Hampa. Senyap. Datar.
Ketiganya merupakan hidupku.
Yang bahkan dengan gamblang tergambar dalam kering setiap
rangkaian kata-kataku.
Entah sudah berapa lama aku menyadari ada terlalu banyak hal
yang tidak biasa pada diriku. Salah satunya adalah kenyataan bahwa selama ini
aku benar-benar merasakan kekosongan. Hampa. Senyap. Datar. Dengan hati yang
seperti mati, dan perasaan yang terus-menerus terabaikan. Semua ekspresi yang
kuperlihatkan hanya topeng agar mereka tidak bertemu dengan apa yang selalu aku
sembunyikan.
Tidak ada satu hal pun yang bisa membuatku merasakan
sesuatu. Tidak badai, apalagi jika hanya sehembus angin lalu.
Bahagia? Tidak.
Aku ingat ulang tahun kesembilanbelasku yang baru saja lewat.
Saat itu orang-orang yang baru saja dekat denganku memberikan kejutan. Dan ya,
itu adalah kejutan ulang tahun pertama seumur hidupku. Aku ingin bisa menyambutnya,
selayaknya terima kasih. Tapi aku terjebak dalam bimbangku sendiri : aku ingin
merasa senang karenanya, namun jauh di dalam hati, aku masih bertanya-tanya
mengapa aku harus merasa senang karena memang tak ada rasa itu di sana. Nihil.
Sedih? Tidak.
Aku ingat setiap kali harus melayat atau menghibur teman
yang sedang terkena musibah, yang kulakukan hanya diam. Dengan raut wajah tanpa
emosi. Dan sedikit salah tingkah. Biasanya aku membiarkan orang lain melakukan ‘tugas’
itu, bukan aku. Karena, sekali lagi, tak ada rasanya.
Dendam? Tidak.
Peristiwa itu sudah berlalu jauh. Empat tahun berselang,
kini, aku tetap bisa mengingat semua detailnya. Seperti biasa, pada orang lain,
kukatakan aku telah melupakannya, dan mereka tahu betapa sakitnya luka yang pernah
dicabikkan kenangan itu. Padahal, tak ada yang tertinggal dari yang telah
terjadi. Atau, justru merekalah yang ternyata lebih mengerti.
Cinta? Tidak.
Aku tidak tahu. Apakah rasa sayang itu harus diungkapkan
seribu kali lipat lebih dahsyat, didamparkan padaku hingga sekarat, atau
dililitkan lebih erat sampai nafasku tercekat. Sail. Bahkan cinta pun tak bisa membuatku merasa. Barang
sedikit saja.
Beberapa dari mereka yang tahu aku seperti apa menolak
percaya. Itu karena mereka tak pernah mengalami kehampaan dan kesenyapan dan
kedataran yang sama parahnya. Seringkali bahkan aku menangis, bukan karena
satu-dua emosi yang bergumul di bawah sana. Ia muncul sebagai wujud diri tiada rasa. Tanpa kata-kata.
Hanya ada sedikit riak yang sebentar kemudian kembali berhenti berderak.
Dan perjalanan ini masih lama. Membuat pikiran terbenam lebih dan lebih lagi tanpa daya.
Kata-kata yang terselip pada satu pesan.
Dalam perjalanan pulang, selagi tak bisa menemani Div berlatih.
Di atas roda Yogyakarta-Mantingan.
Mira AC Tarip Biasa.
Mira AC Tarip Biasa.
Klaten, 221212.
No comments:
Post a Comment