Catatan Dua Peserta
Diklat
Minggu Pertama
Senin, 5
November 2012 adalah hari pertama Diklat Palapsi 2012 yang bertajuk ‘Salam
untuk Alam’. Tepat pukul 16.15, kami
berkumpul di ruang XPHK Gedung B Fakultas Psikologi UGM. Ada sekitar tiga
puluhan peserta, baik dari peserta sendiri maupun panitia. Acara diklat ini
terbagi yang inclass dan outclass. Inclass pertama diisi materi Palapsiana oleh
Ketua Palapsi XXVII, Mas Fasluki Taftozani. Isinya, tentu saja seputar Palapsi,
seperti sejarah, hymne, visi-misi, dan lain-lain. Kemudian acara dilanjutkan dengan
materi air. Kami belajar tentang ornamen-ornamen sungai, peralatan apa saja
yang dibutuhkan, lalu bagaimana cara melakukan river camp. Agenda keesokan harinya adalah jogging, dan materi
XPDC. FYI, dalam diklat ini peserta
mulai diperkenalkan dengan budaya-budaya
Palapsi. Contohnya, mbrobos kalau
terlambat mengikuti inclass. Mbrobos
sendiri merupakan salah satu teknik penelusuran gua.
Latihan air di
hari Rabu berlangsung seru. Kami belajar banyak hal, mulai dari dayung maju,
dayung mundur, dayung tarik, dayung pancung, melampar throwbag, dan ngintir di Selokan Mataram.
Hari
selanjutnya diisi dengan materi PPM. Apa itu PPM? PPM adalah singkatan dari
Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, salah satu divisi yang ada di Palapsi.
Sebagai pecinta alam yang berdomisili di fakultas psikologi, tentu kami juga
harus mencintai alam psikologi. Inclass hari ini ditutup dengan briefing
operasional pertama kami, yaitu PPM dan Air.
Tiba saatnya
operasional! Pagi hari kami bersiap-siap dengan barang bawaan kami dan melakukan
upacara di Kandang Kuda sambil menyanyikan hymne Palapsi, tidak lupa kami
melakukan so dan mengumandangkan kalimat ‘sakti’ Palapsi, NEVER GIVE UP!
Perjalanan dari kampus ke basecamp,
yaitu rumah Mas Rosyid, memakan waktu sekitar sejam. Barang-barang kami taruh
di sana, lalu kami briefing sebentar dan segera berangkat ke tempat operasional
PPM, yaitu Panti Wredha Pelkrim, Magelang. Sebuah hal yang baru bagi sebagian
dari kami untuk mengunjungi oma-oma di panti jompo, namun inilah sebentuk
pengabdian kecil yang dapat kami lakukan. Terasa canggung pada awalnya, namun
akhirnya kami dapat membaur dalam pembicaraan hangat nan ceria. Banyak
pengalaman tak terlupakan serta wejangan yang kami dapat. Setelah beberapa jam
bercengkerama, kami berfoto bersama lalu pamit untuk kembali ke basecamp.
Malamnya, kami
menyiapkan peralatan yang akan digunakan untuk operasional hari esok, makan
malam, dan evaluasi. Evaluasi sempat diwarnai kejutan karena ternyata hari ini,
10 November, adalah hari ulang tahun Mas Uki Sang Ketua Palapsi. Walaupun
kejutannya agak ‘failed’ karena waktu
donat dan lilin keluar, Mas Uki menghilang entah kemana. Setelah Mas Uki
kembali, kejutan untuk kedua kalinya dikeluarkan dan ternyata Mas Uki sudah
tahu kejutannya apa. Ya sudahlah, yang penting kita semua berbahagia dengan
umur baru Mas Uki :D
Minggu pagi,
operasional air di Sungai Elo segera di mulai. Trip 1 bersiap-siap untuk pergi
ngarung, sedangkan yang Trip 2 menunggu di basecamp sembari BR. Apa itu BR? BR
atau buildingrapport adalah sebuah
kegiatan membangun hubungan dengan orang-orang yang berada di sekitar basecamp.
Karena kita sudah ‘numpang’ tempat, maka kita harus membangun hubungan baik
dengan masyarakat sekitar.
Trip 1 diawali
dengan ngintir di jeram start.
Ngintir di Sungai Elo sama sekali tidak bisa disamakan dengan ngintir di
Selokan Mataram. Setelah ngintir, kami naik ke perahu, lalu mengarungi Sungai Elo dengan penuh
semangat. Peserta Trip 2 sudah menunggu di T, berlatih melembar throwbagselagi menunggu perahu
dari Trip 1 tiba. Trip 2 juga diawali dengan ngintir di jeram ngintir yang
konon katanya jauh lebih berbahaya dibanding jeram start. Memang benar demikian ternyata pembaca... Arus menerjang pillow menghadang, benar-benar merasakan
posisi antara hidup dan mati!Tak terhitung berapa galon air yang tanpa sengaja
kami minum. Ada kejadian tak terduga ketika Lala kambuh asmanya setelah ngintir
lalu tergeletak tak berdaya. Semua berusaha memberikan pertolongan pertama.
Akhirnya, Lala dilarikan ke rumah warga terdekat, lalu dibawa kembali ke basecamp, sedangkan peserta Trip 2 yang
lainnya melanjutkan pengarungan hingga finish.
Pengarungan berakhir dengan luar biasa, peserta Trip 2 kembali ke basecamp dan beres-beres, menemui
peserta yang lain yang menyambut dengan hangat. Setelahnya, kami kembali ke
sekret, cuci alat, dan evaluasi. Evaluasi berjalan dengan lancar walaupun ada
satu lagi peserta, Zahra, yang kambuh asmanya. Apalagi, saat sampai kawasan lembah Lala mendapati sebuah mobil yang berplat nomor A 5 MA. Sungguh hari yang penuh dengan asma.
Minggu Kedua
Minggu kedua
diwarnai dengan ‘gugur’nya beberapa peserta karena tidak diizinkan orang tua
untuk melanjutkan diklat. Sedih memang, tapi diklat must go on. Minggu ini adalah milik duo caving-tebing. Dimulai
dengan inclass materi caving oleh ASC, kami berkenalan dengan peralatan
penelusuran gua yang macamnya banyak sekali. Acara dilanjutkan dengan briefing
latihan caving-tebing untuk hari Kamis. Selasa kami kembali jogging bersama. Rabunya, kami mendapatkan
materi pertolongan pertama yang diisi oleh UKESMA UGM. Seluruh peserta
mengikuti inclass kali ini dengan tingkat keseriusan tinggi, mengingat insiden
minggu kemarin cukup membuat kami ketar-ketir seandainya ada ‘korban’ lagi di
kemudian hari.
Kamis pagi,
kami bersiap mengikuti latihan caving-tebing di Jembatan Babarsari alias BBC.
Peserta dibagi menjadi dua shift. Ada yang belajar memanjat di dinding-dinding
batu jembatan dahulu sementara yang lain belajar ber-SRT ria. Ternyata,
keduanya bukan hal yang mudah. Manjat, contohnya, hanya beberapa peserta yang
sukses sampai puncak. Apalagi SRT yang cukup rumit dan harus main rapi. Sedikit saja yang berani mencoba naik sampai
atas jembatan dan turun lagi. Hari ini ditutup dengan inclass tebing serta
briefing untuk operasional berikut. Hari Jumatnya, ada materi dokumentasi, meliputi fotografi dan penulisan
catatan perjalanan.
Tibalah
saatnya operasional caving-tebing. Seperti biasa kami melakukan upacara, so,
lalu berangkat menuju daerah Gunung Kidul. Jalanan yang lumayan ekstrem membuat
motor kami berjuang sekuat tenaga. Sesampainya di basecamp, kami beristirahat sejenak lalu bersiap menuju Gua
Nglibeng Atas. Bersenjatakan sarung tangan, headlamp,
senter, kami masuk lewat mulut gua yang cukup kecil. Berjalan berurutan,
mencari pegangan, berusaha supaya tidak terpeleset. Di dalam, kami melihat
berbagai ornamen gua yang cantik. Tidak hanya itu, kami juga mempraktekkan ilmu
fotografi yang sudah diajarkan di inclass. Setelah puas menelusuri gua dan
jeprat-jepret, saatnya kami menuju matahari lagi. Acara selanjutnya adalah
beres-beres karena kami akan menuju Pantai Siung. Sempat ada berita duka. Kadiv Tebing, Mas
Arma, terpaksa harus pulang ke Klaten karena simbahnya meninggal dunia. Jadi,
bisa dibilang, operasional minggu ini adalah operasional minus Kadiv. Kadiv
Caving, Mas Brain, juga absen karena sedang menunaikan ibadah haji ke tanah suci.
Malam pun
tiba, kami masak bersama kelompok masing-masing. Selesai masak dan makan, kami
berkumpul beralaskan pasir pantai sembari melakukan sharing
dan bernyanyi bersama. Ketika
sudah waktunya tidur, beberapa dari kami justru mengeluarkan beragam catatan
dan fotokopian. Belajar buat ujian blok hari Senin Bro…
Pagi menjelang, kami pun bangun,
masak, makan, lalu menuju tebing. Panasnya matahari tak menyurutkan semangat
kami untuk bernyanyi, ngece, tebak-tebakan, dan tentu saja manjat. Ada dua
jalur yang digunakan secara bergantian, yaitu Too Easy dan Raimuna (yang sering
diplesetkan sebagai Tusi dan Maimunah). Di sini kami menyaksikan kehebatan Aji
yang langsung muncak di dua jalur tersebut, padahal ini adalah pemanjatan
pertamanya. Yang lain harus berjuang keras, dan banyak di antara kami yang
harus ‘rela’ gagal muncak. Tak apalah. Di sela manjat, snack disajikan dan langsung diserbu peserta dengan brutal. Usai
manjat, kami membereskan barang-barang di basecamp, makan siang di warung sang
empunya basecamp, kemudian pulang ke
sekret. Rasa lelah menyerbu kami semua, sampai-sampai Mas Adam hampir
kehilangan kendali motor karena mengantuk. Ada kejadian lucu juga waktu itu.
Abang Gerry yang memboncengkan Dora tiba-tiba meminggirkan motornya. Beberpa
dari kami ikut berhenti, siapa tahu ada apa-apa. Eh, ternyata Abang hanya mau
menutup risleting jaketnya. Gubrak. Setelah itu, malah dia menerobos lampu
merah dan ngebut luar biasa untuk menghindari polisi. Astaga. Sampai kampus,
seperti biasa ada cuci alat dan evaluasi atas operasional dua hari ini.
Minggu
Ketiga
Sudah dua
minggu berlalu, minggu ini kembali diawali inclass dengan materi gunung. kami belajar
orientasi medan, membaca peta, dan bertahan hidup alias survival di gunung. Mulai
Senin kami sudah mempersiapkan
barang-barang untuk latihan survival hari Rabu dan operasional Sabtu-Minggu (kami baru sadar Palapsi tidak
mengenal istilah ‘malam mingguan’ karena weekend
hampir selalu dihabiskan untuk operasional). Jogging pun memiliki menu
baru yaitu naturta (naik turun tangga) yang lumayan bikin semaput. Hari Rabu,
latihan terasa seperti survival sesungguhnya. Rencananya hari itu kami latihan
membuat bivouac (tempat perlindungan
sementara) dan membuat api. Ditemani rintik hujan kami membuat bivouac, kemudian hujan semakin deras
dan kami membuat api dengan berlindung di dalam bivouac. Setelah mendapatkan sedikit gambaran untuk membuat api,
akhirnya kami balik ke kampus karena sudah gelap. Esoknya, kami latihan rapling di BBC (lagi). Dibandingkan
dengan SRT, rapling ini lebih
sederhana karena peralatan yang digunakan lebih sedikit. Ada yang antusias, ada
yang biasa saja, ada yang takut namun berhasil juga, yang luar biasa adalah ada
yang fobia ketinggian
hingga menghabiskan setengah jam untuk membujuknya, lalu setengah jam lagi dari
memasang alat sampai ke bawah. Luar biasa
sekali perjuangan selama sejam itu, hahaha, never
give up, Bro! Oh ya, hari ini salah satu peserta diklat, Aliya, berulang
tahun. Kami menghadiahkan kue berlilin lalu bernyanyi bersama di atas jembatan
BBC.
Hari jumat,
inclass terakhir diklat
diwarnai dengan assesment, ‘ujian’ tertulis mengenai
semua hal yang sudah didapatkan selama diklat. Setelah menjalani ujian, acaranya adalah packing bersama di sekret. Sekret penuh
dengan carrier, barang-barang, dan
riuh peserta dari berbagai sudut. Packing
selesai, saatnya tidur dalam rangka mempersiapkan energi untuk operasional esok
hari.
Yak, pagi ini adalah operasional
gunung di Bukit Turgo.
Semua bersiap, sarapan pagi, dan merapikan barang bawaan. Pukul 7 pagi kami
melakukan upacara, briefing transport, dan tak lupa so, NEVER GIVE UP!
Perjalanan
menuju Bukit Turgo
tidak terlalu jauh, hanya membutuhkan waktu sekitar empat puluh lima menit untuk mencapai basecamp. Sampai di basecamp kami melakukan pemanasan sementara panitia melakukan sweepingcarrier. Siapa tahu ada
barang-barang yang haram dibawa. Karena sweeping-nya
kelamaan sedangkan pemanasannya udah selesai, akhirnya kita malah main asosiasi
bebas lalu disambung main cabu-cabu-ca-ca-ca. Setelah sweeping selesai, kami membawa carrier
masing-masing dan perjalanan pun dimulai. Beberapa peserta ketiban ‘sial’, panitia memasukkan batu dalam carrier mereka. Di awal, entah mengapa
rasanya kami salah jalur. Balik arah, eh malah ketemu rumah penduduk yang bahkan
ada mobilnya. Kemudian lewat jalan raya. Hmmm, tapi akhirnya kami menemukan
jalan yang benar. Paling kasihan jelas Mas Rofiq karena dia diberi amanat untuk
membawa tali seratus dalam carrier-nya.
Di tengah perjalanan Mas Rofiq menyerah, lalu carrier itu pun berpindah ke punggung Mas Awang.
Dalam survival ini, kami harus belajar melakukan manajemen makanan, air,
dan tenaga. Setiap ketua memberikan peraturan yang ketat soal jumlah tegukan
air atau makanan yang boleh digunakan untuk melepas penat dan dahaga.
Perjalanan yang melelahkan lalu dilanjutkan sambil menyanyikan lagu-lagu
Sherina yang notabene adalah penyanyi cilik di generasi kami dulu. Tak terasa,
sampailah kami di tempat mendirikan bivouac.
Gerimis turun, kami bergegas menyelesaikan bivouac
masing-masing yang terbuat dari ponco, sementara yang lain mencari kayu untuk
membuat api. Kemudian hujan deras turun. Untunglah bivouac sudah siap. Alam sangat bersahabat dengan peserta. Waktu trekking, mentari tak begitu terik.
Waktu membuat bivouac, hujan hanya
turun rintik-rintik, derasnya setelah bivouac
selesai. Bivouac paling rapi adalah
milik kelompok Ali, sedangkan yang paling ajaib bentuknya adalah milik Mas
Brain (bentuknya persegi, dibilang mirip Ka’bah).
Malamnya adalah malam penentuan. Per
kelompok berusaha membuat api. Prosesi membuat api berlangsung adem ayem di
kelompok Aliya dan Dyaning. Dua kelompok ini berhasil membuat api dengan cepat
dan makan dengan segera. Tapi tak demikian halnya dengan kelompok Mas Afiq dan
Chung yang ‘gagal’ membuat api. Mereka akhirnya makan mi kremes. Sementara itu,
kelompok Sitha mendapat gelar sebagai kelompok ter-Never Give Up karena terus
berjuang menyerut kayu di kala hujan dan mencoba berbagai teknik membuat api.
Akhirnya, setelah berkali-kali gagal, kelompok ini sukses menikmati hidangan
spesial survival pukul setengah dua
belas malam!
Tidur malam itu sungguh kurang
nyaman karena semua berdesakan dalam satu bivouac.
Apalagi khusus kelompok Mas Fauzi. Bivouac-nya
ternyata bocor di mana-mana. Sampai-sampai ketika bangun esok harinya, hal
pertama yang dilakukan adalah menertawakan kondisi bivouac yang mirip gua. “Ono
stalaktit, stalakmit, aktif meneh! Netes kabeh Bro!” Tapi pagi ini kami
semua berhasil membuat api dan makan dengan bahagia.
Kami melanjutkan perjalanan usai
membereskan bivouac. Peserta dibagi
menjadi tiga kelompok. Masing-masing kelompok diharuskan mencari titik
bermodalkan kompas, peta, dan kemampuan orientasi medan. Nah, terjadi kesalahan
teknis. Figur yang harusnya dibawa Mas Awang dan Mas Hanif untuk rapling masih dibawa Mas Fauzi. Alhasil,
kelompok Mas Fauzi harus mendahului ke tempat rapling dipimpin Abang Gerry. Peserta baru ngos-ngosan parah karena
mengikuti ritme Abang. Sempat kehilangan jejak juga gara-gara Abang ngebut.
Untunglah kami tersusul rombongan senior. Kami mengikuti Mas Jerry yang membuka
jalur. Wah, jalurnya cukup curam dan penuh duri di kanan-kiri. Tapi akhirnya
kami sampai juga di tempat rapling.
Acara rapling sendiri berjalan dengan
lancar, disertai dengan membuka ‘minuman rapling’
sebagai penutupnya.
Tiba waktunya untuk turun! Entah
karena merasa sudah hampir selesai atau bagaimana, kami berjalan cukup cepat.
Setibanya di tempat yang ditentukan, ternyata sudah banyak senior, kakak
tingkat, dan teman-teman lain yang telah menunggu kami. Prosesi pelantikan pun
dimulai. Diawali dengan berbagai sambutan, kemudian dibacakanlah nama-nama
peserta termasuk nomor PLP masing-masing. Setelahnya, PO Diklat, Mas Hanif,
menyerahkan badge Palapsi bagi
peserta yang mengikuti dengan lengkap seluruh proses diklat. Tidak semua
peserta mendapatkan badge tersebut.
Malah, ada beberapa kakak tingkat yang baru mendapatkan badge pada diklat kali ini. Sayangnya mereka harus rela dikerjai
dulu, hehehe. Kemudian kami kembali ke basecamp
dan olalaaa, makanan sudah siap! Kami semua makan dengan porsi kuli karena
boleh nambah sebanyak apapun. Capek seusai operasional memang bisa membuat
semboyan ‘bebas beradab’ seketika menjelma menjadi ‘bebas biadab’. Kegiatan
operasional kali ini pun diakhiri dengan pulang, dan (lagi-lagi) cuci alat plus
evaluasi.
Tiga minggu menjalani diklat (yang
terasa seperti selamanya), tak bisa dipungkiri banyak sekali hal baru yang kami
dapatkan. Ada pengetahuan baru tentang alam, teman-teman baru dari berbagai
angkatan yang baik dan menyenangkan, serta, yang paling utama: pengalaman baru.
Mengikuti diklat di tengah padatnya jadwal kuliah, berjuang menyelesaikan
setiap operasional, berusaha menaklukkan ketakutan dan tantangan yang ada,
kesempatan mencoba berbagai hal yang sebelumnya tak pernah kami bayangkan (apalagi
sesudahnya, kami bisa menceritakannya pada orang lain, hahaha )... sungguh
diklat yang tak akan terlupakan!
Ditulis bersama Yunita Chung.
Versi super panjang.
Yogyakarta, 181212.
No comments:
Post a Comment