Tuesday, December 18, 2012

A Whole New World of Experience.


Catatan Dua Peserta Diklat
Minggu Pertama
Senin, 5 November 2012 adalah hari pertama Diklat Palapsi 2012 yang bertajuk ‘Salam untuk Alam’. Tepat pukul 16.15, kami berkumpul di ruang XPHK Gedung B Fakultas Psikologi UGM. Ada sekitar tiga puluhan peserta, baik dari peserta sendiri maupun panitia. Acara diklat ini terbagi yang inclass dan outclass. Inclass pertama diisi materi Palapsiana oleh Ketua Palapsi XXVII, Mas Fasluki Taftozani. Isinya, tentu saja seputar Palapsi, seperti sejarah, hymne, visi-misi, dan lain-lain. Kemudian acara dilanjutkan dengan materi air. Kami belajar tentang ornamen-ornamen sungai, peralatan apa saja yang dibutuhkan, lalu bagaimana cara melakukan river camp. Agenda keesokan harinya adalah jogging, dan materi XPDC. FYI, dalam diklat ini peserta mulai diperkenalkan dengan  budaya-budaya Palapsi. Contohnya, mbrobos kalau terlambat mengikuti inclass. Mbrobos sendiri merupakan salah satu teknik penelusuran gua.

Latihan air di hari Rabu berlangsung seru. Kami belajar banyak hal, mulai dari dayung maju, dayung mundur, dayung tarik, dayung pancung, melampar throwbag, dan ngintir di Selokan Mataram.

Hari selanjutnya diisi dengan materi PPM. Apa itu PPM? PPM adalah singkatan dari Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, salah satu divisi yang ada di Palapsi. Sebagai pecinta alam yang berdomisili di fakultas psikologi, tentu kami juga harus mencintai alam psikologi. Inclass hari ini ditutup dengan briefing operasional pertama kami, yaitu PPM dan Air.

Tiba saatnya operasional! Pagi hari kami bersiap-siap dengan barang bawaan kami dan melakukan upacara di Kandang Kuda sambil menyanyikan hymne Palapsi, tidak lupa kami melakukan so dan mengumandangkan kalimat ‘sakti’ Palapsi, NEVER GIVE UP! Perjalanan dari kampus ke basecamp, yaitu rumah Mas Rosyid, memakan waktu sekitar sejam. Barang-barang kami taruh di sana, lalu kami briefing sebentar dan segera berangkat ke tempat operasional PPM, yaitu Panti Wredha Pelkrim, Magelang. Sebuah hal yang baru bagi sebagian dari kami untuk mengunjungi oma-oma di panti jompo, namun inilah sebentuk pengabdian kecil yang dapat kami lakukan. Terasa canggung pada awalnya, namun akhirnya kami dapat membaur dalam pembicaraan hangat nan ceria. Banyak pengalaman tak terlupakan serta wejangan yang kami dapat. Setelah beberapa jam bercengkerama, kami berfoto bersama lalu pamit untuk kembali ke basecamp.

Malamnya, kami menyiapkan peralatan yang akan digunakan untuk operasional hari esok, makan malam, dan evaluasi. Evaluasi sempat diwarnai kejutan karena ternyata hari ini, 10 November, adalah hari ulang tahun Mas Uki Sang Ketua Palapsi. Walaupun kejutannya agak ‘failed’ karena waktu donat dan lilin keluar, Mas Uki menghilang entah kemana. Setelah Mas Uki kembali, kejutan untuk kedua kalinya dikeluarkan dan ternyata Mas Uki sudah tahu kejutannya apa. Ya sudahlah, yang penting kita semua berbahagia dengan umur baru Mas Uki :D

Minggu pagi, operasional air di Sungai Elo segera di mulai. Trip 1 bersiap-siap untuk pergi ngarung, sedangkan yang Trip 2 menunggu di basecamp sembari BR. Apa itu BR? BR atau buildingrapport adalah sebuah kegiatan membangun hubungan dengan orang-orang yang berada di sekitar basecamp. Karena kita sudah ‘numpang’ tempat, maka kita harus membangun hubungan baik dengan masyarakat sekitar.

Trip 1 diawali dengan ngintir di jeram start. Ngintir di Sungai Elo sama sekali tidak bisa disamakan dengan ngintir di Selokan Mataram. Setelah ngintir, kami naik ke perahu, lalu mengarungi Sungai Elo dengan penuh semangat. Peserta Trip 2 sudah menunggu di T, berlatih melembar throwbagselagi menunggu perahu dari Trip 1 tiba. Trip 2 juga diawali dengan ngintir di jeram ngintir yang konon katanya jauh lebih berbahaya dibanding jeram start. Memang benar demikian ternyata pembaca... Arus menerjang pillow menghadang, benar-benar merasakan posisi antara hidup dan mati!Tak terhitung berapa galon air yang tanpa sengaja kami minum. Ada kejadian tak terduga ketika Lala kambuh asmanya setelah ngintir lalu tergeletak tak berdaya. Semua berusaha memberikan pertolongan pertama. Akhirnya, Lala dilarikan ke rumah warga terdekat, lalu dibawa kembali ke basecamp, sedangkan peserta Trip 2 yang lainnya melanjutkan pengarungan hingga finish. Pengarungan berakhir dengan luar biasa, peserta Trip 2 kembali ke basecamp dan beres-beres, menemui peserta yang lain yang menyambut dengan hangat. Setelahnya, kami kembali ke sekret, cuci alat, dan evaluasi. Evaluasi berjalan dengan lancar walaupun ada satu lagi peserta, Zahra, yang kambuh asmanya. Apalagi, saat sampai kawasan lembah Lala mendapati sebuah mobil yang berplat nomor A 5 MA. Sungguh hari yang penuh dengan asma.


Minggu Kedua
Minggu kedua diwarnai dengan ‘gugur’nya beberapa peserta karena tidak diizinkan orang tua untuk melanjutkan diklat. Sedih memang, tapi diklat must go on. Minggu ini adalah milik duo caving-tebing. Dimulai dengan inclass materi caving oleh ASC, kami berkenalan dengan peralatan penelusuran gua yang macamnya banyak sekali. Acara dilanjutkan dengan briefing latihan caving-tebing untuk hari Kamis. Selasa kami kembali jogging bersama. Rabunya, kami mendapatkan materi pertolongan pertama yang diisi oleh UKESMA UGM. Seluruh peserta mengikuti inclass kali ini dengan tingkat keseriusan tinggi, mengingat insiden minggu kemarin cukup membuat kami ketar-ketir seandainya ada ‘korban’ lagi di kemudian hari.

Kamis pagi, kami bersiap mengikuti latihan caving-tebing di Jembatan Babarsari alias BBC. Peserta dibagi menjadi dua shift. Ada yang belajar memanjat di dinding-dinding batu jembatan dahulu sementara yang lain belajar ber-SRT ria. Ternyata, keduanya bukan hal yang mudah. Manjat, contohnya, hanya beberapa peserta yang sukses sampai puncak. Apalagi SRT yang cukup rumit dan harus main rapi.  Sedikit saja yang berani mencoba naik sampai atas jembatan dan turun lagi. Hari ini ditutup dengan inclass tebing serta briefing untuk operasional berikut. Hari Jumatnya, ada materi dokumentasi, meliputi fotografi dan penulisan catatan perjalanan.

Tibalah saatnya operasional caving-tebing. Seperti biasa kami melakukan upacara, so, lalu berangkat menuju daerah Gunung Kidul. Jalanan yang lumayan ekstrem membuat motor kami berjuang sekuat tenaga. Sesampainya di basecamp, kami beristirahat sejenak lalu bersiap menuju Gua Nglibeng Atas. Bersenjatakan sarung tangan, headlamp, senter, kami masuk lewat mulut gua yang cukup kecil. Berjalan berurutan, mencari pegangan, berusaha supaya tidak terpeleset. Di dalam, kami melihat berbagai ornamen gua yang cantik. Tidak hanya itu, kami juga mempraktekkan ilmu fotografi yang sudah diajarkan di inclass. Setelah puas menelusuri gua dan jeprat-jepret, saatnya kami menuju matahari lagi. Acara selanjutnya adalah beres-beres karena kami akan menuju Pantai Siung. Sempat ada berita duka. Kadiv Tebing, Mas Arma, terpaksa harus pulang ke Klaten karena simbahnya meninggal dunia. Jadi, bisa dibilang, operasional minggu ini adalah operasional minus Kadiv. Kadiv Caving, Mas Brain, juga absen karena sedang menunaikan ibadah haji ke tanah suci.

Malam pun tiba, kami masak bersama kelompok masing-masing. Selesai masak dan makan, kami berkumpul beralaskan pasir pantai sembari melakukan sharing dan bernyanyi bersama. Ketika sudah waktunya tidur, beberapa dari kami justru mengeluarkan beragam catatan dan fotokopian. Belajar buat ujian blok hari Senin Bro…

Pagi menjelang, kami pun bangun, masak, makan, lalu menuju tebing. Panasnya matahari tak menyurutkan semangat kami untuk bernyanyi, ngece, tebak-tebakan, dan tentu saja manjat. Ada dua jalur yang digunakan secara bergantian, yaitu Too Easy dan Raimuna (yang sering diplesetkan sebagai Tusi dan Maimunah). Di sini kami menyaksikan kehebatan Aji yang langsung muncak di dua jalur tersebut, padahal ini adalah pemanjatan pertamanya. Yang lain harus berjuang keras, dan banyak di antara kami yang harus ‘rela’ gagal muncak. Tak apalah. Di sela manjat, snack disajikan dan langsung diserbu peserta dengan brutal. Usai manjat, kami membereskan barang-barang di basecamp, makan siang di warung sang empunya basecamp, kemudian pulang ke sekret. Rasa lelah menyerbu kami semua, sampai-sampai Mas Adam hampir kehilangan kendali motor karena mengantuk. Ada kejadian lucu juga waktu itu. Abang Gerry yang memboncengkan Dora tiba-tiba meminggirkan motornya. Beberpa dari kami ikut berhenti, siapa tahu ada apa-apa. Eh, ternyata Abang hanya mau menutup risleting jaketnya. Gubrak. Setelah itu, malah dia menerobos lampu merah dan ngebut luar biasa untuk menghindari polisi. Astaga. Sampai kampus, seperti biasa ada cuci alat dan evaluasi atas operasional dua hari ini.

Minggu Ketiga
Sudah dua minggu berlalu, minggu ini kembali diawali inclass dengan materi gunung. kami belajar orientasi medan, membaca peta, dan bertahan hidup alias survival di gunung. Mulai Senin kami sudah mempersiapkan barang-barang untuk latihan survival hari Rabu dan operasional Sabtu-Minggu (kami baru sadar Palapsi tidak mengenal istilah ‘malam mingguan’ karena weekend hampir selalu dihabiskan untuk operasional). Jogging pun memiliki menu baru yaitu naturta (naik turun tangga) yang lumayan bikin semaput. Hari Rabu, latihan terasa seperti survival sesungguhnya. Rencananya hari itu kami latihan membuat bivouac (tempat perlindungan sementara) dan membuat api. Ditemani rintik hujan kami membuat bivouac, kemudian hujan semakin deras dan kami membuat api dengan berlindung di dalam bivouac. Setelah mendapatkan sedikit gambaran untuk membuat api, akhirnya kami balik ke kampus karena sudah gelap. Esoknya, kami latihan rapling di BBC (lagi). Dibandingkan dengan SRT, rapling ini lebih sederhana karena peralatan yang digunakan lebih sedikit. Ada yang antusias, ada yang biasa saja, ada yang takut namun berhasil juga, yang luar biasa adalah ada yang fobia ketinggian hingga menghabiskan setengah jam untuk membujuknya, lalu setengah jam lagi dari memasang alat sampai ke bawah. Luar biasa sekali perjuangan selama sejam itu, hahaha, never give up, Bro! Oh ya, hari ini salah satu peserta diklat, Aliya, berulang tahun. Kami menghadiahkan kue berlilin lalu bernyanyi bersama di atas jembatan BBC.


Hari jumat, inclass terakhir diklat diwarnai dengan assesment, ‘ujian’ tertulis mengenai semua hal yang sudah didapatkan selama diklat. Setelah menjalani ujian, acaranya adalah packing bersama di sekret. Sekret penuh dengan carrier, barang-barang, dan riuh peserta dari berbagai sudut. Packing selesai, saatnya tidur dalam rangka mempersiapkan energi untuk operasional esok hari.

Yak, pagi ini adalah operasional gunung di Bukit Turgo. Semua bersiap, sarapan pagi, dan merapikan barang bawaan. Pukul 7 pagi kami melakukan upacara, briefing transport, dan tak lupa so, NEVER GIVE UP!

Perjalanan menuju Bukit Turgo tidak terlalu jauh, hanya membutuhkan waktu sekitar empat puluh lima menit untuk mencapai basecamp. Sampai di basecamp kami melakukan pemanasan sementara panitia melakukan sweepingcarrier. Siapa tahu ada barang-barang yang haram dibawa. Karena sweeping-nya kelamaan sedangkan pemanasannya udah selesai, akhirnya kita malah main asosiasi bebas lalu disambung main cabu-cabu-ca-ca-ca. Setelah sweeping selesai, kami membawa carrier masing-masing dan perjalanan pun dimulai. Beberapa peserta ketiban ‘sial’, panitia memasukkan batu dalam carrier mereka. Di awal, entah mengapa rasanya kami salah jalur. Balik arah, eh malah ketemu rumah penduduk yang bahkan ada mobilnya. Kemudian lewat jalan raya. Hmmm, tapi akhirnya kami menemukan jalan yang benar. Paling kasihan jelas Mas Rofiq karena dia diberi amanat untuk membawa tali seratus dalam carrier-nya. Di tengah perjalanan Mas Rofiq menyerah, lalu carrier itu pun berpindah ke punggung Mas Awang.

Dalam survival ini, kami harus belajar melakukan manajemen makanan, air, dan tenaga. Setiap ketua memberikan peraturan yang ketat soal jumlah tegukan air atau makanan yang boleh digunakan untuk melepas penat dan dahaga. Perjalanan yang melelahkan lalu dilanjutkan sambil menyanyikan lagu-lagu Sherina yang notabene adalah penyanyi cilik di generasi kami dulu. Tak terasa, sampailah kami di tempat mendirikan bivouac. Gerimis turun, kami bergegas menyelesaikan bivouac masing-masing yang terbuat dari ponco, sementara yang lain mencari kayu untuk membuat api. Kemudian hujan deras turun. Untunglah bivouac sudah siap. Alam sangat bersahabat dengan peserta. Waktu trekking, mentari tak begitu terik. Waktu membuat bivouac, hujan hanya turun rintik-rintik, derasnya setelah bivouac selesai. Bivouac paling rapi adalah milik kelompok Ali, sedangkan yang paling ajaib bentuknya adalah milik Mas Brain (bentuknya persegi, dibilang mirip Ka’bah).

Malamnya adalah malam penentuan. Per kelompok berusaha membuat api. Prosesi membuat api berlangsung adem ayem di kelompok Aliya dan Dyaning. Dua kelompok ini berhasil membuat api dengan cepat dan makan dengan segera. Tapi tak demikian halnya dengan kelompok Mas Afiq dan Chung yang ‘gagal’ membuat api. Mereka akhirnya makan mi kremes. Sementara itu, kelompok Sitha mendapat gelar sebagai kelompok ter-Never Give Up karena terus berjuang menyerut kayu di kala hujan dan mencoba berbagai teknik membuat api. Akhirnya, setelah berkali-kali gagal, kelompok ini sukses menikmati hidangan spesial survival pukul setengah dua belas malam!

Tidur malam itu sungguh kurang nyaman karena semua berdesakan dalam satu bivouac. Apalagi khusus kelompok Mas Fauzi. Bivouac-nya ternyata bocor di mana-mana. Sampai-sampai ketika bangun esok harinya, hal pertama yang dilakukan adalah menertawakan kondisi bivouac yang mirip gua. “Ono stalaktit, stalakmit, aktif meneh! Netes kabeh Bro!” Tapi pagi ini kami semua berhasil membuat api dan makan dengan bahagia.

Kami melanjutkan perjalanan usai membereskan bivouac. Peserta dibagi menjadi tiga kelompok. Masing-masing kelompok diharuskan mencari titik bermodalkan kompas, peta, dan kemampuan orientasi medan. Nah, terjadi kesalahan teknis. Figur yang harusnya dibawa Mas Awang dan Mas Hanif untuk rapling masih dibawa Mas Fauzi. Alhasil, kelompok Mas Fauzi harus mendahului ke tempat rapling dipimpin Abang Gerry. Peserta baru ngos-ngosan parah karena mengikuti ritme Abang. Sempat kehilangan jejak juga gara-gara Abang ngebut. Untunglah kami tersusul rombongan senior. Kami mengikuti Mas Jerry yang membuka jalur. Wah, jalurnya cukup curam dan penuh duri di kanan-kiri. Tapi akhirnya kami sampai juga di tempat rapling. Acara rapling sendiri berjalan dengan lancar, disertai dengan membuka ‘minuman rapling’ sebagai penutupnya.

Tiba waktunya untuk turun! Entah karena merasa sudah hampir selesai atau bagaimana, kami berjalan cukup cepat. Setibanya di tempat yang ditentukan, ternyata sudah banyak senior, kakak tingkat, dan teman-teman lain yang telah menunggu kami. Prosesi pelantikan pun dimulai. Diawali dengan berbagai sambutan, kemudian dibacakanlah nama-nama peserta termasuk nomor PLP masing-masing. Setelahnya, PO Diklat, Mas Hanif, menyerahkan badge Palapsi bagi peserta yang mengikuti dengan lengkap seluruh proses diklat. Tidak semua peserta mendapatkan badge tersebut. Malah, ada beberapa kakak tingkat yang baru mendapatkan badge pada diklat kali ini. Sayangnya mereka harus rela dikerjai dulu, hehehe. Kemudian kami kembali ke basecamp dan olalaaa, makanan sudah siap! Kami semua makan dengan porsi kuli karena boleh nambah sebanyak apapun. Capek seusai operasional memang bisa membuat semboyan ‘bebas beradab’ seketika menjelma menjadi ‘bebas biadab’. Kegiatan operasional kali ini pun diakhiri dengan pulang, dan (lagi-lagi) cuci alat plus evaluasi.

Tiga minggu menjalani diklat (yang terasa seperti selamanya), tak bisa dipungkiri banyak sekali hal baru yang kami dapatkan. Ada pengetahuan baru tentang alam, teman-teman baru dari berbagai angkatan yang baik dan menyenangkan, serta, yang paling utama: pengalaman baru. Mengikuti diklat di tengah padatnya jadwal kuliah, berjuang menyelesaikan setiap operasional, berusaha menaklukkan ketakutan dan tantangan yang ada, kesempatan mencoba berbagai hal yang sebelumnya tak pernah kami bayangkan (apalagi sesudahnya, kami bisa menceritakannya pada orang lain, hahaha )... sungguh diklat yang tak akan terlupakan!


Ditulis bersama Yunita Chung.
Versi super panjang.
Yogyakarta,  181212.

No comments:

Post a Comment