kedua potret
diambil dengan selisih detik saja dalam menit yang sama dari seberang ke
seberang. Oktober 2012.
Model untuk dua tokoh terinspirasi dari dua sosok
yang (diam-diam) menyimpan cerita sejak akhir 2011. Semoga kelak mereka
disatukan jika Tuhan menggariskan demikian.
Barangkali, narasi fiksi pertama (dan panjang) yang
berhasil aku selesaikan. Dan sesuai janjiku di awal penulisan, aku harus
mentraktir Chung.
Didedikasikan untuk seseorang yang selalu kukagumi.
Pacitan-Surabaya-Mantingan, 280113-020213.
No comments:
Post a Comment